Selain Bermohon ke MA, Masih Adakah Jalur Lain?

Oleh: Nasrullah Muhammadong

Putusan MK No: 137/PUU-XIII/2015, telah mencabut kewenangan Mendagri atau gubernur untuk membatalkan perda kabupaten/kota. Untuk melengkapi putusan tersebut, lahir lagi Putusan MK No: 56/PUU-XIV/2016 yang lagi-lagi menegaskan, Mendagri tidak bisa membatalkan perda provinsi yang bermasalah.

Jauh sebelum putusan ini lahir, para pakar hukum telah memberikan pandangan tentang tidak bolehnya perda dibatalkan oleh pemerintah. Nikmatul Huda (2008) misalnya, menyatakan: “karena peraturan daerah itu termasuk kategori peraturan yang hierarkinya berada di bawah UU, maka dapat menimbulkan penafsiran, olehnya pemerintah pusat sudah seharusnya tidak diberikan kewenangan oleh UU untuk menilai dan mencabut perda.

Begitu pula Jimly Asshiddiqie (2010): “peranan pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota, ataupun pemerintahan provinsi terhadap pemerintahan daerah kabupaten/kota, cukup dikaitkan dengan prosedur “executive preview” (pratinjau/pencegahan oleh eksekutif, pen), bukan dengan “executive review” (penindakan/pengujian oleh eksekutif, pen). Lanjut beliau, pemerintah pusat cukup diberi wewenang untuk menyatakan menolak pengesahan suatu rancangan peraturan daerah provinsi yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara gubernur dan DPRD Provinsi dalam tenggang tertentu”.

Pasca putusan MK tersebut di atas, tentu memberikan dampak yaitu telah berakhirnya dualisme pengujian perda. Sebelum lahirnya putusan MK, pengujian perda dilakukan oleh mendagri dan gubernur (executive preview) dan MA (judicial review). Hanya perbedaannya, kalau mendagri atau gubernur sifatnya aktif. Sebaliknya MA sifatnya pasif, alias diperiksa bila ada yang mengajukan permohonan.

Pasca Putusan MK tersebut, maka yang tertinggal hanyalah pengawasan perda dalam bentuk pencegahan (preventif). Seperti, evaluasi dan fasilitasi raperda.

SEMPAT KECEWA

Pasca terbitnya putusan MK di atas, sempat menimbulkan kekecewaan di kalangan pemerintah. Sebut saja pihak Mendagri. Mereka menyesalkan penghapusan norma kewenangan pembatalan tersebut. Penghapusan kewenangan ini dapat menghambat program deregulasi untuk investasi. Mengapa? Menurut Mendagri, sekarang ini, masih banyak perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan memperpanjang birokrasi perizinan investasi (hukumonline; 2017). Kekhawatiran lain, yaitu semakin tidak terkontrolnya produksi perda yang berpotensi menimbulkan kontroversi dan menghambat pembangunan.

JALUR LAIN?

Untuk menyahuti kedua Putusan MK tadi, diadakanlah perubahan atas Permendagri No 80/2015. Permendagri perubahan itu adalah, Permendagri No 120/2018 (selanjutnya disebut, permendagri perubahan). Salah satu perubahan itu adalah, diperkenalkannya istilah (yang belum dikenal pada peraturan sebelumnya), yaitu bernama “klarifikasi”Dalam Pasal 1, angka 32, Permendagri Perubahan, diberikan definisi, “klarifikasi” adalah pengkajian dan penilaian terhadap perda untuk mengetahui kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

Tindakan pengawasan perda dalam bentuk “klarifikasi” ini, boleh dikata, sebuah terobosan yang cukup progresif, pasca dibatalkannya pengujian perda oleh mendagri atau gubernur.

Untuk diketahui, pasca putusan MK tersebut, masyarakat atau orang per orang (yang memiliki kepentingan atau legal standing), terpaksa mengajukan permohonan uji materiil atas perda, ke MA. Tentu tindakan ini, tidak mustahil, dapat memakan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Namun, dengan diterbitkannya permendagri perubahan tadi, sebuah perda yang telah diundangkan, masih dapat dikritisi, diuji atau ditinjau ulang. Sekali lagi, inilah yang dimaksud dengan perda yang diklarifikasi. Siapa saja yang dapat melakukannya? Dalam permendagri perubahan, ditentukan, yaitu, setiap orang, kelompok orang, pemerintah daerah, badan hukum dan/atau instansi lainnya, dapat mengusulkan klarifikasi perda yang dipandang bermasalah tersebut. Bahkan, klarifikasi dapat dilakukan oleh mendagri dan/atau gubernur, berdasarkan inisiatifnya sendiri.

PROSES KLARIFIKASI

Klarifikasi perda dimaksud, tentu tidak berdampak pada pembatalan perda itu sendiri. Tapi yang diterima, sekadar surat dari mendagri kepada gubernur, atau surat dari gubernur kepada bupati/walikota, yang berisi pernyataan, bahwa perda yang diklarifikasi itu, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Surat pernyataan tadi, berisi pula rekomendasi untuk melakukan perubahan atau pencabutan atas perda paling lama pada pembentukan propemperda tahun berikutnya. Kalau pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota tidak melaksanakan hasil Klarifikasi tersebut, maka ketidakpatuhan itu, akan menjadi bahan penilaian tersendiri terhadap kinerja pemda yang bersangkutan. Cuma sayangnya, tidak diuraikan lebih lanjut, apa dan bagaimana bentuk bahan penilaian dimaksud.

Untuk prosedurnya, penulis mencoba membuat ikhtisar (berdasarkan peraturan tadi). Pertama, pihak kemendagri atau gubernur, menerima perda paling lama 7 (tujuh) hari setelah diundangkan. Kedua, memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang telah disebutkan dalam peraturan tadi, untuk mengajukan klarifikasi (keberatan). Ketiga, mendagri atau gubernur dalam melakukan klarifikasi, dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari, terhitung sejak tanggal surat diterima.

Kembali lagi ke judul di atas (yang berupa pertanyaan tadi): “Selain Bermohon Ke MA, Masih Adakah Jalur Lain?” Semoga telah terjawab, melalui tulisan ini.***

Penulis adalah, Pengajar Ilmu Perundang-Undangan pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu.

Pos terkait