Retakan Afrika Timur dan Model Tektonik Lempeng

Oleh: Ir. Drs. Abdullah, MT. (Penulis adalah Dosen Prodi Teknik Geofisika dan Kepala Laboratorium Palu-Koro, Jurusan Fisika dan Matematika Fakultas MIPA Universitas Tadulako, Palu)

Model Tektonik Lempeng (The Model of Plate Tectonics), ada yang menyebutnya Teori Tektonik Lempeng, digunakan untuk menjelaskan bagaimana permukaan bumi tersusun atas lempeng-lempeng tektonik yang bergerak di atas lapisan batuan yang setengah cair (kental). Pergerakan lempeng-lempeng tersebut menyebabkan perubahan bentuk permukaan bumi, menciptakan lansekap di permukaan bumi seperti gunung dan lembah, menyebabkan terbentuknya gunungapi dan aktivitas gempabumi tektonik.

Dalam beberapa tahun terakhir ramai diberitakan tentang Benua Afrika yang sedang mengalami retakan yang panjang dan terbelah menjadi 2 bagian. Retakan di bagian timur Afrika tersebut dikenal sebagai Retakan Afrika Timur atau East African Rift (EAR) atau East African Rift System (EARS).

Tulisan ini mencoba menjelaskan peristiwa retakan tersebut dengan mengacu pada Model Tektonik Lempeng, yang cikal bakalnya digagas oleh Alfred Lothar Wegener (ahli Meteorologi dan Geofisika Jerman) pada 1912. Gagasan tersebut tertuang dalam hipotesis “pergeseran benua” (continental drift) (Britannica, 2025). Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa hipotesis dan teori tergabung membentuk model tersebut, salah satunya adalah hipotesis “arus konveksi” (convection current) yang digagas oleh Arthur Holmes (ahli Geologi Inggeris) pada 1927. Hipotesis ini, yang lebih sering disebut “teori konveksi”, menjelaskan tentang arus konveksi (arus magma) dari dalam mantel bumi (Kompas.com, 2022). Kedua gagasan tersebut saling berkaitan dalam menjelaskan dinamika bumi. Keduanya telah menjadi “muatan” penting dalam Model Tektonik Lempeng.

MODEL TEKTONIK LEMPENG

Planet bumi sudah berumur 4,6 milyar tahun. Planet bumi terdiri atas beberapa lapisan, yakni inti, mantel dan litosfer sebagai lapisan paling luar yang permukaannya ditutupi oleh daratan dan lautan. Meskipun kelihatan diam, planet bumi sangatlah dinamis, baik secara eksternal maupun secara internal. Secara eksternal, bumi bergerak mengelilingi matahari 1 kali dalam 1 tahun dan bergerak mengelilingi sumbunya sendiri 1 kali dalam sehari semalam.

Secara internal, ada arus konveksi yang bergerak dari lapisan bawah ke lapisan bumi bagian atas, yang memicu terjadinya proses sirkulasi arus konveksi, sesuai tanda panah dalam Gambar 1. Prosesnya berlangsung sangat lambat. Arus konveksi merupakan tenaga endogen yang berasal dari unsur-unsur radioaktif di mantel bumi.

Arus konveksi yang bergerak ke atas dapat mengangkat litosfer dan membentuknya seperti kubah, kemudian membelah atau memecahkannya dan mendorong kedua pecahan litosfer tersebut secara lateral ke 2 arah yang berlawanan, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1. Dalam hal ini, setelah sampai di lapisan atas, magma mendingin dan membeku dan menjadi bagian dari litosfer (lempeng tektonik) yang terdorong. Sementara itu, ujung lempeng yang menunjam, setelah melewati kedalaman zone penunjaman, akan mencair oleh suhu yang tinggi dan kembali menjadi magma.

Gambar 1  Lapisan bumi dan sirkulasi arus konveksi dari dalam mantel dan kembali lagi ke mantel [Sumber gambar: USGS (1999) dalam studio belajar]

Keterangan Gambar 1:

  • Inner core = inti-dalam, tebalnya ± 1.220 km, tersusun dari besi padat dan murni, suhunya 5.400 – 6.000 oC;
  • Outer core = inti-luar, tebalnya ± 2.266 km, terdiri dari cairan besi dan nikel, suhunya 2.700 – 4.200 °C;
  • Mantle = mantel, tebalnya ± 2.900 km dan merupakan 84% dari total volume bumi. Mantel terdiri atas mantel-bawah (lower mantle) dan mantel-atas (upper mantle). Suhu mantel-bawah 1.690 – 2.360 °C dan suhu mantel-atas 227 °C di batas kerak;
  • Asthenosphere = astenosfer, lapisan antara litosfer dan mantel-atas, sifat fisiknya cukup lemah, bersifat plastis atau mendekati bentuk cair (kental).
  • Lithosphere = litosfer, tersusun oleh “kerak bumi” (crust) di bagian atas dan “mantel paling atas yang relatif padat” di bagian bawah. Kerak bumi sendiri terbagi atas kerak benua (tebal 30 – 70 km, massa jenis 2.700 kg/m3) yang membentuk daratan dan kerak samudra (tebal 5 – 11 km, massa jenis 3.000 kg/m3) yang membentuk dasar laut; Pecahan-pecahan litosfer disebut lempeng tektonik.
  • Slab pull = mekanisme pergerakan lempeng samudra karena tarikan bagian lempeng samudra yang telah menunjam ke bawah lempeng benua; 
  • 700 km = titik terdalam dari ujung lempeng samudra, tegak lurus ke permukaan bumi. Titik ini sekaligus menunjukkan bahwa kedalaman terdalam hiposenter gempabumi tektonik adalah 700 km.
  • Trench = palung, adalah dasar laut paling dalam pada zone konvergen atau zone subduksi (zone pertemuan 2 lempeng tektonik, yakni antara lempeng benua dengan lempeng samudra); dan
  • Ridge, lengkapnya adalah mid-ocean ridge = punggung tengah samudra, yang tiada lain adalah pusat pemekaran dasar samudra/lautan (sea-floor spreading). Biasa juga disebut batas atau zone divergen, karena merupakan batas antara 2 lempeng tektonik yang bergerak saling menjauh.

Selain dorongan arus konveksi, lempeng tektonik tersebut bisa bergerak karena sifat rigiditas (kekakuan) astenosfer sangat rendah, mendekati cairan kental. Hal inilah yang memungkinkan lempeng-lempeng tektonik yang terletak di atas astenosfer bersifat dinamis, bisa bergerak, bergeser dan bergesekan antara lempeng yang satu dengan lempeng lainnya. Daratan (benua) ataupun dasar laut (samudra) yang berada pada bagian atas lempeng tektonik, tentu ikut bergerak.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa benua dan samudra seakan-akan penumpang di atas lempeng-lempeng tektonik yang bergerak, sementara arus konveksi sendiri seakan-akan sabuk konveyor yang menggerakkan lempeng-lempeng tektonik. Bila lempeng-lempeng tersebut berubah posisi relatif terhadap yang lainnya, maka distribusi benua dan samudra juga berubah, yang berarti bentuk permukaan bumi berubah pula.

Akibat dari pergerakan dan pergeseran antar lempeng, terbentuk 3 jenis batas lempeng tektonik, yakni:

  1. Batas divergen atau zone divergen. Pada zone ini, 2 lempeng saling menjauh, Salah satu contohnya adalah Punggung Tengah Atlantik (Mid-Atlantic Ridge) yang merupakan zone dimana Lempeng Amerika Selatan dan Lempeng Afrika saling menjauh.
  2. Batas konvergen atau zone konvergen (zone subduksi). Pada zone ini, 2 lempeng saling bertemu atau “bertabrakan”, dimana salah satu lempeng menunjam ke bawah lempeng lainnya. Salah satu contohnya adalah Lempeng India-Australia menunjam ke bawah Lempeng Eurasia.
  3. Batas netral atau zone patahan transform (transform fault). Pada zone ini, 2 lempeng saling berpapasan. Salah satu contohnya adalah Sesar Alpen yang membentang hampir sepanjang Pulau Selatan Selandia Baru (± 600 km). Sesar ini merupakan zone berpapasan antara Lempeng India-Australia dengan Lempeng Pasifik.

