MERCUSUAR – Pernah mendengar seseorang terobsesi makan sehat, malah terjebak dengan kesehatan mental?
Gaya hidup sehat kini tak hanya soal makan bernutrisi dan rutin olahraga. Kehadiran teknologi dan tren media sosial membuat banyak orang merasa harus selalu sempurna dalam menjaga pola makan dan kebugaran.
Ditambah lagi, media sosial dipenuhi dengan video dan konten yang menyebut makanan tertentu sebagai ‘jahat’ atau ‘penuh bahan palsu’. Informasi yang membanjiri ini sering kali membuat kita bingung, mana yang benar-benar sehat dan mana yang hanya sekadar tren?
Dikutip dari Detik (20/5/2025), tak ada yang salah dengan menerapkan pola makan sehat. Namun, jika perhatian kita terhadap makanan sehat berubah menjadi obsesi, itu bisa menjadi tanda gangguan yang disebut orthorexia. Kondisi ini semakin umum ditemukan, dan penelitian menyebut media sosial sebagai salah satu pemicunya.
“Orthorexia bisa digambarkan sebagai kecenderungan berlebihan terhadap makanan sehat dan obsesi pada ‘kemurnian’ makanan,” jelas Beth Auguste, ahli gizi spesialis kesehatan ibu di Philadelphia, seperti dikutip dari Huffington Post.
Senada dengan itu, Beth Heise, ahli gizi dari OnPoint Nutrition menambahkan, “Ini adalah obsesi terhadap apa yang dianggap sebagai cara makan yang benar atau paling sehat.”
Keduanya juga menyebutkan tanda-tanda seseorang mengidap orthorexia, atau obsesi terhadap makanan sehat.
1. Punya Aturan Makan yang Sangat Ketat (bukan karena alergi atau saran medis)
Seseorang dengan orthorexia sering kali memiliki pembatasan makan yang ekstrem. Misalnya, tidak mau menyentuh makanan dari kelompok tertentu, atau merasa cemas jika tidak bisa mengontrol bahan makanan yang dikonsumsi.
“Ciri-cirinya bisa mirip seperti anoreksia, dalam bentuk pembatasan-baik jenis makanan, sumbernya, bahkan cara mengolahnya,” jelas Auguste.
Heise menambahkan bahwa mereka biasanya memiliki aturan makan yang sangat kaku. Contohnya, hanya mau makan nasi merah dan menolak nasi putih dalam kondisi apa pun.
“Awalnya ini tentang makan sehat, tapi lama-lama berubah menjadi obsesi tidak sehat terhadap kemurnian atau ‘makan bersih’,” ujarnya.
2. Mengganggu Kehidupan Sosial
“Makan sehat menjadi masalah ketika mulai mengganggu aktivitas sehari-hari,” kata Auguste.
Kalau kamu mulai menolak ajakan makan bersama teman karena takut makanannya tak sesuai ‘standar sehatmu, bisa jadi itu tanda peringatan.
“Jika kecemasan soal makanan membuatmu kesulitan menjalani hidup sosial secara nyaman, itu artinya ada yang perlu diwaspadai,” tambah Auguste.
Heise juga mengatakan bahwa obsesi ini bisa melekat begitu kuat hingga seolah menjadi bagian dari kepribadian, bukan lagi sekadar kebiasaan makan.
3. Terlalu Sering Menganalisa Daftar Bahan Makanan
Sesekali membaca label gizi tentu wajar, apalagi jika kita punya alergi atau target nutrisi tertentu. Tapi bila setiap bahan makanan harus dicek secara obsesif setiap saat, itu bisa jadi tanda orthorexia.
“Beberapa orang sampai menghabiskan berjam-jam untuk menyusun menu dan mencari tahu kandungan nutrisi setiap bahan yang mereka makan,” kata Heise.
4. Merasa Cemas atau Bersalah saat Melanggar Aturan Makan Sendiri
Menurut Heise, batas antara makan sehat dan orthorexia bisa dilihat dari seberapa sering pikiran tentang makanan mendominasi hidup seseorang.
“Kalau kamu merasa cemas saat makan sesuatu yang tidak sesuai aturanmu, dan rasa itu muncul terlalu sering, itu bisa jadi tanda bahwa kamu terlalu fokus pada makanan sehat,” jelasnya.
Perasaan bersalah setelah menyantap makanan yang dianggap ‘kurang sehat’ juga merupakan indikator kuat. Auguste menambahkan, jika pikiran soal makanan mulai mengganggu kesehatan mental atau bahkan fisik, saatnya bicara pada tenaga profesional.
“Itu sudah jadi red flag yang jelas,” tegasnya.
Di era informasi yang serba cepat, penting untuk memilah mana saran gizi yang kredibel dan mana yang hanya sekadar tren viral.
Makan sehat seharusnya mendukung kualitas hidup, bukan membuat kita terisolasi atau merasa bersalah setiap kali menyantap makanan. Jika kamu merasa pola makanmu mulai mengganggu keseharian atau hubungan sosial, tak ada salahnya konsultasi ke ahli gizi atau psikolog. Sebab menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga pola makan. DTC