POSO, MERCUSUAR – Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Datokarama Palu menggelar kegiatan bertajuk Ekspedisi Sejarah Negeri Seribu Megalit: Membangun Kesadaran Warisan Budaya Lokal di kawasan Lembah Bada, Kabupaten Poso. Kegiatan ini merupakan bagian dari praktikum mata kuliah Arkeologi, Sejarah Kebudayaan Sulawesi Tengah, dan Sejarah Indonesia Klasik yang diikuti oleh 42 mahasiswa, didampingi satu dosen dan tiga pendamping lapangan.
Ekspedisi yang berlangsung di dua kecamatan, yakni Lore Selatan dan Lore Barat, menyasar sejumlah situs megalit penting seperti Palindo atau Sepe, Suso, Langke Bulawa, Loga, dan Tantaduo. Di setiap lokasi, mahasiswa tidak hanya melakukan observasi dan dokumentasi, tetapi juga menggali data sejarah lisan melalui wawancara dengan tokoh adat dan masyarakat setempat.
Dosen pendamping sekaligus Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Datokarama, Mohammad Sairin, MA, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya lokal di kalangan mahasiswa dan masyarakat.
“Kawasan Lembah Bada ini menyimpan tinggalan budaya megalitik yang luar biasa, tapi sangat disayangkan karena akses dan infrastruktur menuju situs-situs tersebut masih jauh dari layak. Ini menjadi ironi, mengingat kawasan ini sedang diusulkan sebagai Warisan Budaya Dunia,” ungkap Mohammad Sairin.
Ia menyoroti kondisi jalan yang rusak parah, licin, dan tidak beraspal, yang menyulitkan kendaraan besar seperti bus untuk mencapai lokasi. Bahkan, akses menuju situs-situs megalit pun masih harus dilalui dengan berjalan kaki di jalur yang becek, ditumbuhi semak belukar, dan minim petunjuk arah.
Kesulitan juga dialami saat tim mencoba menelusuri makam penginjil Belanda, Jacob Woensdregt, tokoh penting dalam sejarah penyebaran agama Kristen di Bada. Ketiadaan papan informasi membuat pencarian lokasi tersebut menjadi tantangan tersendiri.
Menurut Mohammad Sairin, kondisi ini mencerminkan kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap kawasan budaya yang memiliki potensi besar, tidak hanya untuk pendidikan dan penelitian sejarah, tetapi juga untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan.
“Kami berharap ada keseriusan dari pemerintah dalam membenahi infrastruktur dasar. Warisan megalitik di Lembah Bada ini adalah aset budaya kelas dunia. Tanpa dukungan yang nyata, potensi luar biasa ini bisa terus terabaikan,” tegasnya.
Ekspedisi ini menjadi langkah penting dalam upaya pelestarian budaya lokal sekaligus bentuk advokasi akademik agar warisan leluhur tak hanya dikenang, tetapi juga dijaga dan diberdayakan untuk generasi mendatang. */JEF