Ketiga batas atau zone tersebut sekaligus sebagai pusat-pusat gempabumi tektonik. Disebut gempabumi tektonik karena gempa yang dihasilkan merupakan akibat dari pergeseran antar lempeng-lempeng tektonik (Ludman and Nicholas, 1982).

Zone divergen selalu menghasilkan gempa bermagnitudo kecil dengan hiposenter gempa yang dangkal. Zone konvergen bisa menghasilkan gempa besar yang lebih dari 8 magnitudo dengan hiposenter gempa yang bisa dangkal, sedang atau dalam. Adapun zone patahan, umumnya menghasilkan gempa kurang dari 8 magnitudo dengan hiposenter yang dangkal.

Selain itu, di sekitar zone konvergen merupakan lokasi pembentukan pegunungan dan gunungapi. Sebagian besar gunungapi di dunia berada di sekitar zone ini, kecuali gunungapi hotspot di Hawai, di tengah Samudra Pasifik, yang sangat jauh dari zone konvergen.

Salah satu zone divergen atau punggung tengah samudra atau pusat pemekaran dasar samudra/lautan yang terkenal adalah Punggung Tengah Atlantik, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2. Punggung Tengah Atlantik merupakan rangkaian pegunungan raksasa di dasar samudra yang membelah hampir seluruh Samudra Atlantik (Atlantic Ocean) dengan arah hampir utara – selatan. Punggung Tengah Atlantik sekaligus menjadi batas antara Lempeng Amerika Selatan dengan Lempeng Afrika serta Lempeng Amerika Utara dengan Lempeng Eurasia (tidak tampak dalam Gambar 2).

Benua Gondwana mulai retak ketika Super Benua Pangea retak menjadi Gondwana dan Laurasia sekitar 200 juta tahun yang lalu. Gondwana diperkirakan retak atau pecah sekitar 200 – 160 juta tahun lalu. Gondwana terpecah belah dan pecahan-pecahannya saling berpisah selama zaman Jura (200 – 145 juta tahun yang lalu). Anak Benua India merupakan pecahan yang lebih dulu berpisah dari Gondwana sekitar 110 juta tahun yang lalu, kemudian disusul oleh berpisahnya Amerika – Afrika dan terakhir Australia – Antartika – Selandia Baru (WIKIPEDIA-b).

Gambar 2  Peta batimetri di sekitar Punggung Tengah Atlantik

(Sumber Gambar: NOAA dalam WIKIPEDIA-a) .

Benua Gondwana yang sudah mulai retak bahkan sebelum terpisah dari Pangea, terus mengalami retakan yang kemudian menghasilkan Benua Amerika Selatan dan Benua Afrika. Berdasarkan Model Tektonik Lempeng, retakan diakibatkan oleh munculnya arus konveksi, yang bergerak secara vertikal dari bawah, ditengah-tengah benua tersebut. Garis retakannya, di permukaan bumi akibat arus konveksi tersebut, memanjang dengan arah hampir utara – selatan. Selanjutnya, sirkulasi arus konveksi tersebut mengakibatkan lempeng tektonik yang mencakup Benua Gondwana terpecah menjadi 2 lempeng, yang kemudian masing-masing disebut Lempeng Amerika Selatan (di timur) dan Lempeng Afrika (di barat). Garis retakan yang merupakan batas kedua lempeng tersebut dikenal dengan nama batas divergen atau punggung tengah samudra atau pusat pemekaran dasar samudra. Dalam kasus ini, pusat punggung samudranya disebut Punggung Tengah Atlantik, lihat Gambar 2, yang memiliki kecepatan retakan 20 – 50 mm/tahun (WIKIPEDIA-a). Umumnya, kecepatan retakan yang menyebabkan pemekaran dasar Samudra, berlangsung sangat lambat. Hal ini menyebabkan terbentuknya “lembah retakan yang dalam” di sepanjang puncak punggung tengah samudra, termasuk di Punggung Tengah Atlantik.  

