Oleh: Ismail, S.Sy., M.H (Penghulu Kantor Urusan Agama Kec. Parigi Utara, Kab. Parigi Moutong)
Sebagai seorang penghulu yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional penghulu pada kementerian Agama Republik Indonesia, diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk pengembangan kepenghuluan dan bimbingan masyarakat Islam. Saya menahan miris luar biasa ketika bertemu calon pengantin laki-laki atau perempuan yang masih begitu muda dan belum berusia 19 tahun hendak mendaftarkan pernikahannya di kantor Urusan agama (KUA) Kecamatan, dan lebih miris lagi saat diskusi seputar pernikahan, namun mereka tidak memiliki persiapan ilmu yang cukup dalam membangun keluarga yang berkualitas. saya seolah-olah menyaksikan generasi masa depan bangsa sedang terombang-ambing nasibnya, sementara pembangunan keluarga yang kokoh dan tangguh menjadi kebutuhan mendasar suatu negara.
Beberapa alasan yang mereka kemukakan untuk segera menggelar pernikahan, dan tidak lagi menunda sampai usia cukup, karena sudah terjadi insiden “kecelakaan” antara laki-laki dan perempuan. perkawinan pun segera digelar sebagai upaya penyelamatan aib keluarga, dilaksanakan “terkesan” dipaksakan dan belum siap menjadi pasangan suami istri serta masih di bawah umur.
Inilah salah satu persoalan mendasar yang terus berlangsung terkait problematika perkawinan anak di bawah umur, segala daya dan upaya pemerintah dalam rangka mencegah serta mengakhiri fenomena perkawinan di bawah umur, di antara yang telah dilakukan adalah dengan diamandemennya UU Perkawinan sebagaimana dicanangkan dalam UU No.1 /1974, berubah menjadi No.16/2019 yang secara eksplisit dijelaskan bahwa UU tersebut hanya mengizinkan perkawinan bagi pria dan wanita yang sudah berusia minimal 19 tahun keatas. Pembatasan usia minimal menikah antara laki-laki dan perempuan telah melalui pengkajian dari para ahli, akademisi dan praktisi dengan mempertimbangkan berbagai aspek: pertama, aspek fisik, yakni fisik seorang anak pada usia remaja masih dalam proses berkembang sehingga harus menunggu kesiapan fisik yang tepat, kedua dari aspek kognitif, pada usia anak-anak dan remaja, mereka dalam hal wawasan belum terlalu luas, kemampuan problem solving belum cukup berkembang secara matang, apabila ada masalah dalam pernikahan, mereka cenderung kesulitan menyelesaikannya. ketiga, aspek bahasa, yakni seorang anak dan juga remaja tidak selalu dapat mengkomunikasikan pola pikirannya dengan cermat. hal ini dapat menjadi masalah besar dalam sebuah ikatan pernikahan. Keempat, aspek emosional, hal ini dapat dilihat dari emosi remaja masuk kategori “labil”dan Jika anak-anak dan remaja menikah maka ketika mendapatkan masalah akan lebih mudah untuk depresi dan hal ini berisiko terhadap dirinya sebagai remaja, dan anak yang dilahirkan dalam pernikahan. Selain itu, dengan emosi yang labil, anak/remaja yang menikah lebih sering bertengkar, sehingga pernikahannya kurang bahagia. Kemudian, secara yuridis, apabila terdapat calon pengantin yang belum memenuhi batas minimal usia perkawinan, permohonan kehendak nikahnya akan ditolak oleh penghulu pada kantor urusan agama kecamatan sebab tidak memenuhi persyaratan nikah.
Kemudian orang tua mereka dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang dikenal dengan istilah dispensasi kawin (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dalam hal ini, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan dispensasi kawin. Tentu saja ini menjadi tantangan tersendiri dalam menghapus pernikahan di bawah umur. sebab di satu sisi, dinaikkannya batas minimal usia menikah dimaksudkan untuk mengatasi perkawinan anak. Akan tetapi di sisi lain, undang-undang menawarkan alternatif apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh pihak yang belum memenuhi batas minimal usia menikah. hal tersebut semacam menambal satu lubang yang bocor, namun membiarkan lubang lainnya tetap terbuka.
Memperbincangkan tantangan problematika perkawinan dibawah umur sudah tentu bukanlah urusan sepele. Sebab generasi yang gemilang, generasi yang cerdas, dan generasi yang unggul demi kemajuan peradaban bangsa. Semua itu dapat tercapai melalui banyak hal. diantaranya peran keluarga yang berkualitas. Solusi pencegahan pernikahan di bawah umur.
Apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi fenomena pernikahan anak dibawah umur? Tentu kita tidak boleh saling menyalahkan karena resiko terlalu berat jika tidak ada upaya penanggulangan secara bersama, tersistem dan berkelanjutan. Lalu apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama sebagai pihak yang memiliki tugas dalam pembinaan keluarga sakinah? seiring dengan makin meningkatnya pernikahan dibawah umur serta meningkatnya angka perceraian dari waktu ke waktu, Kementerian Agama mencanangkan program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sekaligus dijadikan program nasional penanggulangan angka perceraian dan pembentukan keluarga sakinah dalam rangka membangun SDM unggul dan berkualitas sesuai dengan nilai-nilai Nawa Cita. Ini juga berkesesuaian dengan pembangunan berkelanjutan PBB SDGs (Sustainable Development Goals).
Program Bimwin ini merupakan bagian dari program prioritas oleh Kementerian Agama Republik Indonesia melalui KUA Kecamatan dalam bentuk kelas pelatihan pembekalan selama 16 jam (dua hari) yang diisi oleh para instruktur terlatih, baik dari internal Kementerian Agama atau unsur masyarakat. Selain upaya tersebut, Kementerian Agama juga menyediakan buku bacaan mandiri bagi pasangan calon pengantin untuk meningkatkan pemahamannya dalam mengelola kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Namun demikian, upaya mencegah pernikahan dibawah umur bukan hanya menjadi tugas pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, tetapi menjadi tugas semua pihak, semua kita yang menjadi bagian dari bangsa ini (ulama, tokoh masyarakat, guru, dosen, pengelola media, para publik figur, dan individu-individu secara umum). Saatnya kita melakukan bersama, bertindak bersama untuk mencegah pernikahan dibawah umur yang akan berpengaruh pada kualitas peradaban bangsa. ***