Oleh: Muh. Basir Cyio
BERMULA dari tekad kuat dan rasa nekad untuk melanjutkan hidup di Bumi Tadulako pasca menyelesaikan Pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (kini: Makassar) Tahun 1986, maka hijrah adalah pilihan utama, walau tetap berselimutkan kekhawatiran karena merantau hanya dengan modal komitmen dan semangat.
Berawal dari hasrat besar ingin menjadi seorang wartawan Tahun 1988, maka hanya Mingguan Mercusuar sebagai media yang menjadi perbincangan di era 80-an. Media ini pula yang membuka pintu pertama dalam mengenal dunia pers, yang di jaman itu masih sangat dikontrol oleh pemerintah terkait kebebasan Pers. Salah melangkah, maka pembredelan menjadi ending yang mencekam.
Keberadaan Departemen Penerangan Republik Indonesia, adalah lembaga pemerintah yang diberi mandat dalam membina, mengawasi, sekaligus mengontrol konten yang diterbitkan sebuah Perusahaan Penerbitan Pers yang harus memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Waktu terus berjalan. Dan hiduppun membutuhkan penopang agar bisa sustain.
Mingguan MERCUSUAR, yang masih terbit dalam bentuk setengah plano, kira-kira setengah lipatan dari Harian Mercusuar saat ini. Adalah Drs. H. Rusdy Toana selaku Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi (Pemred). Lalu seperti apa sosok sederhana yang bernama Rusdy Toana? Berikut oretan sederhana yang disajikan dalam gaya bertutur “Saya”.
Pada pertengahan Tahun 1988, Mingguan Mercusuar membuka Loker (lowongan pekerjaan) untuk reporter. Saya salah seorang yang ikut mengadu nasib, walau pada saat itu telah berstatus sebagai tenaga honorer di Dinas Perkebunan Dati I (Daerah Tingkat I) Sulawesi Tengah, yang berlokasi di Jalan Kartini, Palu.
Saat saya memasukkan permohonan di Mingguan Mercusuar, yang beralamat di Jalan Yos Sudarso Nomor 33, Talise, Palu, langsung diuji dalam hal kemampuan menulis berita. Dari beberapa berita yang saya buat, semua ditolak oleh Ketua Tim Seleksi. Beliau kala itu sebagai Redaktur Pelaksana, namun saya sudah lupa nama beliau.
Keesokan harinya, saya kembali dipanggil untuk diwawancara. Dan Alhamdulillah, Bapak Drs. H. Rusdy Toana yang langsung mewawancarai. Dari sejumlah pembicaraan selama wawancara berlangsung, 90 persen hanya bertanya soal motivasi dan pengalaman. Saya yang masih minim pengalaman harus berkata jujur. “Saya cari hidup Pak, selain ingin banyak belajar soal Teknik buat berita”. Beliau selaku Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Mingguan Mercusuar hanya tersenyum kecil, sembari berkata. “Kamu ternyata terlalu polos”, kata beliau sembari menjelaskan jika apa yang saya sampaikan benar, tetapi biasanya dalam suatu wawancara yang dikemukakan adalah terkait karier, penguatan jati diri, dan juga dalam hal pengembangan kapasitas.
Saya yang mendengar petuah beliau, merasa bersalah karena terlalu “To The Point”. Tapi saya pun masih diberi kesempatan untuk bercerita. Dalam hati saya, ini adalah peluang untuk meralat jawaban pertama. Jadi begini Pak, karena menulis itu adalah sebuah keterampilan dan dibutuhkan dalam berkehidupan. Saya beranggapan bahwa banyak orang yang hebat berpidato, namun pidatonya dibuatkan oleh orang lain. Saya ingin banyak belajar di Koran yang Bapak Pimpin agar besok-besok, selain saya bisa bicara, juga bisa menulis. Itulah motivasi saya mengapa ingin bergabung di Koran Bapak.
