TONDO, MERCUSUAR – Universitas Tadulako (Untad) menjalin kerja sama dengan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS), Rabu (17/9/2025). Agenda ini dirangkaikan dengan kuliah umum bertajuk “Menyongsong RUU KUHAP dalam Perspektif Integrated Criminal Justice System (ICJS)” yang berlangsung di Aula Fakultas Kedokteran Untad.
Kegiatan tersebut dihadiri Ketua Komisi Kejaksaan RI, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Tengah, Rektor Untad, para Wakil Rektor, Dekan, Kepala Lembaga, serta civitas akademika. Unsur Forkopimda Sulawesi Tengah, termasuk perwakilan Polda Sulteng, Kodam Palaka Wira, dan Polres Palu juga hadir dalam acara itu.
Dalam sambutannya, Rektor Untad Prof. Dr. Ir. Amar, S.T., M.T., IPU., ASEAN Eng., menyampaikan apresiasi atas kerja sama tersebut. Menurutnya, kuliah umum ini menjadi sarana penting untuk memperluas wawasan hukum bagi mahasiswa dan civitas akademika.
“Melalui kuliah umum ini, kita belajar meningkatkan kapasitas hukum agar konsisten dan meminimalkan tumpang tindih kewenangan dalam perspektif hukum itu sendiri,” ujarnya.
Kajati Sulteng, Nuzul Rahmat R, S.H., M.H., menegaskan bahwa kerja sama ini memiliki makna strategis.
“Penandatanganan MoU dan PKS ini bukan hanya seremonial, melainkan langkah konkret memperkuat sinergi antara lembaga pengawas eksternal Kejaksaan RI dengan dunia pendidikan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan RI, Prof. Dr. Pujiyono Suwadi, S.H., M.H., dalam paparannya menekankan pentingnya keterlibatan perguruan tinggi dalam pembahasan RUU KUHAP. Ia menjelaskan bahwa ICJS merupakan konsep yang menuntut keterpaduan antara penyidik, jaksa, hakim, advokat, hingga lembaga pemasyarakatan agar peradilan pidana berjalan sebagai sistem yang utuh.
“RUU KUHAP harus mampu menjawab persoalan klasik peradilan pidana, seperti tumpang tindih kewenangan, lambannya koordinasi, hingga disparitas putusan,” tegasnya.
Lebih jauh, Prof. Pujiyono menekankan bahwa lahirnya KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) merupakan tonggak penting dalam sejarah hukum Indonesia karena tidak hanya bersifat retributif, tetapi juga memuat aspek korektif, rehabilitatif, dan restoratif.
“Era baru penegakan hukum Indonesia harus lebih transparan, modern, dan berorientasi pada pemulihan, bukan semata pada penghukuman,” pungkasnya. */JEF