Oleh: Ir. Drs. Abdullah, MT (Dosen Prodi Teknik Geofisika dan Kepala Laboratorium Palu-Koro, Jurusan Fisika dan Matematika Fakultas MIPA Universitas Tadulako, Palu)
JALAN ARTERI DAN JLPTP
Jalan arteri adalah jenis jalan umum yang berfungsi untuk melayani angkutan utama dengan karakteristik perjalanan jarak jauh, kecepatan tinggi, dan pembatasan akses masuk ke jalan arteri. Jalan arteri berperan penting dalam menghubungkan pusat-pusat kegiatan, baik di dalam maupun antar kota, dan memiliki kapasitas lalu lintas yang besar. Jalan arteri bisa berupa jalan nasional yang menghubungkan kota-kota besar, atau jalan protokol dalam kota yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan.
Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP) mulai dibangun pada awal tahun 2000-an, pada masa Walikota Palu Bapak H. Baso Lamakarate. Jembatan Palu IV atau Jembatan Kuning yang dibangun di ujung utara Sungai Palu merupakan bagian dari JLPTP. Jembatan tersebut diresmikan oleh Presiden SBY sebelum pertengahan tahun 2007. JLPTP terdiri atas beberapa ruas jalan, yakni Jl. Taman Ria dan Jl. Cumi-cumi di sebelah barat muara Sungai Palu serta Jl. Raja Maili, Jl. Cut Meutia, Jl. Penggaraman dan Jl. Kp. Nelayan di sebelah timur muara Sungai Palu.
Tujuan utama pembangunan JLPTP adalah untuk mengurai kemacetan lalu-lintas kendaraan dalam Kota Palu, terutama di Jl. Hasanuddin – Jl. Gajah Mada – Jl. Imam Bonjol – Jl. Diponegoro. Selain untuk mengurai kemacetan, JLPTP juga berfungsi sebagai jalan arteri perjalanan jarak jauh (antar daerah).
GEMPA DAN TSUNAMI TELUK PALU
Kota Palu dan Teluk Palu dilalui oleh Sesar Palu-Koro (SPK), yang merupakan salah sesar paling aktif di dunia. Lembah Palu, mencakup wilayah Kota Palu, secara geologis bisa disebut Graben Palu, karena lembah tersebut diapit oleh 2 sasar normal, di timur dan barat, yang memanjang dengan arah utara – selatan. Karenanya, SPK di Lembah Palu lebih tepat disebut Sistem Sesar Palu-Koro atau Zona Sesar Palu-Koro.
Aktivitas SPK sudah beberapa kali menimbulkan gempa merusak, 3 diantaranya disertai tsunami di Teluk Palu, yakni:
- Gempa Watusampu pada 01 Desember 1927 lewat tengah hari. Magnitudonya 6,5 dan disertai tsunami di Teluk Palu setinggi 15 m.
- Gempa Donggala pada 20 Mei 1938 lewat tengah malam. Magnitudonya 7,6 dan disertai tsunami di Teluk Palu setinggi 4 m.
- Gempa PADAGIMO Sulteng pada 28 September 2018 sore menjelang malam. Magnitudonya 7,4 dan disertai tsunami di Teluk Palu, dan beberapa perairan lainnya, dengan gelombang tertinggi 10,67 m (di sekitar batas Kel. Tondo – Kel. Layana Indah) dan rambatan terjauh ke darat 468,8 m (di sekitar Hotel Mercure Kel. Lere).
Berdasarkan data di atas, dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, terjadi 3 kali tsunami di Teluk Palu. Tidak ada perairan lain di seluruh dunia yang pernah mengalami 3 kali tsunami dalam kurun waktu yang sama. Artinya, secara statistik, Teluk Palu adalah perairan paling rawan tsunami di dunia. Selain itu, sumber atau pusat tsunaminya bukan hanya di perairannya saja, daratan Teluk Palu pun bisa menjadi sumber tsunami, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1. Sumber tsunami inilah yang menghancurkan semua bangunan di Jl. Komodo dan sekitarnya, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.