Mendengar penjelasan saya yang panjang kali lebar, Pak Rusdy Toana bukan lagi tersenyum tetapi ketawa terbahak-bahak yang sangat khas, dan hingga kini, ketawa beliau masih terngiang dan tak akan saya bisa lupakan sampai saya pun kembali ke Pangkuan Ilahi Rabbi. Pak Rusdy lalu menambahkan petuahnya. Jadi begini, kepolosanmu itu bagus dan memang orang cari Loker memang untuk cari penghidupan. Jadi jawaban kamu itu tidak salah, tegas Pak Rusdy kepada saya sembari menatap bak seorang anak ditatap sayang oleh orang tuanya sendiri.
“Apakah kamu bisa bicara jika lapar. Apakah kami bisa menulis kalau lapar? Kan tidak!”, lanjut beliau semakin membuka wawasan. Bahwa jikapun ada jawaban yang panjang lebar, itu hanya mengajarkan orang yang diwawancarai untuk “berdusta”, seolah dipaksa menutup atas apa yang ada di balik tujuan utamanya dalam membangun interaksi dan transaksi sosial, kata beliau menasihati.
“Ya sudah, mulai besok saya tugasi kamu meliput berita di Pengadilan Agama Palu terkait sidang perceraian. Dan menjelang Lebaran, jangan lupa kamu terjun ke Tondo Kiri (Kawasan Lokalisasi) para WTS (Warganegara Tetapibutuh Sentuhankalbu). Dua tugas utama ini saya laksanakan sesuai perintah beliau.
Seusai meliput, saya pun menyerahkan ke Redaktur Kota sebuah berita hasil liputan di sidang Pengadilan Agama Palu dengan judul “Seorang Nenek-nenek Gugat Cerai Suami”. Hampir setahun saya mendapat tugas dari redaksi menjadi reporter di Pengadilan Agama Palu, di samping meliput penugasan khusus di Tondo Kiri.
RUSDY TOANA SEBAGAI TOKOH
Sebagai tokoh pers, saya menyaksikan kegigihan dalam mengawal dan menjaga perkembangan pers di tanah air, khususnya di Bumi Tadulako, Drs. H. Rusdy Toana tak pernah surut. Rusdy Toana sadar bahwa dalam memperjuangkan lahirnya Provinsi Sulawesi Tengah, Pers adalah salah satu ujung tombak yang dapat mengawal sebuah perjuangan. Putra kelahiran Parigi pada 9 Agustus 1930 dan mangkat pada 10 Agustus 1999, adalah pribadi yang konsisten.
Dalam perjalanannya sebagai pemuda di zamannya, Drs. H. Rusdy Toana adalah akademisi sekaligus pejuang yang ingin suaranya tidak sekadar di dengar tetapi juga dibaca. Dari prinsip itulah, Rusdy Toana terus menggelorakan dalam mendirikan media surat kabar, mulai dari Pelopor, Majalah Bhakti, Suara Rakyat, dan “Mercusuar”, yang merupakan surat kabar tertua di Sulteng.
Jati dirinya sebagai akademisi dan pendidik, saya menjadi saksi betapa sangat mencintai dunia pendidikan, terkhusus pada pendidikan tinggi. Mengawali perjuangannya bersama tokoh perintis yang ingin mendirikan Sulawesi Tengah sebagai provinsi, maka Rusdy Toana menjadi salah satu perintis berdirinya Universitas Tadulako (Untad) dan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu. Rusdy Toana telah menjabat Rektor pertama Unismuh Palu, yang pengabdiannya dilanjutkan oleh H. Nurdin Rahman, S.H., yang keduanya juga adalah dosen senior Universitas Tadulako. Drs. H. Rusdy Toana sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Tadulako dan H. Nurdin Rahman, S.H., adalah dosen senior di Fakultas Hukum Universitas Tadulako.
Saya pun sering mendengar kisah-kisah perjuangannya dalam merintis pendirian Provinsi Sulawesi Tengah yang kerap diceritakan di saat sedang berkunjung ke Kantor Redaksi Mercusuar, Jalan Yos Sudarso Nomor 33 Palu. Suata saat, saya dipanggil ke meja tempat duduknya di kantor Redaksi.
