PKM Kolaborasi Dosen Unisa dan Untad Kembangkan Kerajinan Tenun Berbasis ATBM

Foto bersama usai pelatihan teknis penggunaan ATBM bagi pelaku usaha kerajinan tenun kain donggala, di Desa Salubomba, baru-baru ini. FOTO: IST.

DONGGALA, MERCUSUAR – Kolaborasi tim dosen dari Universitas Alkhairaat (Unisa) Palu bersama Universitas Tadulako (Untad) melaksanakan Program Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM), dengan mendorong pengembangan usaha kerajinan tenun kain donggala berbasis Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), bagi kelompok warga di Desa Salubomba Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, baru-baru ini.

PKM merupakan bagian dari pengembangan pengabdian kepada masyarakat dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) RI. Program tersebut diperuntukkan bagi dosen di perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Tim dosen yang berasal dari Unisa dan Untad masing-masing Dr. Sayani, S.P., M.Si., sebagai ketua dan Dr. Hendra Pribadi, S.P., M.P., dan Dr, Marjun, S.E., M.M. sebagai anggota, mengusung tema ‘Pengembangan Usaha kerajianan Tenun Kain Donggala berbasis ATBM untuk Peningkatan Produksi di Desa Salubomba.’

Ketua pelaksana, Dr. Sayani menyampaikan PKM merupakan kegiatan pengabdian pemberdayaan kelompok masyarakat agar terjadi perubahan pendapatan melalui tenunan ATBM, karena terjadi perubahan produksi yang meningkat. Selain itu, peningkatan produksi juga harus dibarengi pemasaran yang luas dan terjangkau.

Adapun yang melatarbelakangi tema tersebut, yaitu masih banyak kelompok penenun yang menggunakan waktu cukup lama waktu untuk menghasilkan produk tenunan, yaitu antara 20—30 hari. Melalui ATBM, hanya dalam waktu 3 hari penenun sudah bisa mendapat hasil tenunan.

“Dengan demikian, hal itu dapat meningkatkan produksi para penenun,” kata Sayani.

Tim pelaksana juga telah melaksanakan pelatihan teknis pengoperasian alat tenun kain Donggala berbasis ATBM. Dalam pelatihan tersebut, Sekretaris Desa Salubomba mengatakan kelompok mitra atau masyarakat mendapat ‘durian runtuh’ karena baru kali ini mendapat ATBM.

Sementara salah seorang anggota kelompok, Dr. Hendra Pribadi menyebut melalui program tersebut, pihaknya berupaya menghadirkan inovasi teknologi yang tetap menjaga nilai tradisional tenun Donggala.

“Dengan penggunaan alat tenun ATBM, pewarna alami berbasis daun, kulit buah dan kayu, serta penggulung benang menggunakan mesin, kami ingin memastikan para penenun di Desa Salubomba  dapat meningkatkan produktivitas tanpa meninggalkan kearifan lokal. Harapan kami, kegiatan ini tidak hanya memberi manfaat ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas budaya masyarakat,” tutur Hendra.

Anggota lainnya, Dr. Marjun menambahkan, pihaknya melihat adanya perubahan positif, baik dari sisi keterampilan maupun semangat para kelompok penenun untuk terus berkarya.

“Kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa pemberdayaan masyarakat dapat berjalan efektif ketika dilakukan secara kolaboratif. Antusiasme ibu-ibu penenun dalam mengikuti pelatihan teknis maupun  sangat luar biasa. Ke depan, kami berharap kelompok tenun di Desa Salubomba  dapat menjadi contoh bagi desa-desa lain dalam mengembangkan usaha berbasis potensi lokal,” ujar Marjun.

“Tenun ATBM ini merupakan hal yang baru bagi anggota kelompok, sehingga mereka antusias mengikuti kegiatan. Di sisi ekonomi akan terjadi perubahan, karena produksi dapat meningkat samapai 60 persen,” sambungnya.

Narasumber pada pelatihan teknis, Slamet menuturkan warga awalnya masih canggung saat menenun menggunakan ATBM, karena belum terbiasa.

“Setelah terbiasa, kelompok mitra akan senang, karena tiga hari sudah mendapatkan satu produk tenunan. Kalau yang tradisional atau gedokan paling cepat 20 hari baru menghasikan tenunan. Berhubung jumlah ATBM terbatas, maka dilakukan penjadwalan siapa yang akan menggunakan,” kata Slamet.

Ia juga menjelaskan, proses adaptasi penenun terhadap ATBM juga memerlukan waktu, karena prosesnya mengfungsikan kaki dan tangan secara aktif.

“Semakin sering belajar, maka semakin cepat pintar. Apabila sudah mahir, hanya dalam tiga hari sudah bisa menghasilkan produk tenunan,” pungkas Slamet. */IEA

Pos terkait