Gambar 1 Daratan Teluk Palu di Jl. Cut Meutia mengalami downlift dan menjadi salah satu sumber tsunami di Teluk Palu pada 28 September 2018 (Sumber gambar: Abdullah, 2025)

Gambar 2 Kehancuran bangunan di Jl. Komodo dan sekitarnya, Kel. Talise Kec. Mantikulore Kota Palu akibat gempa dan tsunami 28 September 2018 (Sumber gambar: Capture63/Shuttestock, 15Okt2018/The Conversation, 09Jul2019)
Gempa tektonik pada 28 September 2018 dengan magnitudo 7,4 (G28S2018M7,4), memicu bencana gempabumi, bencana tsunami, bencana likuefaksi, bencana longsor dan bencana downlift (land subsidence). Dalam bahasa Kaili, gempabumi disebut lingu ataulinu, tsunami disebut uwentasi neangga (air laut berdiri), likuefaksi disebut nalodo, longsor disebut duyu dan downlift disebut kaombona.
Bencana tersebut sangat merusak dan menimbulkan banyak korban jiwa dan korban luka. Salah satu dampak bencana tersebut adalah JLPTP rusak total. Seluruh tanggul di sepanjang pantai JLPTP rusak berat dan hancur, sebagian badan jalan mengalami downlift dan menjadi dasar laut, serta Jembatan Palu IV ambruk. Oprit barat Jembatan Palu IV juga rusak berat, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Oprit barat Jembatan Palu IV di Kel. Lere Kec. Palu Barat, rusat berat akibat gempa yang diikuti tsunami pada 28 September 2018. Jembatannya sendiri sudah ambruk akibat gempa, sebelum diterjang tsunami
Khusus untuk bencana tsunami, dampaknya sangat besar. Selain merusak infrastruktur dan rumah warga, juga menimbulkan korban jiwa dan korban luka manusia yang tidak sedikit. Korban jiwa manusia yang banyak karena pada saat itu menjelang pembukaan Festival Palu Nomoni (FPN) III sehingga banyak manusia yang berkumpul di pantai Teluk Palu dan sekitarnya, terutama di sekitar pantai Silebeta (Silae, Lere, Besusu Barat dan Talise), untuk menyaksikan pembukaan FPN III yang dipusatkan di pantai Kel. Besusu Barat Kec. Palu Timur.
DOWNLIFT
Downlift atau land subsidence adalah pergerakan vertikal permukaan bumi ke arah bawah secara cepat ketika terjadi gempabumi tektonik. Akibatnya, permukaan tanah yang sebelumnya rata menjadi tidak rata. Di wilayah pantai, sering terjadi daratan pantai berubah menjadi dasar laut karena mengalami downlift. Ketika terjadi G28S2018M7,4, luas daratan pantai Teluk Palu yang berubah menjadi dasar laut akibat downlift sekitar 40.89 Ha, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Luas wilayah darat Teluk Palu yang mengalami downlift dan menjadi dasar laut ketika terjadi G28S2018M7,4 (Abdullah, 2025)

Gambar 5 Sebagian daratan pantai Kel. Besusu Barat Kec. Palu Timur, depan kompleks TVRI Sulteng, mengalami downlift dan menjadi dasar laut ketika terjadi G28S2018M7,4
Dalam peristiwa downlift tersebut, bukan hanya mengakibatkan daratan yang cukup luas berubah menjadi dasar laut, tetapi juga mengakibatkan korban manusia (tewas, luka-luka dan hilang) yang cukup banyak. Menjelang pembukaan FPN III, banyak manusia yang berada di anjungan Palu Nomoni atau lokasi panggung utama acara pembukaan FPN III. Diantara manusia yang berada di lokasi tersebut adalah puluhan mahasiswa Kesmas FKM UNTAD Angkatan 2018. Ketika terjadi G28S2018M7,4, lokasi tersebut mengalami downlift, lihat Gambar 5. Manusia yang berada di atasnya langsung berada di laut, yang sebelumnya adalah daratan. Akibatnya, mereka sangat sulit menyelamatkan diri, bahkan sebelum tsunami menerjang mereka lebih dari 1 kali. Korban pun berjatuhan. Diantara korban tewas dan hilang di lokasi tersebut adalah 17 mahasiswa Kesmas FKM UNTAD dan hanya 6 atau 7 orang diantaranya yang berhasil diidentifikasi mayatnya (Abdullah, 2019). Korban tewas dan hilang lainnya adalah 11 anggota POLRI (termauk Polwan) dan beberapa anggota Satpol PP Kota Palu yang sedang bertugas menjelang pembukaan FPN III. Korban tewas, hilang dan luka-luka dari masyarakat umum lebih banyak lagi.