Sir (maksudnya Basir), kamu kan sudah doktor. Dan telah menduduki jabatan Pembantu Dekan I di Fakultas Pertanian Unismuh. Tolong bantu, stabilkan dulu kondisi Fakultas Pertanian yang tiap hari nyaris ada aksi unjuk rasa mahasiswa. Saya tidak mampu menjawab. Betapa tidak! Yang duduk sebagai dekan Fakultas Pertanian adalah senior saya sendiri, yakni Ir. Muhammad Ikhsan Nur, M.S., yang waktu itu juga sebagai Ketua Jurusan Budidaya Pertanian (BDP) Fakultas Pertanian. “Oke toh, selamatkan dulu itu fakultas, pusing torang kalu ada terus demo”, kata Drs Rusdy Toana.
Sebagai anak buah beliau di dua tempat: Anak buah di Koran Mercusuar dan anak buah di Universitas Muhammadiyah Palu, saya hanya mampu mengangguk, tapi tak bisa berucap. Pada hari yang beliau tentukan, jika tidak salah ingat tepat di Hari Rabu, saya pun diundang ke Majid Ulil Albab Unismuh.
Ternyata agenda tunggalnya adalah: Melantik saya sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palu pada akhir 1997. Saya hanya tercengang. Saya juga tidak mengenakan pakaian layaknya pelantikan seorang dekan. Pelantikannya juga duduk bersila, sembari menyampaikan jika mulai hari itu, saya harus menjalankan tugas-tugas dekan di Fakultas Pertanian Unismuh.
Mengapa saya sulit untuk berkata TIDAK kepada sosok bernama Drs. H. Rusdy Toana? Apapun yang beliau perintahkan, saya pasti mengiya. Walaupun dalam putaran waktu setelahnya saya tetap menyampaikan hal-hal berat yang terkadang tak mampu saya jalankan. Mengapa saya tak mampu berkata TIDAK?
Yang pertama, seperti yang saya sebutkan bahwa saya anak buah di dua tempat, yakni staf redaksi di Koran Mercusuar, di mana beliau sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi, dan saya juga sebagai dosen dan Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian di Unismuh, di mana beliau sebagai Rektor. Dan yang paling mendasar mengapa saya sulit membantah, karena beliau adalah orang tua saya yang melamar dan menikahkan dengan istri saya Dr. Hj. Fadhliah Liwesigi, M.Si, puteri dari Andi Djiwa Liwesigi, BA., dan Siti Halimah pada awal Tahun 1993.
Waktu tak terasa terus menggelinding, dan ternyata saya telah memangku jabatan Dekan Faperta Unismuh sekitar 8 (delapan) bulan hingga Agustus Tahun 1998. Suasana di Faperta Unismuhpun mulai tenang dan pelaksanaan akademik sudah berlangsung seperti sedia kala. Saya melapor untuk mengundurkan diri, dan bermaksud menggelar Pemilihan Dekan. Namun saat menghadap ke Rektor Unismuh di Kantor Mercusuar, beliau hanya berkata: “Bisakah kasih selesai satu periode”? Mendengar pernyataan beliau, saya hanya menjawab karena bukan diperintahkan, maka izinkan saya menggelar pemilihan saja. Dan Alhamdulillah, yang menjadi penerus adalah Ir. Muhammad Sirajuddin, MP., yang sebelumnya sebagai Pembantu Dekan I. Usai sudah amanah yang dititipkan Rektor Unismuh, Drs. H. Rusdy Toana.
Sebagai Rektor Unismuh, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, dan juga menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Muhammadiyah Sulteng periode 1990-1995. Semangat dalam membangun, saya membaca telah tumbuh sejak beliau menjadi sosok Aktivis saat masih menjadi pelajar di Yogyakarta. Bahkan Drs. H. Rusdy Toana bergabung dengan Tentara Pelajar dalam Kesatuan Brigade 16 Yon Matalatta yang duduk pada seksi pelajar Sulawesi. Ia juga mendirikan Majalah Bhakti sebagai sarana perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pesan yang selalu ditularkan kepada kader-kadernya bahwa jika kelak tumbuh menjadi pemimpin pada level terendah sekalipun, maka sebagai sosok cendekiawan harus sanggup berdialog secara terbuka dan menerima kritikan sebagai bentuk motivasi. Bukan malah menjadi pendendam jika mendapat kritikan.