Karena sirkulasi arus konveksi terjadi terus menerus, dalam skala waktu geologi yang panjang, maka benua yang terdapat di masing-masing lempeng tersebut semakin saling menjauh dan dasar samudra semakin luas. Lempeng Amerika Selatan bergerak relatif ke timur dengan kecepatan 27 – 34 mm/tahun. Lempeng Afrika bergerak relatif ke barat dengan kecepatan 21,5 – 25 mm/tahun. Meskipun kecepatannya sangat lambat, di atas permukaan kedua lempeng tersebut telah terbentang lautan luas yang disebut Samudra Atlantik, yang memisahkan Benua Amerika Selatan dengan Benua Afrika. Ketika arus konveksi berhenti mengalir, lempeng-lempeng tektonik juga berhenti bergerak, dan jarak antara benua yang ada di masing-masing lempeng tersebut tidak lagi bertambah.

Andaikan Samudra Atlantik “dihilangkan”, didapati kesesuaian geografis antara tepi timur Benua Amerika Selatan dengan tepi barat Benua Afrika. Kesesuaian tersebut membuktikan bahwa kedua benua ini, dulunya berasal dari daratan yang sama, yakni Benua Gondwana. Selain itu, hewan purba Mesosaurus misalnya, reptil berusia 290 juta tahun, fosilnya ditemukan di Amerika Selatan dan Afrika (CNBC Indonesia, 26 Oktober 2024). Temuan fosil tersebut menunjukkan bahwa daratan Amerika Selatan dan daratan Afrika pernah menyatu. Kesesuaian geografis dan fosil hewan purba yang sama, di 2 benua yang berbeda dan saling berjarak jauh, sekaligus mendukung “kebenaran” hipotesis pergeseran benua dan hipotesis arus konveksi dalam Model Tektonik Lempeng.

RETAKAN AFRIKA TIMUR

SLATE (02 April 2018), dream.co.id (07 April 2018), okezone.news (09 Maret 2023), detiksumut (10 Maret 2023), CNBC Indonesia (26 Oktober 2024), dan CNBC Indonesia (28 Desember 2024) memberitakan tentang retakan bagian timur Benua Afrika. Lebih dari 10 tahun sebelumnya, ScienceDirect.com (Oktober 2005) menyebutkan bahwa konsep “Retakan Afrika Timur” ditetapkan oleh Suess (1891) dan Gregory (1896) menamainya ‘Lembah Retakan Besar Afrika Timur”.

Retakan Afrika Timur atau EAR atau EARS, memanjang dengan arah hampir utara – selatan. Panjangnya 6.400 km (CNBC Indonesia, 28 Desember 2024). EAR melewati 10 negara, yakni Ethiopia, Kenya, Kongo, Uganda, Rwanda, Burundi, Zambia, Tanzania, Malawi, dan Mozambik. Panjang EAR hampir sama dengan panjang sungai terpanjang di dunia, yakni Sungai Nil yang panjangnya 6.650 km. (Bandingkan dengan panjang wilayah Indonesia, lurus timur – barat, sekitar 5.116 km). Arah aliran Sungai Nil juga berarah utara – selatan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Adapun Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan sebagian dari lokasi Retakan Afrika Timur, di Kenya.

EAR adalah zona retakan aktif yang mulai berkembang 22 – 25 juta tahun yang lalu. EAR merupakan batas divergen lempeng tektonik yang sedang berkembang. Dalam hal ini, Lempeng Afrika sedang dalam proses retakan menjadi 2 lempeng tektonik, yang dikenal sebagai Lempeng Somalia dan Lempeng Nubia dengan kecepatan retakan 6 – 7 mm/tahun (WIKIPEDIA-c).

SLATE (02 April 2018) memberitakan: “Retakan sepanjang beberapa mil telah terbentuk di Lembah Rift, Kenya. Retakan tersebut, yang pertama kali muncul pada akhir Maret setelah hujan lebat dan gempabumi selama berminggu-minggu dan terus meluas sejak saat itu, menarik perhatian pada fenomena geologis berskala besar dan jangka panjang yang tidak terlihat hingga akhirnya terlihat: Afrika terbelah menjadi dua”.

dream.co.id (07 April 2018) menyebutkan: “Menurut pakar geologi, retakan besar dan panjang itu kemungkinan adalah tanda-tanda terbelahnya Benua Afrika suatu hari nanti. Dengan kedalaman 16 m dan lebar 19 m, retakan itu baru diketahui setelah terjadi hujan deras dalam beberapa hari”.