Delapan puluh tahun sebelumnya, ketika terjadi gempabumi M7,6 pada 20 Mei 1938, wilayah darat Teluk Palu juga mengalami downlift dan kemudian disusul terjangan tsunami. Pada kejadian gempa tersebut, ada 2 lokasi di wilayah darat Teluk Palu yang mengalami downlift atau kaombona yang cukup luas, yakni daratan pantai Talise dan Kampung Tua Mamboro, seperti ditunjukkan dalam Gambar 6 dan Gambar 7.

Gambar 6 Wilayah darat sekitar pantai Talise mengalami downlift dan berubah menjadi dasar laut ketika terjadi gempabumi pada 20 Mei 1938 M7,4. Kemudian, lokasi tersebut dikenal dengan nama Kaombona dan beberapa tahun terakhir lebih dikenal dengan nama Kampung Nelayan (Sumber gambar: Abdullah, 2025)

Gambar 7 Wilayah darat sekitar pantai Mamboro (Kampung Tua eks lokasi pasar dan permukiman) mengalami downlift dan berubah menjadi dasar laut ketika terjadi gempabumi pada 20 Mei 1938 M7,4 (Sumber gambar: Abdullah, 2025)
ANCAMAN TSUNAMI SENYAP
Tsunami di Teluk Palu pada 28 September 2018 mempunyai lebih dari 10 sumber tsunami. Di sisi barat Teluk Palu, tsunami dibangkitkan oleh pergeseran vertikal SPK. Di sisi timur Teluk Palu, tsunami dibangkitkan oleh longsor di dasar laut, terutama di muara-muara sungai yang memiliki endapan sedimen yang tebal. Model longsor (landslide) yang membangkitkan tsunami ditunjukkan dalam Gambar 8. Pakar geologi Prof. Phil Cummins dari Australian National University mengatakan “Longsor tebing-tebing di bawah laut itu menyedot air ke bawah dan kemudian mendorongnya ke atas sehingga menimbulkan gelombang tsunami. Akibatnya terjadi pergerakan gelombang.”

Gambar 8 Model longsor pembangkit tsunami di Teluk Palu
(Sumber gambar: detiknews, 03 Oktober 2018)
Adanya ancaman tsunami senyap di Teluk Palu sangat nyata. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa sebagian sumber tsunami di sisi timur Teluk Palu adalah longsor di dasar laut, terutama di muara-muara sungai. Ketika terjadi G28S2018M7,4, di dasar laut yang terjal akan mengalami retakan-retakan akibat getaran gempa tersebut, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 8. Retakan yang jatuh atau longsor akan memicu tsunami. Tetapi, pada 28 September 2018, tidak semua retakan sudah jatuh dan menimbulkan tsunami. Berarti bahwa, retakan yang tersisa sewaktu-waktu jatuh atau longsor, baik karena tarikan gravitasi atau karena dinamika perairan di dasar teluk, dan akan memicu tsunami meski tidak terjadi gempabumi. Inilah ancaman tsunami senyap di Teluk Palu.