Rusdy Toana yang dalam membangun interaksi baik terhadap yang sederajat maupun bawahannya, sosok ini selalu menunjukkan konsistensinya, tetapi bukan ego. Sebagai anak ketiga dari sembilan bersaudara, Rusdy terlahir dari ayah bernama Abd Wahid Toana, yang tidak lain adalah sosok pejuang kemerdekaan. Meskipun lahir di Parigi, namun masa kecil banyak dihabiskan di Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso. Karena kejujuran dan ringan tangannya dalam berbagi, sayapun merasakan kedermawanan beliau.
Ia bukan hanya mengurus perkawinan saya, tetapi beliau juga memberi rizki menjelang hari H pernikahan saya, di saat beliau mendapat honor. “Ini ada rezki, kemarin saya dapat honor”, kata Rusdy Toana sembari menyodorkan amplop yang berisi beberapa lembar pecahan 10 ribu, yang kala itu nilainya sudah sangat luar biasa, saat di mana gaji saya tak lebih dari Rp85 ribu.
Sosoknya yang dikenal jujur dan ikhlas dalam setiap langkah, ia bahkan disebut “tidak bisa kaya” karena sering kali honornya sebagai rektor habis untuk membantu mahasiswa, pelajar, dan anggota Muhammadiyah yang datang ke rumahnya dengan berbagai keperluan hidup. Itulah cerminan ketulusan dalam membantu pada orang yang tepat.
SAYA JADI SAKSI HIDUP SAAT BERDEBAT DENGAN PROF MATTULADA DAN PROF MUSYI AMAL
Di saat saya masih berstatus CPNS Tahun 1990 setelah diangkat pada 1 Maret 1989, sebuah peristiwa sosial kami alami. Sebagai Pemimpin Redaksi, Drs H. Rusdy Toana adalah sosok pemimpin yang bertanggung jawab. Sebuah berita di Mingguan Mercusuar terkait dengan pemotongan Rapelan gaji dosen CPNS yang telah selesai mengikuti Prajabatan. Saya salah satu di dalamnya, di mana rapelan saya juga ikut dipotong oleh oknum bendahara kala itu. Tidak jelas siapa pelakunya. Namun berita itu saya tulis karena bagian dari perjuangan. Bukan karena saya salah seorang korbannya.
Namun, berita itu mendapat perhatian serius di kalangan Untad. Bahkan Rektor Prof Dr. H. A. Mattulada memberi atensi luar biasa. Dan, saat itu memang Prof Mattulada memasuki tahun-tahun terakhir masa jabatannya setelah diangkat sejak Tahun 1981, awal mula Universitas Tadulako di Negerikan, di mana Dies Natalisnya ditetapkan pada 18 Agustus, namun dalam kepemimpinan Prof Dr. Amar, ST. MT., diubah karena (mungkin) ada keinginan merubah sejarah panjang perjalanan Universitas Tadulako, yang di dalamnya ada nilai perjuangan yang diwariskan Drs. H. Rusdy Toana.
Ketika berita pemotongan rapelan gaji dosen baru menjadi bahan diskusi di tengah masyarakat, maka Rektor Prof Dr H. A. Mattulada mendapat laporan jika yang menulis berita adalah dosen baru bernama Basir. Setelah intel Rektor Prof Mattulada melakukan pelacakan yang saat itu belum ada GOOGLE. Satu-satunya aplikasi yang dugunakan untuk menemukan wartawan yang bernama Basir memanfaatkan perangkat konvensional bernama DAMU-KEMU alias Dari Mulut Ke Mulut.
Semua nama Basir disisir habis, dan dimulai dari Ir Basir Paly, yang telah pindah ke IKIP Makassar (kini UNM). Setelah diinterogasi, Basir Paly membantah jika dirinya disebut yang menulis berita karena ia bukan wartawan. Gagal menjadikan tersangka Basir Paly, pasukan Damu-kemu terus berjuang. Orang kedua yang disasar adalah Basir Languha. Lagi-lagi tim intel gagal meyakinkan dirinya jika Basir Languha adalah penulis berita.
