Kampanye Daring Bisa Menghilangkan Makna Demokrasi

Muhammad

PARMOUT, MERCUSUAR – Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di seluruh Indonesia di tengah pandemi covid-19 sudah memasuki tahapan kampanye sejak, Sabtu-Senin (26 September-5 Desember 2020). Pelaksanaan ini masih mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan. Seperti salah satu Pengamat Politik Universitas Tadulako (Untad), Muhammad Nur Alamsyah.

Menurut Nur Alam, masih tetap meyakini Pilkada di tengah pandemi covid-19 seharusnya tidak dilaksanakan sebab keselamatan rakyat lebih utama.

Realitanya, Pilkada serentak tetap dilaksanakan dan dikuatkan dengan hadirnya revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang di dalamnya memuat tentang prosedur pelaksanaan kampanye di tengah covid-19 salah satunya kampanye daring dan melalui media sosial.

Bagi Nur Alamsyah, kampanye tersebut tetap wajib dilakukan karena sudah menjadi ketentuan PKPU. Namun hal tersebut semakin menunjukan semangat Pilkada tidak menyentuh masyarakat.

“Kampanye media akan mereduksi (mengurangi) makna dari kampanye itu. Yang terbentuk adalah relasi semu yang hanya dibentuk oleh materi politisi. Yakni tim pemenangan dan liputan media yang sesuai jurnalisnya,”tutur dia, Senin (28/9/2020)

Lalu apa yang akan terjadi dari hal itu? yang terjadi materi kampanye yang sesungguhnya hanya akan menjadi obsesi atau bayang-bayang seolah-olah menjadi sesuatu yang substantif (nyata).

“Realitas politik seperti itu akan lebih bertumpu pada wacana yang dikembangkan media untuk menjadi makna politik,”jelas dia.

Kampanye secara online akan menjadikan masyarakat hidup dalam hyperrealitas yaitu kondisi ketidakmampuan manusia untuk membedakan kenyataan dan fantasi sehingga kebenaran, keaslian, kepalsuan, fakta bahkan kebohongan sulit dibedakan.

“Hal ini sudah dijelaskan oleh Jean Baudrilard terkait simulasi dan simulacra. Simulasi adalah keadaan ketika gambaran sebuah obyek lebih penting dari obyek itu sendiri,”kata Nur Alamsyah.

Sedangkan simulacra, lanjut dia adalah suatu duplikasi yang sesungguhnya tidak ada sehingga perbedaan duplikasi dan fakta menjadi kabur. Artinya literasi maupun pesan medianya lebih pokok atau utama. Dibanding kompetensi dan kapasitas dari obyek calon yang akan memimpin.

“Nah inilah yang selalu saya katakan implikasi demokrasi populis begini akan melahirkan pejabat publik electicracy yaitu pemimpin yang dipilih secara demokratis, tapi tetap tidak mampu mewujudkan hal yang ia kemukakan terkait penyelenggaraan pemerintahannya,”terang Nur Alam.

Adapun persoalan lain dalam kampanye daring adalah keterjangkauan media sosial menyentuh masyarakat yang daerahnya blankspot atau nemiliki jaringan internet yang buruk.

“Jangankan untuk mengakses kampanye. Untuk kuliah saja masih banyak daerah yang timbul tenggelam karena akses jaringan yang tidak merata dan stabil,”ujar dia.

Satu hal yang perlu diingat, informasi menjadi hak pemilih untuk bisa diketahui. Tetapi persoalan lainnya juga akan muncul, seperti kampanye hitam. “Itu akan sulit dihindari karena keterbatasan pengawasan dalam proses Pilkada yang cepat,”tutup Nur Alamsyah. INT

Pos terkait