PETA ZRB KOTA PALU DAN SEKITARNYA
Pada 14 Desember 2018, Pemerintah melalui BAPPENAS menerbitkan Peta Zona Ruang Rawan Bencana (Peta ZRB) Palu dan Sekitarnya., lihat Gambar 9. Adapun maksud “Palu dan sekitarnya” adalah Kota Palu sendiri serta Kab. Sigi, Kab. Donggala dan Kab. Parigi Moutong. Peta ini sebagai acuan utama dalam revisi RTRW Sulteng, RTRW Kota Palu, RTRW Kab. Donggala, RTRW Kab. Sigi dan RTRW Kab. Parigi Moutong pascabencana PADAGIMO Sulteng 2018.

Gambar 9 Peta Zona Ruang Rawan Bencana Palu dan sekitarnya
(BAPPENAS, 2018)
Dalam peta tersebut wilayah terdampak bencana PADAGIMO Sulteng 2018 dibagi atas 4 zona, yakni ZRB-1, ZRB-2, ZRB-3, dan ZRB-4, yakni:
- ZRB-1 (Zona Pengembangan): Kriteria: rawan likuefaksi sedang, rawan tsunami rendah, rawan gerakan tanah sangat rendah dan rendah, rawan banjir menengah dan rendah, rawan gempabumi tinggi. Ketentuan: pembangunan baru harus mengikuti standar yang berlaku (SNI 1726).
- ZRB-2 (Zona Bersyarat): Kriteria: rawan likuefaksi tinggi, rawan tsunami menengah, rawan gerakan tanah menengah, rawanan banjir tinggi, dan rawan gempabumi tinggi. Ketentuan: pembangunan baru harus mengikuti standar yang berlaku (SNI 1726), pada zona rawan tsunami dan banjir, bangunan hunian disesuaikan dengan tingkat kerawanan bencananya, dan iIntensitas pemanfaatan ruang rendah.
- ZRB-3 (Zona Terbatas): Kriteria: sempadan patahan aktif Palu-Koro pada 10 – 50 meter, rawan likuefaksi sangat tinggi, rawan tsunami tinggi (di luar sempadan pantai), rawan gerakan tanah tinggi, dan rawan gempabumi tinggi. Ketentuan: dilarang pembangunan baru fungsi hunian serta fasilitas penting dan berisiko tinggi (sesuai SNI 1726), antara lain rumah sakit, sekolah, gedung pertemuan, stadion, pusat energi, pusat telekomunikasi, pembangunan kembali fungsi hunian diperkuat sesuai standar yang berlaku (SNI 1726), pada kawasan yang belum terbangun dan berada pada zona rawan likuefaksi sangat tinggi maupun rawan gerakan tanah tinggi, diprioritaskan untuk fungsi kawasan lindung atau budidaya non-terbangun (pertanian, perkebunan, kehutanan).
- ZRB-4 (Zona Terlarang atau Zona Merah): Kriteria: zona likuefaksi massif pasca gempa (Petobo, Balaroa, Jono Oge, Lolu dan Sibalaya), sempadan pantai rawan tsunami minimal 100 – 200 meter dari titik pasang tertinggi (sempadan 100 meter untuk Teluk Palu, kecuali di Kel. Lere, Kel. Besusu Barat dan Kel. Talise ditetapkan 200 meter), sempadan patahan aktif Palu-Koro 0 – 10 meter (zona bahaya deformasi sesar aktif), rawan gerakan tanah tinggi pasca gempabumi, dan rawan gempabumi tinggi. Ketentuan: dilarang pembangunan kembali dan pembangunan baru (unit hunian pada zona ini direkomendasikan untuk direlokasi). Zona ini diprioritaskan pemanfaatannya untuk fungsi kawasan lindung, ruang terbuka hijau (RTH), dan monumen.