Setelah dua orang bernama Basir hampir terkena salah tangkap, maka tibalah pada Basir ketiga, yakni Basir Cyio. Tidak ada terlalu lama dari kepastian jika sayalah penulisnya, turun panggilan resmi yang ditanda tangan oleh Rektor Prof Mattulada yang ditujukan kepada Pemred Mercusuar, Bapak Drs. H. Rusdy Toana. Agar tidak salah dalam memberi penjelasan, maka saya disuruh ikut mendampingi Pemred. Pada saat tiba hari, tanggal, dan jam yang ditentukan, maka saya dan Bapak Drs H. Rusdy Toana menuju Ruang Kerja Rektor Prof Mattulada yang terletak pada ujung timur Gedung ex LPPM yang kini telah dipugar, tepat di depan Bank BNI Kampus.
Tidak ada kata pembukaan. Prof Mattulada langsung dengan gigi tiga dalam mempersoalkan berita yang saya tulis di Mingguan Mercuar. Debat sengitpun berlangsung panas. Selain saya yang menjadi saksi hidup, salah seorang dosen senior Fakultas Pertanian, Ir. Nasir Abbas, MS., turut hadir di ruang Rektor tetapi ia menghadap tembok karena sedang mengetik di depan Komputer. Ia juga dikenal orang dekat dengan Rektor kala itu.
Usai Drs. H. Rusdy Toana berdebat dengan Rektor, tibalah giliran saya ditatap sinis. Saya yang masih berusi 28 tahun, tak sanggup menatap mata seorang Profesor dan Rektor. Tiba-tiba terlontar pernyataan tegas dari Prof Mattulada. “Anda kan masih CPNS kan? CPNS itu ibarat kapas yang masih mudah diterbangkan angin entah ke mana?”.
Suasana pun makin mencekam. Gertakan ini jelas sangat mengancam nasib saya. Yang terbayang adalah, jika memang saya diberhentikan, biarlah saya mengembangkan diri di dunia jurnalistik. Namun, sebelum pamit, beliau berdua saling berpelukan, sembari berkata kepada saya: Lain kali jangan lagi tulis tentang Untad yah. Kamu masih muda, dan saya sebagai orang tua berkewajiban membina dan membimbing generasi muda.
Mendengar itu, saya memegang tangan beliau sembari saya mencium, pertanda rasa bersalah seorang anak kepada orang tuanya. Kami berdua pun pamit. Namun dalam perjalanan di Lorong-lorong, Drs H Rusdy Toana berbisik kepada saya. Begini bisikan beliau: Wartawan itu memang pekerjaan berisiko. Tetapi sepanjang niatnya untuk memperbaiki dan control sosial, kamu jangan mundur. Rezki dan nasibmu, Insya Allah ada di tangan Tuhan. Teruslah menulis, nasihat Rusdy Toana yang ternyata membuktikan bahwa tantangan itu bukan untuk mengerdilkan kita tetapi dijadikan pemicu dalam menumbuhkan semangat juang untuk lebih profesional.
Lalu apa dampak dari peristiwa itu? Saya melihat Prof Mattulada bukan pemimpin yang pendendam. Tidak tahu nasib saya andai tipe rektor kala itu adalah sosok pendendam, pembenci, dzolim, dan berasal dari aliran radikalisme terhadap staf yang tidak berdaya. Mungkin saya langsung diusulkan pemecatan. Ternyata justru sebaliknya.
Satu-satunya dosen CPNS yang diizinkan melanjutkan Studi S2 adalah saya. Dosen yang masuk setahun sebelum sayapun, belum diperkenankan untuk melanjutkan pedidikan ke jenjang Pascasarjana. Inilah hikmah di balik sebuah peristiwa. Dekan Faperta kala itu, adalah Ir. H. Masril Bustami, M.Sc., yang memanggil khusus agar saya segera mengisi formular S2, tidak dipersoalkan mau lanjut di mana. Gonjang ganjingpun mewarnai Fakultas Pertanian. Saya diminta untuk segera lanjut S2 dalam status CPNS bukan karena prestasi. Melainkan karena “diusir” agar jangan lagi menulis tentang Untad.
