Kades Diingatkan Tidak Berpolitik Praktis di Pilkada 2020

RUSLAN HUSEN

PALU, MERCUSUAR – Kepala desa (kades) dan perangkatnya tidak boleh berpolitik praktis pada Pilkada serentak 2020. Hal itu ditegaskan Komisioner Bawaslu Sulteng Ruslan Husen.

Menurut Ruslan, kepala desa mempunyai kedudukan sebagai pelayan penting dan pemimpin masyarakat desa sehingga tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Larangan berpolitik praktis untuk kades jelas diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa. Dimana, kades dan perangkat desa yang terdiri sekretaris desa, pelaksana kewilayahan dan pelaksana teknis dilarang menjadi pengurus partai politik dan ikut serta atau terlibat dalam kampanye Pilkada.

“Jika ditemukan, ada kades maupun perangkat desa yang melanggar dengan bukti pelanggaran yang kuat, maka jajaran Bawaslu tidak segan-segan melakukan penindakan pelanggaran,” tegas Ruslan.

Kata Ruslan, konsekuensi hukum bagi kades yang melanggar larangan tersebut, diancam sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat satu bulan dan paling lama enam bulan.

“Selain mendapat sanksi pidana kades yang melanggar ketentuan itu juga akan didenda paling sedikit enam ratus ribu rupiah dan paling banyak enam juta rupiah,” jelasnya.

Hal itu, kata Ruslan, sudah sering diingatkan Bawaslu jauh hari sebelumnya melalui surat imbauan, sosialisasi, dan koordinasi untuk menjamin netralitas kepala desa, agar tidak terjebak dalam kegiatan politik praktis.

Ruslan mengatakan, ada kecenderungan kades maupun perangkat desa terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Untuk itu pihaknya berharap para kades dan perangkatnya di Sulteng menghindari tindakan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilihan.

Hingga 18 September 2020, Bawaslu Sulteng mencatat jumlah kades terbukti melakukan pelanggaran politik praktis. Untuk jenis pelanggaran hukum lainnya sebanyak 18 kasus.

Dari 18 kasus,15 kasus kades di antaranya di Kabupaten Banggai dan 3 kasus kades di Kabupaten Sigi. Selain itu, terdapat 1 kasus yang menyeret sekretaris desa di Kabupaten Sigi.

Sekretaris desa tersebut, selain melanggar Undang-Undang Desa juga melanggar prinsip netralitas selaku ASN. Sehingga Bawaslu Kabupaten Sigi meneruskan rekomendasi pelanggaran, selain ke kepala daerah juga kepada Komisi ASN di Jakarta.

Ruslan menjelaskan, penindakan pelanggaran terhadap kegiatan politik praktis kepala desa atau perangkat desa, termasuk kategori pelanggaran hukum lainnya.

“Sehingga eksekusi atas pelanggaran, bukan di tangan Bawaslu tetapi pada instansi lain yang berwenang berupa sanksi administratif sesuai Undang-Undang Desa,” terangnya.

Ruslan mengatakan, hasil penindakan pelanggaran, menghasilkan rekomendasi yang diteruskan kepada atasan kades, yakni bupati dengan melampirkan kajian pelanggaran disertai bukti-bukti terkait.

Terkait kegiatan politik praktis atau pelanggaran kades dalam Pilkada, juga dapat berkonsekuensi pelanggaran pidana pemilihan. Pidana pemilihan, berawal dari laporan atau temuan dugaan pelanggaran untuk dibahas dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang beranggotakan Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan.

Hal tersebut, kata Ruslan, merujuk Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Pemilihan, bahwa kades dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

“Tindakan Kepala desa yang mengajak warganya agar mendukung atau memilih pasangan calon kepala daerah di Pilkada serentak 2020 ertentu, merupakan tindakan pelanggaran. Apalagi menggunakan fasilitas desa atau fasilitas jabatannya,” ungkapnya. ANANG-JW RESPECT

Pos terkait