Gambar 3  Lokasi Retakan Afrika Timur dan Sungai Nil

(Sumber gambar dasar: Google Earth, 31 Desember 2020)

Gambar 4  Sebagian dari Retakan Afrika Timur yang muncul di Kenya pada 2018 (Foto: Reuters/okezone.news/09 Maret 2023)

Gambar 5  Sebagian dari Retakan Afrika Timur di Kenya (Foto: tangkapan layar YouTube Nation/CNBC Indonesia/28 Desember 2024)

okezone.news (09 Maret 2023) memberitakan: “Sistem retakan ini berarti bahwa Lempeng Afrika terbelah menjadi 2 lempeng, Lempeng Somalia yang lebih kecil dan Lempeng Nubia yang lebih besar. Menurut sebuah studi pada 2004, kedua lempeng ini saling menjauh satu sama lain dengan kecepatan sangat lamban, beberapa milimeter setiap tahunnya”.

detiksumut (10 Maret 2023) memberitakan: “Dikutip detikInet dari IFL Science, sistem keretakan ini berarti bahwa Lempeng Afrika terbelah menjadi 2 lempeng, yakni Lempeng Somalia yang lebih kecil dan Lempeng Nubia yang lebih besar. Kedua lempeng ini saling menjauh satu sama lain beberapa milimeter per tahun, menurut sebuah penelitian tahun 2004”.

Selain itu, fenomena tersebut akan membuat Afrika sering diguncang gempa. Lapisan batuan di wilayah terjadinya retakan juga akan sering pecah. Terbelahnya sebuah daratan bukanlah cerita baru. Sebelumnya retakan pernah membelah benua dan membentuk Samudera Atlantik Selatan ratusan juta tahun lalu dan saat itu Afrika terpisah dengan Amerika Selatan. Tampaknya, hal serupa akan terjadi di Afrika. Dalam puluhan juta tahun mendatang, dasar laut akan terbentuk pada retakan tersebut. Pada akhirnya luas Afrika akan berkurang dan terdapat pulau besar di Samudera Hindia (Indian Ocean) (CNBC Indonesia, 28 Desember 2024).

ANALISIS

Erosi alur (rill erosion) adalah pengangkutan tanah oleh aliran air yang terkonsentrasi pada alur-alur kecil di permukaan tanah. Erosi parit (gully erosion) adalah erosi yang terjadi ketika aliran-aliran kecil akibat erosi alur terkumpul menjadi aliran yang lebih besar. Selanjutnya, aliran air pun menjadi lebih deras dan proses erosinya semakin besar. Bila hujan dengan intensitas tinggi sering terjadi maka erosi alur akan menjadi erosi parit yang menghasilkan parit (alur air) dalam bentuk jurang yang dalam dan berlereng terjal.

Sepintas lalu, Retakan Afrika Timur seperti yang ditunjukan dalam Gambar 4 dan Gambar 5, layaknya erosi parit. Tetapi, hal ini terbantahkan karena wilayah tersebut datar dan curah hujannya rendah, yang tidak memungkinkan terjadinya erosi parit, apalagi dengan panjang mencapai 6.400 km. Retakan yang tampak pada kedua gambar tersebut tak ubahnya retakan awal Gondwana, di masa yang lampau, yang merupakan cikal bakal Punggung Tengah Atlantik, yang kemudian menjadi batas antara Lempeng Amerika Selatan dengan Lempeng Afrika. Karenanya, bisa dikatakan bahwa retakan pada kedua gambar tersebut merupakan cikal bakal punggung tengah samudra, atau batas divergen, antara Lempeng Somalia dengan Lempeng Nubia.

Lempeng Somalia, yang lebih kecil, meliputi Afrika Timur dan sekitarnya termasuk Teluk Aden dan Pulau Madagaskar. Adapun Lempeng Nubia, yang lebih besar, meliputi sebagian besar Benua Afrika (kecuali bagian paling timurnya) serta kerak samudra di sebelah barat dan selatan. Lempeng Nubia sering disebut Lempeng Afrika, demikian pula sebaliknya.