ROAD ELEVATED
Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Sulawesi Tengah sedang membangun road elevated (jalan yang ditinggikan) di Kota Palu, di sepanjang pantai Silebeta. Tapak road elevated mengikuti tapak JLPTP minus Jl. Penggaraman dan Jl Kp Nelayan. Pembangunan road elevated tersebut merupakan bagian dari proyek tahap rehab-rekon pascabencana PADAGIMO Sulteng 2018. Hingga tulisan ini disusun, proyek road elevated tersebut belum rampung, terutama pada ruas Jl. Raja Maili dan Jl. Cut Meutia. Proyek ini melibatkan koordinasi antara BPJN Sulawesi Tengah, Pemerintah Kota Palu, dan JICA (Japan International Cooperation Agency).
Proyek pembangunan road elevated mengusung konsep build back better (membangun kembali dengan lebih baik), yang tidak hanya fokus pada pemulihan, tetapi juga pada peningkatan ketahanan infrastruktur terhadap bencana di masa depan, Pada dasarnya, pembangunan road elevated tersebut, yang sebagian ruasnya ditunjukkan dalam Gambar 10, adalah untuk memulihkan fungsi JLPTP dan sekaligus memperkuat ketahanan wilayah pesisir terhadap bencana, khususnya tsunami. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa road elevated tersebut juga berfungsi sebagai benteng tsunami di pantai Silebeta, Kota Palu.

Gambar 10 Road elevated di Jl. Raja Maili yang permukaannya belum diaspal
(Sumber gambar: BERANTAS.ID, 29 Desember 2024)
Road elevated tersebut mempunyai lebar 10 m dan dilengkapi dengan trotoar di kedua sisinya untuk pejalan kaki serta dinding penahan (retaining wall) yang tingginya 3,5 m. Selain pada kedua ujungnya, di sepanjang road elevated, tidak ada pertigaan jalan yang menjadi pertemuan antara road elevated dengan ruas jalan yang tegak lurus dengan pantai.
WISATA KULINER DI ROAD ELEVATED
Dari beberapa sumber, salah satunya dari Info Palu 20 Juni 2025, lihat Gambar 11, diketahui bahwa Pemerintah Kota Palu akan menjadikan road elevated sepanjang pantai Silebeta di wilayah pesisir Teluk Palu sebagai kawasan wisata kuliner UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), pada setiap akhir pekan, yakni Sabtu sampai Minggu. Artinya, 2 hari dalam seminggu, road elevated ditutup untuk kendaraan bermotor dan diisi dengan gerobak atau tenda-tenda pedagang kuliner serta kegiatan olahraga. Kawasan wisata kuliner road elevated akan menjadi wadah bagi pelaku UMKM. Pemerintah Kota Palu berharap, kawasan kuliner tersebut dapat menjadi ikon baru Kota Palu yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Kawasan wisata kuliner ini akan dilengkapi dengan beberapa fasilitas pendukung, seperti:
- Armada antar jemput: untuk memudahkan akses keluar masuk kawasan bagi pengunjung.
- Penerangan: akan dipasang tower lampu seperti di Lapangan Vatulemo agar kawasan lebih terang dan aman.

Gambar 11 Pemberitaan tentang rencana menjadikan road elevated Kota Palu sebagai kawasan wisata kuliner
TIDAK MEMPERTIMBANGKAN
Sayang sekali bahwa rencana yang bagus tersebut, sebagaimana disebutkan di atas, tidak mempertimbangkan atau mengabaikan beberapa faktor penting, yakni:
- Mengabaikan UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 26 (1a): “Setiap orang berhak:mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana.” Dalam hal ini, mengumpulkan orang banyak di road elevated, yang lokasinya rawan bencana, apalagi dilakukan secara rutin 2 hari dalam seminggu, jelas bertentangan dengan kandungan pasal tersebut.
- Mengabaikan kondisi wilayah pesisir Teluk Palu yang rawan gempa, downlift dan tsunami. Di atas telah dijelaskan tentang beberapa bencana gempabumi, tsunami dan downlift di wilayah pesisir Teluk Palu serta dampaknya. Bencana tersebut bisa terjadi lagi secara tiba-tiba. Bahkan, tsunami senyap bisa terjadi dengan tanpa didahului oleh gempabumi.
- Melanggar prinsip mitigasi bencana. Dalam Peta ZRB Kota Palu dan Sekitarnya (BAPPENAS, 2018), lihat Gambar 9 dan penjelasanya, disebutkan bahwa sempadan pantai Teluk Palu termasuk Zona Terlarang (Zona Merah). Lebar sempadan tersebut 100 m, khusus di Lere, Besusu Barat dan Talise, lebar sempadannya 200 m. Pembangunan road elevated di sempadan pantai Teluk Palu hanya mengurangi tingkat risiko di zona merah tersebut, tidak menghilangkan risikonya. Dalam mitigasi bencana, arahan zona merah tersebut tergolong tindakan pencegahan, yakni memisahkan antara sumber ancaman (tsunami) dengan elemen berisiko (warga dan harta bendanya serta harta benda lainnya yang bukan milik warga). Dengan demikian, menjadikan road elevated sebagai kawasan kuliner jelas bertentangan dengan prinsip mitigasi bencana, dalam hal ini memisahkan atara sumber ancaman dengan elemen berisiko.
- Kekuatan road elevated. G28S2018M7,4 yang memicu beberapa jenis bencana alam di Kota Palu dan sekitarnya meninggalkan trauma yang dalam bagi warga Kota Palu dan sekitarnya. Pasca bencana tersebut, gempa-gempa kecil pun membuat warga panik. Bisa dibayangkan, ketika warga sedang berkumpul di road elevated tiba-tiba terjadi gempa, katakanlah gempa magnitudo 4 koma atau 5 koma, mereka pasti panik, apalagi jika terjadi retakan pada bangunan road elevated yang kekuatannya belum diuji oleh alam. Dalam kepanikan tersebut bisa saja timbul korban luka akibat berdesak-desakan atau melompat turun ke bawah (> 3,5 m) agar bisa secepatnya menjauh dari pantai. Selain itu, dalam kejadian tersebut, para pedagang akan mengalami kerugian karena peralatan dan barang dagangannya akan rusak atau hilang.
- Menambah tekanan limbah plastik terhadap Teluk Palu. Selama ini, sadar atau tidak sadar, Teluk Palu telah menjadi tempat pembuangan sampah, termasuk sampah plastik. Sekitar 20 tahun yang lalu, penulis pernah turun ke perairan Teluk Palu di Lere, hingga batas lutut. Penulis mendapati cukup banyak sampah plastik di dasar teluk yang sudah tertutup oleh sedimen yang dimuntahkan oleh Sungai Palu. Jika road elevated dijadikan kawasan kuliner, 2 hari dalam seminggu, yakin dan pasti bahwa tekanan limbah plastik di Telu Palu akan semakin meningkat dan kerusakan ekosistem di muara sungai tersebut akan semakin tidak terkendali. Limbah plastik adalah limbah padat yang tidak bisa terurai atau hancur, hanya bisa berubah bentuk.
- Mengabaikan fungsi road elevated sebagai jalan arteri. Dengan menutup road elevated, apalagi 2 hari dalam seminggu akan sangat menganggu fungsi road elevated sebagai jalan arteri yang berfungsi melayani angkutan utama dengan karakteristik perjalanan jarak jauh dan kecepatan tinggi serta antara pusat-pusat kegiatan, baik di dalam maupun antar kota.
- Bertentanan dengan Surat Edaran Walikota Palu Nomor: 551/0493/HUKUM/2022 Tanggal 28 Januari 2022 tentang Larangan Penutupan Jalan. Dalam surat edaran tersebut tersirat larangan menutup jalan di dalam Kota Palu dengan cara memasang tenda di jalan untuk acara apapun. Adapun yang dizinkan hanya tenda kedukaan, tetapi hanya sampai setengah lebar jalan, agar setengahnya lagi tetap bisa digunakan oleh para pengguna jalan. Dengan demikian menutup road elevated secara rutin, 2 hari seminggu, jelas bertentangan dengan surat edaran tersebut.
