Rakorda Gerindra Penguatan Struktur Partai

Abdul Karim Aljufri.

PALU, MERCUSUAR – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Sulawesi Tengah (Sulteng) menggelar rapat koordinasi daerah (Rakorda) seluruh Dewan Pimpinan Cabang (DPD) se Sulteng di kantor Sekretariat DPD jalan Elang 77, Selasa (1/9/2020).

 

Rakorda yang mengangkat tema ‘Setia Bergerak Untuk Indonesia Raya’ dipimpin langsung oleh Ketua DPD Gerindra, Longki Djanggola dan Sekertaris DPD, Abdul Karim Aljufri.

Menurut Ketua OKK DPD Gerindra Sulteng, Stivan Helmi Sandagang, Rakorda ini guna membahas penguatan struktur partai dan langkah – langkah strategis.

“Penguatan struktur di internal partai menghadapi Pilkada serentak kabupaten, kota, dan provinsi,” katanya.

Selain itu lanjut Stivan, Rakorda ini penyampaian dari tim internal Partai Gerindra yang dipimpin Mohammad Yasin mengenai struktur sampai ke tingkat ranting. Di mana ada sejumlah daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) diikuti kader Gerindra.

“Ada kader Gerindra yang maju sebagai kandidat, seperti di Sigi ada Ibu Paulina dan Kota Palu Pak Arena Parampasi. Kita benahi dan perkuat sampai ke ranting,” tutur Stivan.

Ia mengatakan, Rakorda mewajibkan seluruh kader hadir untuk mendengarkan penyampaian dan arahan – arahan dari Ketua DPD Longki Djanggola terkait langkah – langkah strategis kader di lapangan guna memenangkan kandidat pada Pilkada serentak 9 Desember 2020 mendatang. BOB

 

Honorer Dilarang Terlibat Dalam Kegiatan Politik Praktis

BANGGAI, MERCUSUAR – Menjaga prinsip netralitas dan profesionalisme birokrasi pemerintahan dalam penyelenggaraan Pilkada, menjadi urgen dilaksanakan. Termasuk bagi tenaga honorer, ditafsirkan sebagai subjek hukum yang dilarang terlibat dan dilibatkan dalam kegiatan politik praktis kontestasi pemilihan kepala daerah. Hal ini disampaikan Ketua Bawaslu Sulteng Ruslan Husen di Banggai, Selasa (1/9/2020).

Penafsiran demikian, menurutnya berangkat dari tiga alasan argumentatif. Pertama, tenaga honorer merupakan orang yang bekerja atau dipekerjakan di instansi pemerintah oleh pejabat pemerintah daerah berwenang.

“Ditunjukkan melalui surat perjanjian kerja atau surat keputusan dari pejabat yang berwenang,” pungkas Ruslan.

Alasan kedua, lanjut dia, tenaga honorer menjalankan tugas pelayanan publik dalam struktur pemerintahan daerah.

“Bahkan tenaga honorer dalam fungsi pelayanan lebih banyak terlibat dalam kegiatan teknis mendukung produktivitas kinerja instansinya,” ujarnya.

Adapun alasan ketiga, berupa sumber pembiayaan tenaga honorer berasal dari anggaran daerah atau anggaran negara.

“Merujuk pada ketiga argumentasi demikian, menjadi beralasan menurut hukum tenaga honorer dimaknai sebagai pegawai pemerintah daerah,” tegasnya.

Sehingga berkonsekuensi pada pegawai (honorer) dilarang terlibat dan dilibatkan dalam kegiatan politik praktis dukung-mendukung pencalonan kepala daerah.

Lebih lanjut menurutnya, meskipun demikian tenaga honorer bukan Aparatur Sipil Negara (ASN). Demikian pula tenaga honorer tidak sama dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), sekalipun diangkat dengan dasar perjanjian kerja, sejatinya tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis.

“Jika ada pelanggaran, maka jajaran Bawaslu dapat melakukan serangkaian proses penindakan pelanggaran, hingga menyampaikan rekomendasi pelanggaran dengan melampirkan kajian dan bukti terkait,” terangnya.

Indikator perbuatan pelanggaran dipersamakan dengan aturan tentang penegakan prinsip netralitas dan kode etik yang mengatur pegawai ASN. Hingga menghasilkan rekomendasi pelanggaran yang ditujukan kepada atasan langsung di mana pegawai honorer bekerja, atau ditujukan kepada pejabat yang menandatangani surat perjanjian kerjanya.

Dikaitkan dengan aktivitas politik praktis, berikut contoh pelanggaran. Misalnya: memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain; menghadiri deklarasi bakal pasangan calon, dengan atau tanpa atribut; mengunggah foto atau menanggapi (likeshare, komentar dan sejenisnya) semua hal yang terkait dengan pasangan calon di media online dan media sosial; atau berfoto bersama dengan pasangan calon.

Lebih lanjut menurut alumni HMI ini, patut diwaspadai tenaga honorer dalam kontestasi Pilkada, bisa terlibat aktif dan dijadikan sarana mobilisasi politik oleh para calon kepala daerah untuk memenangi Pilkada. Apalagi jika di daerah ada petahana yang maju sebagai calon.

“Sering ditemukan ada honorer terlibat dalam politik praktis, sehingga perlu ada pembatasan dan penindakan pelanggaran,” katanya.

Pihaknya berharap, birokrasi yang menjalankan fungsi pelayanan publik harus bersifat netral dan bersih dari intervensi politik. Sebab birokrasi yang tidak terpolitisasi akan memupuk kepercayaan publik terhadap birokrasi dan kualitas pelayanan.*/TIN

Pos terkait