Bagi saya, apapun itu, mencoba melihat hikmah di balik semuanya. Ketika menyampaikan seruan Rektor dan Dekan agar saya melanjutkan S2 Tahun 1990, Drs. H. Rusdy Toana hanya berkata singkat. “Berangkat”. Dan setelah kembali S2, masuk ulang di Mercusuar. Saya jawab, Iye Pak. Waktu pun terus berjalan. Tak terasa akhirnya berhasil menyelesaikan S2 tahun 1992. Melapor ke Untad dan melapor ke Mercusuar. Alhamdulillah, semua berjalan dengan baik.
Cobaan kembali terjadi. Setelah aktif di Mercusuar pasca menuntaskan studi jenjang S2, ternyata saya menulis lagi yang kurang berkenan di mata Rektor. Tapi kali ini Rektornya bukan lagi Prof Mattulada, tetapi Prof. Dr. H. Musyi Amal Pagiling, MA. Panggilan dinas untuk menghadap Rektor dilayangkan kepada Drs. H. Rusdy Toana dan saya sendiri. Isi panggilannya adalah untuk mempertanggungjawabakan isi berita yang ditulis dengan kode wartawan penulis (cyio).
Setelah sampai di ruangan rektor, ternyata Prof Musyi Amal sudah emosi sampai di ubun-ubun. Begitu kami berdua duduk di depan rektor, Musyi Amal langsung menggebrak meja. Hanya selang 2 detik, Drs. Rusdy Toana juga ikut menggebrak, sebagai respon dari gebrakan Prof Musyi Amal. Kedua orangtua kami kala itu, sama-sama naik emosi. Saya mencoba menekan paha kanan Pak Rusdy Toana dengan tangan kiri, karena saya duduk di sebelah kanan Beliau. Namun kode saya tak direspon.
Sahut-sahutan pun terus menyala. Bahkan jauh lebih dahsyat dibandingkan di saat kejadian serupa terjadi di jaman Prof Mattulada. Menariknya, antara Prof Musyi Amal dan Drs Rusdy Toana adalah tetangga dekat di Jalan Suprapto yang hanya di antarai tembok pembatas. Tapi itulah kenyataan yang terjadi saat itu, sebagai alkisah yang tak mungkin bisa saya lupakan. Dari beliau berdua pun saya banyak memetik pelajaran. Prof. Musyi Amal tidak mendendam. Drs Rusdy Toana juga tidak pernah mempersoalkan. Andai saya dipandang wartawan yang salah dan menyusahkan, maka sejak peristiwa di jaman Prof Mattulada saya sudah dipecat dari Mercusuar. Inilah mengapa saya berpandangan bahwa Drs. H. Rusdy Toana adalah sosok orang tua, tokoh dan pemimpin yang futuris.
Satu hal yang paling membahagiakan sebagai wartawan di rumah besar Mercusuar, saat detik-detik mempercayakan kepada saya untuk meng-handle TAJUK RENCANA, yang selama puluhan tahun beliau yang mengisinya. Saat itulah saya merasa jika saya di mata Drs. H. Rusdy Toana sama dengan anak sendiri. Setelah sekian lama saya tangani Tajuk Rencana, tak sekalipun beliau pernah tegur. Walaupun saya sadar, jika tulisan saya terkadang ada yang agak ngeri-ngeri sedap, tetapi tetap konstruktif.
Kepercayaan ini, adalah sebuah amanah yang luar biasa. Sebagai anak, sulit rasanya melupakan sosok Drs. H. Tusdy Toana. Telah membina, membimbing, mengawal, mengajari, dan tak pernah mematahkan samangat dalam berkarya. Dua kesalahan besar yang saya lakukan, bukan dimarah, apalagi diancam untuk dipecat. Sikap ini juga turun di dalam jati diri Pak Tri Putra Toana alias Pak Ongki. Kini, Pak Ongki telah menjadi penerus beliau. Saat berita saya memicu kemarahan besar dengan pemberitaan Mahasiswa D3 PAT Untad di Kampus Setia Budi, mahasiswa kala itu memorak porandakan Kantor Redaksi Mercusuar.
