Setop Izin yang Merugikan Rakyat

Ilustrasi AI

INSTRUKSI Presiden RI, Prabowo Subianto kepada para menteri untuk tidak memperpanjang berbagai izin pengelolaan sumber daya alam, mulai dari Izin Usaha Pertambangan (IUP), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), hingga Hutan Tanaman Industri (HTI), menandai sebuah sikap politik yang tegas dan patut dicermati secara serius. Pernyataan itu bukan sekadar retorika kekuasaan, melainkan pesan kuat bahwa negara hendak kembali menegakkan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin (15/12/2025), Presiden menegaskan bahwa pemerintah telah mencabut dan menguasai kembali sekitar empat juta hektare lahan konsesi. Lebih jauh, sepanjang tahun berjalan tidak ada satu pun izin kehutanan maupun pertambangan yang dikeluarkan atau diperpanjang. Kebijakan moratorium ini disertai dengan komitmen untuk mengkaji ulang seluruh perizinan yang dinilai tidak menguntungkan rakyat dan melanggar peraturan perundang-undangan.

Langkah tersebut layak diapresiasi, mengingat selama puluhan tahun pengelolaan sumber daya alam kerap dikritik karena lebih menguntungkan segelintir pemegang modal, bahkan tidak jarang keuntungan dibawa ke luar negeri tanpa memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan rakyat. Ketika konsesi diberikan, namun hasilnya tidak berkontribusi pada perekonomian nasional, lapangan kerja, maupun pembangunan daerah, maka jelas ada penyimpangan dari semangat konstitusi.

Presiden Prabowo secara eksplisit mengaitkan kebijakan ini dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penekanan ini penting, sebab Pasal 33 bukan sekadar norma hukum, melainkan fondasi ideologis pengelolaan ekonomi nasional. Negara tidak boleh ragu menarik kembali mandat pengelolaan jika terbukti disalahgunakan.

Namun demikian, kebijakan tegas ini juga menuntut kehati-hatian dalam pelaksanaannya. Review perizinan harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berbasis hukum, agar tidak menimbulkan ketidakpastian usaha atau membuka ruang konflik baru. Penegakan hukum harus berjalan seiring dengan kepastian regulasi, sehingga tujuan melindungi kepentingan rakyat tidak justru berujung pada stagnasi ekonomi.

Lebih dari itu, kebijakan ini juga harus diletakkan dalam kerangka pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sumber daya alam tidak berhenti hanya untuk generasi hari ini. Ia harus dijaga agar tetap dapat dinikmati oleh anak cucu bangsa di masa yang akan datang. Eksploitasi yang berlebihan, tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, justru akan mewariskan krisis ekologis dan bencana sosial bagi generasi mendatang.

Karena itu, peninjauan ulang perizinan harus disertai dengan komitmen kuat terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. Setiap izin yang diberikan di masa depan, harus memenuhi standar perlindungan lingkungan, pemulihan ekosistem, serta keterlibatan dan perlindungan masyarakat lokal. Kemakmuran rakyat tidak boleh dibayar dengan kerusakan hutan, pencemaran air, dan hilangnya ruang hidup.

Pernyataan Presiden tentang “Indonesia incorporated” mengandung pesan kolaboratif, bahwa kemakmuran nasional hanya dapat diraih bila seluruh elemen bangsa bahu-membahu, bukan untuk dinikmati segelintir pihak. Ketimpangan penguasaan sumber daya alam adalah luka lama yang harus disembuhkan dengan keberanian politik dan konsistensi kebijakan.

Pada akhirnya, instruksi Presiden ini adalah ujian bagi negara! Sejauh mana pemerintah mampu konsisten menegakkan kedaulatan atas sumber daya alam demi kepentingan rakyat banyak. Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, kebijakan ini bukan hanya akan memperbaiki tata kelola SDA, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik bahwa negara benar-benar hadir untuk kemakmuran bersama, bukan untuk kepentingan segelintir elite. TMU

Pos terkait