Disebutkan di atas bahwa fenomena Retakan Afrika Timur dimulai sejak 22 – 25 juta tahun yang lalu  Berarti, fenomena retakan ini dimulai jauh setelah Benua Amerika Selatan dan Benua Afrika terpisah, yang awal mula keduanya mulai terpisah sekitar 200 juta tahun yang lalu. Juga disebutkan bahwa kecepatan retakan Punggung Tengah Atlantik 20 – 50 mm/tahun. Adapun Retakan Afrika Timur, kecepatan retakan 6 – 7 mm/tahun, panjang retakan 6.400 km, kedalaman retakan 16 m dan lebar retakan 19 m.

Tampak bahwa kecepatan Retakan Afrika Timur 6 – 7 mm/tahun (rata-rata 6,5 mm/tahun), lebih kecil dibanding kecepatan retakan Punggung Tengah Atlantik yang besarnya 20 – 50 mm/tahun (rata-rata 25 mm/tahun). Jika keduanya dibandingkan, kecepatan Retakan Afrika Timur = (6,5/25 = 0,26) kali kecepatan retakan Punggung Tengah Atlantik. Berarti, ke depan, proses pemekaran dasar lautan baru yang sedang terbentuk di zone Retakan Afrika Timur, prosesnya akan lebih lambat 0,26 kali dibanding proses pemekaran dasar Samudra Atlantik pada masa yang lampau.

Lebar Retakan Afrika Timur pada 2018 adalah 19 m. Diasumsikan, lebarnya masih tetap 19 m pada tahun 2025. Bisa diperkirakan bahwa 10 juta tahun yang akan datang, secara rata-rata, lebarnya akan bertambah sebesar 6,5 mm/tahun x 10.000.000 tahun = 65.000.000 mm = 650 km. Atau, 1 juta tahun yang akan datang lebarnya bertambah 65 km. Atau, 1.000 tahun yang akan datang lebarnya bertambah 65 m. Atau, 500 tahun yang akan datang lebarnya bertambah 32,5 m. Sehingga, secara keseluruhan, lebar Retakan Afrika Timur pada 500 tahun yang akan datang menjadi (19 + 32,5) m = 51,5 m.

Kapan Pulau Afrika Timur lepas dari Benua Afrika? Pulau Afrika Timur yang dimaksud di sini adalah daratan di sebelah timur garis retakan, lihat Gambar 3, yang sedang dalam proses lepas atau terpisah dari Benua Afrika. Sebagaimana ditunjukan di atas, sekarang lebar Retakan Afrika Timur = 19 m. Sekitar 500 tahun yang akan datang lebarnya menjadi 51,5 m. Lebar retakan 51,5 m, selebar sungai besar, belum bisa dipastikan sebagai jarak antara 2 daratan yang terpisah, dalam hal ini Benua Afrika dengan Pulau Afrika Timur.

Namun demikian, ketika lebar retakan bertambah, kedalaman jurang retakan akan semakin dalam. Ketika 2 daratan saling menjauh, lempeng litosfer diantara keduanya akan semakin menipis. Sehingga, bisa diperkirakan bahwa paling kurang 500 tahun yang akan datang, jika lebar retakan yang 51,5 m bisa semakin lebar, maka retakan yang panjangnya 6.400 km akan terisi oleh air laut dari Samudra Hndia melalui kedua ujung retakan. Pada saat itulah bisa dikatakan telah terbentuk pulau baru, yakni Pulau Afrika Timur, yang lepas dari Benua Afrika. Seiring dengan bertambahnya waktu, retakan tersebut akan semakin lebar dan statusnya berubah menjadi lautan yang memisahkan Benua Afrika di Samudra Atlantik dengan Pulau Afrika Timur di Samudra Hindia.

Mulai saat itu, sepanjang retakan yang sekarang tampak di permukaan bumi berubah menjadi punggung tengah samudra di dasar lautan yang baru. Punggung samudra tersebut merupakan batas divergen antara 2 lempeng tektonik yang saling menjauh. Lempeng tektonik yang dimaksud adalah Lempeng Somalia dan Lempeng Nubia.

Juga disebutkan di atas bahwa luas Afrika akan berkurang dan terdapat pulau besar di Samudera Hindia. Dalam hal ini, pulau besar yang dimaksud adalah Pulau Afrika Timur. Dianggap pulau besar karena terpisah dari Benua Afrika melalui retakan sepanjang 6.400 km. Bandingkan dengan wilayah Indonesia, lurus timur – barat, panjangnya 5.116 km. Selain itu, lebar Retakan Afrika Timur antara 48 – 64 km, rata-ratanya 56 km. Dengan demikian, luas Pulau Afrika Timur = 56 km x 6.400 km = 358.400 km2. Berarti, luas Pulau Afrika Timur hampir sama dengan 2 kali luas Pulau Sulawesi, yakni 2 x 180.680,7 km2 = 361.361,4 km2.

