PARIGI MOUTONG, MERCUSUAR – Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Masyarakat Penyelamat (FORMAT) Kabupaten Parigi Moutong (Parmout), Isram Said Lolo menilai pernyataan Bupati Parmout, H. Erwin Burase yang menduga adanya sabotase dalam isi surat pengusulan Wilayah Pertambangan (WP) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) janggal serta tidak masuk akal.
Bahkan, Isram menegaskan Erwin Burase harus membuktikan tudingan itu secara hukum. Ia menantang Erwin untuk tidak berhenti hanya pada pernyataan publik, tetapi segera melaporkan dugaan sabotase itu ke Aparat Penegak Hukum (APH) agar tidak menimbulkan spekulasi liar.
“Tuduhan sabotase dalam dokumen resmi pemerintahan merupakan hal serius, yang tidak bisa hanya disampaikan secara lisan tanpa bukti kuat,” ungkap Isram kepada Mercusuar, Kamis (9/10/2025).
“Kalau memang benar ada dugaan pemalsuan dokumen resmi, Bupati harus melapor ke kepolisian sesuai Pasal 264 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Jangan hanya bicara di media,” tambahnya.
Menurut Isram, pernyataan Erwin Burase yang menyebut adanya perubahan isi surat resmi Bupati bernomor: 600.3.1.1/4468/Dis.PUPR tentang Rekomendasi Tata Ruang Usulan Wilayah Pertambangan justru menimbulkan banyak tanda tanya, yang dalam surat itu jumlah titik WPR disebut berubah dari 16 menjadi 53 titik tanpa sepengetahuan Bupati. Ia menyoroti kredibilitas sistem administrasi Pemerintah Daerah (Pemda).
“Ini daerah sudah puluhan tahun berdiri, sistem kontrol surat keluar pasti sudah teruji dan tertata dengan baik. Jadi, mohon maaf, saya kurang percaya jika ada kata ‘khilaf’ apalagi dugaan sabotase,” tegas Isram.
Ia menjelaskan, mekanisme birokrasi di lingkup Pemkab Parmout harusnya berjalan secara berjenjang dan ketat, mulai dari staf teknis, pejabat dinas, hingga sampai ke meja Bupati.
Oleh karena itu, menurutnya sangat kecil kemungkinan seseorang bisa mengubah isi surat resmi tanpa sepengetahuan Kepala Daerah. Terlebih lagi, tindakan tersebut berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum yang berat bagi aparatur yang melakukannya.
“Jika benar ada yang mengubah lampiran surat Bupati, maka itu menunjukkan bobroknya sistem administrasi pemerintahan. Atau, Bupati sendiri kurang paham soal ketentuan surat menyurat yang beliau tanda tangani,” ujarnya menambahkan.
Isram juga menyoroti kelalaian fatal dalam penyusunan dokumen resmi tersebut. Ia menuturkan, dalam setiap lampiran surat Bupati yang memuat data penting, wajib disertai tanda tangan Kepala Daerah untuk menjamin keaslian dan mencegah manipulasi isi. Namun, dalam kasus ini, lampiran surat yang memuat daftar titik WPR justru tidak ditandatangani Bupati.
“Kalau Bupati paham administrasi, seharusnya beliau bertanya kenapa lampiran suratnya tidak ditandatangani. Tapi karena diduga tidak paham sistem dan ketentuan, akhirnya langsung main tanda tangan tanpa cek,” sindirnya.
Isram yang juga Ketua DPW Penguatan Ekonomi Kerakyatan Nasional (PEKNAS) Sulteng, menduga bahwa surat pengusulan WP-WPR tersebut tidak melalui Biro Hukum Pemerintah Daerah Parmout.
Padahal, kata dia, biro itu memiliki fungsi penting dalam pengawasan dan penelaahan produk hukum internal sebelum keluar dari lingkup Pemda.
“Akibatnya, surat tersebut ditemukan memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Seperti tidak dicantumkannya tanggal surat dan tidak adanya tanda tangan pada lampiran yang berisi data penting,” tutur Isram.
Ia pun menilai, berbagai kelalaian tersebut memerlihatkan lemahnya koordinasi antarunit kerja di lingkungan Pemda Parmout. Isram mengingatkan, persoalan itu bukan hanya soal teknis administrasi, tetapi mencoreng citra profesionalitas dan kredibilitas Pemda di mata publik. AFL