Meja dibanting. Komputer dihancurkan, dan telepon kantor dihempas ke lantai. Kantor redaksipun berhenti beroperasi beberapa minggu. Saya merasa bersalah. Namun Pak Ongki ternyata tidak pernah menyalahkan saya, hingga Mercusuar bergabung dengan Jawa Pos kala itu. Tipikal Rusdy Toana sebagian besar melekat dalam kepribadian Tri Putra Toana. Di sinipun saya banyak memahami. Bahwa musibah dan gelombang cobaan dalam hidup selalu Allah siapkan hikmah terbesar di baliknya.
Dan, yang paling membuat saya galau setelah beberapa hari bertemu bertiga dengan Prof Mattulada dan Drs H Rusdy Toana adalah adanya informasi jika Nama Basir Cyio itu telah di-Black List oleh Rektor. Dan, siapapun jadi rektor setelah Prof Mattulada, nama saya telah menjadi catatan hitam yang mungkin tak akan menemui titik terang dalam perjalanan karier saya ke depan. Sebab, kata sahabat saya, bahwa yang namanya orang yang di-Black List, akan selalu muncul dalam buku Memory Serah Terima Jabatan setiap Rektor. Namun seiring berjalannya waktu, kegalauan saya mulai sirna ketika mendapat kepercayaan sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian, Pembantu Dekan I, Dekan Faperta, hingga bisa sampai pada posisi Prof Dr HA Mattulada dan Prof Dr Musyi Amal.
Apa artinya? Jika kita diterpa gelombang panas yang membakar dan menghanguskan, segera oleskan dengan salep kesabaran agar berangsur sembuh dan bangkit kembali. Biarkan kita ada belang, karena belang itulah pertanda kita pernah berbuar hingga akhirnya menimbulkan kesalahan, kekhilafan, dan juga berdampak. Bahwa ada yang negatif di sisi kiri yang mendampingi hal-hal yang berdimensi positif, itulah sebuah kesempurnaan menurut Drs H Rusdy Toana. Banyak yang punya sisi negatif tetapi masih terbungkus karena Allah masih menutupnya, sehingga orang seperti itu sok suci dan sok bersih di bawah gelimangan nokta yang masih tertutupi.
Insyaallah, orang tua dan guru saya Drs H. Rusdy Toana, mantan Rektor Unismuh dan Pemred Mercusuar telah memberikan nilai keteladanan. Terima kasih atas didikannya yang akan tetap tersemai hingga kita dipertemukan di alam sana. Demikian pula Prof. Dr. H.A. Mattulada dan Prof. Dr. H. Musyi Amal Pagiling, yang telah menunjukkan sikap keguruannya di saat saya berbuat salah di mata beliau. Dan tak lupa pula kepada Prof. Drs. H Aminuddin Ponulele, M.S., Drs. H. Mohammad Rasyid, M.S., dan Drs. H. Sahabuddin Mustafa, M.Si., tokoh dan senior yang telah menitipkan nilai dan kebajikan kepada saya. Hanya doa yang dapat saya kirimkan, semoga para guru kami mendapat tempat terindah di sisi Allah SWT bersama Bapak Drs. H. Rusdy Toana, orang tua, guru, dan juga teladan bagi saya.
Yang pasti, bahwa tokoh-tokoh yang berinteraksi dengan Drs. H. Rusdy Toana, adalah sesama sosok pemimpin. Beliau-beliau bukan penguasa yang beraliran radikal bertangan besi yang merasa bangga jika mampu menghancurkan masa depan dan nasib seseorang. Rusdy Toana. Namamu akan tetap abadi dalam setiap jalan hidup yang saya lalui. Jika ada rasa yang pahit, itu hanya sebuah titian yang menghubungkan ke tempat sarang lebah madu yang ada di seberang sana. ***