PENUTUP
SPK adalah salah satu sesar paling aktif di dunia dan merupakan sesar paling aktif di Indonesia. Teluk Palu adalah perairan paling rawan tsunami di dunia. Tsunami di Teluk Palu dengan akktivitas SPK adalah 2 hal yang tidak terpisahkan. Selain rawan tsunami, wilayah darat Teluk Palu juga sangat rawan downlift. Selain itu, terdapat ancaman tsunami senyap di Teluk Palu, yang berarti tsunami di Teluk Palu bisa terjadi meski tidak terjadi gempabumi.
Ada pepatah mengatakan “hanya keledai yang bisa jatuh 2 kali pada lobang yang sama.” Pada 28 September 2018, banyak manusia berkumpul di pantai Teluk Palu menyambut pembukaan FPN III. Tiba-tiba terjadi gempa M7,4, tiba-tiba daratan lokasi panggung utama FPN III downlift dan menjadi dasar laut, dan tiba-tiba tsunami datang menerjang lebih dari 1 kali, dan korban manusia pun berjatuhan. Jangan sampai pada saat banyak manusia berkumpul untuk berwisata kuliner di road elevated Teluk Palu, tiba-tiba terjadi gempa besar yang disertai downlift dan/atau tsunami, dan korban manusia pun berjatuhan lagi …!
Karenanya, rencana menjadikan road elevated sebagai kawasan wisata kuliner sangat perlu ditinjau kembali, demi konsistensi terhadap peraturan, demi kenyamanan para pelintas di jalan arteri, demi rasa aman dan demi keselamatan dari bencana alam yang sewaktu-waktu bisa terjadi di wilayah pesisir Teluk Palu. Perlu diketahui bahwa dalam setiap perencanaan pembangunan, keselamatan nyawa manusia harus menjadi prioritas utama …!
REFERENSI
Abdullah, 2019, Wajah Sesar Palu-Koro dan Panca Bencana Alam di PADAGIMO Sulteng, HU. Mercusuar: 29, 30 dan 31 Juli 2019, Palu.
Abdullah, 2025, Mitigasi Bencana Alam untuk Perguruan Tinggi (Bahan Ajar), Universitas Tadulako, Palu.
BAPPENAS, 2018, Peta Zona Ruang Rawan Bencana Kota Palu dan Sekitarnya, Jakarta.
BERANTAS.ID, 29 Desember 2024, BPJN Sulteng Rehab Rekon 15 Ruas Jalan Dalam Kota Palu, Berikut Rinciannya, https://berantas.id/bpjn-sulteng-rehab-rekon-15-ruas-jalan-dalam-kota-palu-berikut-rinciannya/ (Diakses 16 Agustus 2024)
detiknews, 03Okt2018, Analisa Pakar Australia: Tsunami Palu Disebabkan Longsor Bawah Laut, https://news.detik.com/abc-australia/d-4239930/analisa-pakar-australia-tsunzami-palu-disebabkan-longsor-bawah-laut (Diakses 12 Agustus 2025).
Info Palu, 20 Juni 2025, https://www.facebook.com/infopalu/posts/pemerintah-kota-palu-resmi-mengumumkan-dibukanya-pendaftaran-bagi-pelaku-usaha-m/1447035149933253/ (Diakses 26 Juli 2025).
Surat Edaran Walikota Palu Nomor: 551/0493/HUKUM/2022 Tanggal 28 Januari 2022 tentang Larangan Penutupan Jalan, https://palukota.go.id/wp-content/uploads/2022/02/Surat-Edaran-tentang-Larangan-Penutupan-Jalan-1.pdf (Diakses 26 Juli 2025). The Conversation, 09 Juli 2019, Komunikasi Risiko Bencana Satu Arah di Zona Rawan Gempa-Tsunami Tak Efektif Cegah Jatuh Korban, https://theconversation.com/komunikasi-risiko-bencana-satu-arah-di-zona-rawan-gempa-tsunami-tak-efektif-cegah-jatuh-korban-119093 (Diakses 12 Agustus 2025).