Oleh: Ibnu Mundzir
SETIAP tahun baru selalu melahirkan harapan dan kesempatan berbuat lebih baik. Entah dalam dimensi material berupa pencapaian yang tangible/ragawi maupun imaterial yang intangible/nirragawi.
Menjadi atau mencapai hasil yang lebih baik, itu adalah naluri intrinsik semua makhluk. Bahkan sekelas Setan sekalipun mau mendapatkan hasil yang terbaik, tentu dalam dimensi indikator kesetanannya pula, seperti ingin berumur sangat panjang agar dapat menggoda dan menyesatkan sebanyak banyaknya umat manusia, dan menjerumuskannya kedalam neraka agar dapat bersamanya kelak (Al-A’raf 16-17)
Di antara kesyukuran adanya agama, adalah kita diberi pedoman dan contoh agar bisa terselamatkan dari perangkap dan godaan dari setan dan bala tentaranya tersebut. Yah, minimal kita dipedomani trik dan cara agar dapat terhindar dari jerat dan godaannya.
Setiap tahun baru, selayaknya kita punya semacam Balance Score Card, yang berguna sebagai penimbang. Apakah ada hal baik baru yang bisa kita andalkan jika kelak bertemu dengan Sang Maha Pengadil, atau malah keburukan kita yang semakin menganga, berimbas membesarnya penyesalan kita kelak, yang ultimate output-nya hanya ada dua, yaitu bahagia selama lamanya atau malah penyesalan yang tiada akhirnya. Nauzubillah.
Penyemaian hal baik dan buruk tersebut hanyalah di dunia ini saja. Makanya dalam Al-Qur’an, dunia juga identik penyebutannya sebagai tempat bercocok tanam. Atau disebut dengan istilah Mazra’ah seperti dalam Al-Baqarah ayat 201.
Bagian dari Kosmologi Keislaman
Saya sendiri lebih tertarik mengucapkan Selamat Tahun Baru Islam 1447 hijriah, ketimbang selamat Tahun Baru Hijriah. Seorang kawan bertanya ‘Nakuya Komiu pake kata itu?’ Saya jawab sederhana, sebab hijriah itu merujuk pada peristiwa sejarah penetapan penanggalan tahun baru Islam. Sehingga lebih bermakna historis, ketimbang makna kontemplatif dan spritualitas yang utuh.
Peristiwa hijrah sebagai penanda penanggalan, merupakan bagian kecil dari kosmologi keislaman itu sendiri. Tahun baru Islam juga sebagai penciri peradaban, selain ada tahun baru Masehi, tahun baru Cina atau penanggalan suku Inca di Amerika Latin. Serta masih banyak contoh lain penanggalan di Nusantara kita.
Jadi, menurutku penyebutan Tahun Baru Islam, lebih bermakna simbolis bahkan ideologis, tidak sekedar penanda historis semata. Namun yang jauh lebih penting ketimbang permainan diksi tersebut, adalah adakah hal baik baru yang membuat kita pantas dikenang? Tidak usahlah dikenang sejarah, sebab itu kejauhan. Minimal hal baik baru yang membuat orang terdekat kita bisa nyaman dengan kehadiran kita. Sebab sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang di sekitarnya, dan manusia di sekelilingnya merasa aman dari gangguan tangannya. Wallahu a’lam. ***
Penulis adalah Birokrat muda, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu