PALU, MERCUSUAR – Salah satu pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinilai tidak etis.
Pada Pasal 235 Ayat 5 dalam UU tersebut, disebutkan bahwa “Jika partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat tidak mengajukan pasangan calon, partai politik tersebut akan dikenai sanksi yang mengakibatkan ketidak partisipasi dan mereka dalam pemilu berikutnya.”
“Dari sudut pandang akademisi, pasal ini sangat kontroversial. Menurut pendapat mereka, pasal ini seharusnya diajukan untuk pengujian konstitusional (judicial review). Bagaimana mungkin partai politik yang tidak mengusung calon presiden dipaksa untuk mendukung calon yang mereka tidak setuju, jika tidak ingin dikenai sanksi yang melibatkan pemilihan legislatif di masa depan,” kata Supriyadi, seorang Dosen di Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad), saat berbicara sebagai narasumber dalam acara Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu (Ngetren) yang diselenggarakan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Palu, pada Rabu (6/9/2023).
Dia juga mengungkapkan bahwa pasal tersebut mengindikasikan bahwa jika sebuah partai politik tidak sejalan dengan visi misi calon presiden, mereka akan dipaksa untuk mendukungnya agar tidak terkena sanksi.
“Masih dimengerti jika sanksi hanya berdampak pada dukungan untuk calon presiden. Namun, pasal ini dengan tegas melarang partai politik tersebut untuk berpartisipasi dalam pemilihan legislatif berikutnya. Ini mencakup pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif, termasuk pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota,” jelasnya.
Selain itu, dia juga mencatat contoh kasus pemekaran Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) yang menurutnya terdapat kejahatan dalam pasal tersebut.
“Dalam undang-undang pemekaran tersebut, disebutkan bahwa ibu kota kabupaten ada di Banggai, namun kemudian dipindahkan ke Salakan. Pasal ini dianggap memiliki implikasi buruk karena mengakibatkan banyaknya korban meninggal akibat persaingan untuk menjadi ibu kota baru,” katanya.
Supriyadi menekankan pentingnya etika dalam merumuskan pasal-pasal dalam undang-undang dan menguraikan bagaimana media memainkan peran penting dalam pemilu.
“Ia mencatat bahwa hampir semua pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 memiliki kaitan dengan media, yang memaksa penyelenggara pemilu dan media untuk bekerja sama,” katanya.
Supriyadi juga menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian media dalam mengawasi jalannya pemilu berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang telah dirilis oleh Bawaslu RI.
“Beberapa potensi kecurangan yang harus menjadi perhatian media dan penyelenggara adalah penyalahgunaan kekuasaan, pemilih palsu, penyebaran informasi palsu, serta pencurian dan manipulasi surat suara,” tambahnya.TIN