Oleh: Tofan Mahdi
DISCLAIMER: Tulisan ini adalah pendapat prihadi. Hanya pendapat penulis berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan analisis dari berbagai sumber bacaan sekunder dan karena itu tulisan ini sangat subjektif, terbatas, dan mungkin tidak dalam. Bagi teman-teman media yang akan memuat tulisan ini, diperkenankan, dengan syarat tittle saya ditulis atau dikutip sebagai “Business Traveller” dan/ atau Penulis Buku “Pena di Atas Langit”, dan tidak dituliskan atau dikaitkan dengan jabatan di kantor atau organisasi di mana saya bekerja sekarang. Sehingga kapasitas saya sebagai penulis di sini jelas dalam kapasitas pribadi dan bukan mewakili institusi apapun. Terima kasih.
KECELAKAAN UDARA
Dalam setiap terjadi peristiwa kecelakaan pesawat terbang, beberapa hal yang langsung menjadi pertanyaan publik adalah apakah nama maskapainya, jenis pesawat, dan tahun pembuatan pesawat. Publik sering dibuat kaget ketika kecelakaan penerbangan dialami maskapai dengan reputasi keselamatan yang baik, berperingkat baik, dan tidak memiliki catatan kelam dalam dunia penerbangan. Begitu pula sebaliknya. Jenis pesawat ditanyakan publik sebatas apakah kali ini menimpa pesawat buatan atau B, atau pabrikan lain.
Terkait usia pesawat, seringkali menjadi diskusi agak panjang. Apalagi, seperti dalam tragedi Lion Air JT610 pada 29 Oktober 2018, pesawat Boeing 737-Max dengan registrasi PK-LQP, merupakan brand new aircraft yang belum genap satu tahun beroperasi. Beberapa kecelakaan pesawat terbang fatal yang terjadi di dunia ini juga pernah melibatkan pesawat-pesawat yang boleh dikatakan, dalam definisi penulis, pesawat baru (masa operasi kurang dari 10 tahun). Pun pesawat Airbus A330 milik Air France dengan nomor penerbangan AF447 yang jatuh saat cruising dari Rio de Janiero menuju Paris juga baru mengudara selama empat tahun.
Karena itu, dalam setiap terjadinya kecelakaan yang melibatkan penerbangan sipil, usia pesawat selalu dikesampingkan sebagai faktor penyebab terjadinya kecelakaan. Karena di mana pun, termasuk di Indonesia, setiap pesawat terbang yang melintas di udara telah lolos dari uji kelaikan terbang (reliable to fly). Regardless, berapa pun usia pesawat tersebut, jika lolos dalam uji kelaikan terbang, maka standard kelayakannya sama dengan pesawat-pesawat lain. Kecelakaan pesawat bisa terjadi pada pesawat dalam usia berapa pun, pesawat baru maupun lama.
Dalam tragedi jatuhnya pesawat Boeing 737-500 Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ182 di atas Kepulauan Seribu pada Sabtu (9/1) lalu, mengutip berita sejumlah media, pesawat nahas dengan registrasi PK-CLC tersebut telah berusia 26 tahun dan 7 bulan. Meski bagi awam dinilai sudah cukup berumur, namun pesawat tersebut diizinkan terbang yang berarti telah lolos uji kelaikan. Sehingga, secara normatif, usia pesawat yang sudah lebih seperempat abad tersebut tidak bisa dianggap sebagai faktor penyebab tragedi penerbangan SJ182.
PENDAPAT AWAM
Pesawat yang sudah berumur dan tetap diizinkan terbang bukan hanya di Indonesia. Sejumlah maskapai berbiaya murah di Eropa juga banyak menggunakan pesawat yang gaek. Salah satunya maskapai berbiaya murah dari Spanyol, Vueling Airlines. Dalam sebuah penerbangan dari kota Roma Italia ke Paris Prancis dengan Vueling Airlines tahun lalu, penulis mendapat pesawat yang gaek, sudah beroperasi lebih dari 15 tahun. Alhamdulillah, penerbangan lancar dan baik-baik saja. Hanya saja interior pesawat yang berasa sangat kuno.
Meski paham bahwa usia pesawat tidak mempengaruhi risiko sebuah keselamatan penerbangan, namun sebagai seorang penumpang pesawat dan awam dengan dunia penerbangan, saya tetap lebih nyaman jika saat terbang dapat pesawat baru. Karena itu, setiap akan terbang selalu memastikan jadwal penerbangan saya akan menggunakan pesawat jenis apa dan bila memungkinkan dari website maskapai saya kepoin (jika sudah tersedia) registrasi pesawatnya.
Sekali lagi ini adalah pendapat dan sikap
pribadi saya yang awam dan tidak bisa dijadikan rujukan para penumpang pesawat terbang. Misalnya, saat akan terbang dari Jakarta ke Bali dengan maskapai Garuda Indonesia, saya cenderung memilih jadwal yang menggunakan pesawat berbadan lebar (double isle) daripada yang single isle. Saya tidak tahu apakah sekarang berubah, karena saya sudah 10 bulan sejak pandemik covid tidak terbang. Seperti diketahui, selain armada Boeing 737-800 NG, Garuda Indonesia juga menggunakan jenis pesawat A330-300, A330-200, dan Boeing B777 untuk rute Jakarta-Denpasar. Apa alasan saya? Sekali lagi ini subjektif dan tidak bisa dijadikan acuan, lebih nyaman saja terbang dengan pesawat besar.
Begitu pula dengan usia pesawat. Saya juga lebih nyaman jika terbang dan mendapatkan pesawat yang lebih baru. Misalnya, saat terbang dengan Garuda dan naik 737-8, jika mendapatkan registrasi Mama (PK-GM…) atau November (PK-GN…) merasa lebih nyaman daripada mendapatkan registrasi Echo (PK-GE…) atau Fanta (PK-GF…) yang kemungkinan umur pesawatnya lebih tua. Sikap ini tidak terkait dengan risiko penerbangan, hanya terkait subjektivitas kenyamanan saya sebagai penumpang.
Pun, saat terbang ke luar negeri, saya cenderung memilih maskapai yang mengoperasikan armada pesawat dengan usia yang muda. Tentu saja setelah mempertimbangkan aspek harga yang kompetitif (maksudnya murah ;)). Juga cenderung memilih maskapai yang berdasarkan rating Sky Trax adalah maskapai berbintang lima, atau paling tidak bintang empat. Maskapai besar dunia seperti Singapore Airlines (SQ) dan Qatar Airways (QR) adalah dua dari sedikit maskapai dunia berbintang lima yang konsisten merevitalisasi dan meremajakan armada pesawatnya. Rata-rata usia pesawat yang dioperasikan kedua maskapai tersebut adalah lima tahun. Dan SQ serta QR adalah dua maskapai dunia yang memilki reputasi keselamatan penerbangan yang sangat baik.
Kembali kepada tragedi SJ182, kita tentu harus menunggu hasil investigasi KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi), untuk mengetahui pasti apa penyebab jatuhnya Sriwijaya Air PK-CLC. Dan sudah selayaknya kita mendoakan seluruh korban mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT, keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan, dan semoga kecelakaan SJ182 menjadi tragedi penerbangan terakhir di Indonesia.