ANCAMAN BENCANA DI ZONE RETAKAN

Berita Retakan Afrika Timur yang viral, kedengarannya menyeramkan. Meski demikian, perlu diketahui bahwa permukaan bumi memang selalu berubah dan akan terus berubah dengan proses yang sangat lambat. Demikian pula proses retakan tersebut juga berjalan sangat lambat sehingga tidak dirasakan oleh manusia. Namun demikian, perlu diketahui bahwa ada beberapa gunungapi aktif di sekitar retakan tersebut yang perlu diwaspadai karena pasti mempunyai tingkat risiko bencana letusan gunungapi yang tinggi.

Gunungapi yang dimaksud, terdapat di 4 negara dari 10 negara yang dilalui oleh Retakan Afrika Timur, yakni Gunung Kilimanjaro dan Gunung Oldoinyo Lengai (Tanzania), Gunung Kenya (Kenya), Gunung Nyiragongo (Kongo), Gunung Dabbahu (Ethiopia, meletus tahun 2005), dan Gunung Erta Ale (Ethiopia bagian utara, meletus tahun 2008). Adapun gempa vukanik yang diakibatkan oleh aktivitas gunungapi umumnya bermagnitudo kecil dan hiposenter dangkal. Getaran yang ditimbulkan bersifat sangat lokal. Sehingga, gempa-gempa vulkanik yang akan terjadi di zone retakan tersebut mempunyai tingkat risiko bencana gempabumi yang rendah.

Pada zone Retakan Afrika Timur akan selalu terjadi gempabumi tektonik, selain gempabumi vulkanik. Namun, gempa-gempa yang dihasilkan adalah gempa-gempa tektonik bermagnitudo kecil, karena zone tersebut tiada lain adalah zone divergen yang hanya menghasilkan gempa-gempa kecil, yang meski kedalaman hiposenternya dangkal tetapi tidak signifikan pengaruhnya. Sehingga, gempa-gempa tektonik yang akan terjadi di zone retakan tersebut, juga mempunyai tingkat risiko bencana gempabumi yang rendah.

PENUTUP

Bentuk permukaan bumi senantiasa berubah dengan sangat lambat. Setidaknya, sudah 3 kali permukaan bumi mengalami perubahaan besar. Pertama, Super Benua Columbia pecah, kemudian pecahan-pecahannya kembali menyatu dan membentuk Super Benua Rodina; Kedua, Rodina pecah, kemudian pecahan-pecahannya kembali menyatu dan membentuk Super Benua Pangea; dan Ketiga, Pangea pecah menjadi Gondwana dan Laurasia, yang kemudian masing-masing pecah lagi menjadi beberapa benua seperti yang tampak sekarang di permukaan bumi. Selanjutnya, bisa saja pecahan-pecahan benua yang sekarang kembali lagi menyatu dan membentuk super benua baru, dan seterusnya.

Umur manusia sangat singkat dibanding waktu geologi yang senantiasa berputar. Umur manusia modern tidak ada yang mencapai kisaran 500 tahun, bahkan kisaran 200 tahun sekalipun. Olehnya itu, manusia yang hidup sekarang tidak ada yang bisa menyaksikan lepasnya Pulau Afrika Timur dari Benua Afrika. Namun, bisa dipastikan bahwa lepasnya Pulau Afrika Timur dari Benua Afrika akan mempunyai halaman tersendiri dalam “buku” geologi planet bumi.

DAFTAR PUSTAKA

  • dream.co.id (07 April 2018), Misteri Retakan Raksasa Mengerikan, Benua Afrika Terbelah?,
  • Ludman, Allan and Nicholas K. Coch, 1982, Physical Geology, McGraw-Hill, USA.
  • WIKIPEDIA-c, Retakan Afrika Timur, https://en-m-wikipedia org.translate.goog/wiki/East_African_Rift?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc (Diakses 09 April 2024)

Pos terkait