Ekonesia: Riset Kopi Dombu Untuk Identitas Geografis Marawola Barat

SIGI, MERCUSUAR – Indikasi Geografis (IG) kopi Robusta Dombu hanya menyisakan waktu yang singkat bagi Pemerintah Sigi untuk memenuhi seluruh persyaratan. Hal ini diungkapkan Muh. Ali, perwakilan Kemenkum Provinsi Sulawesi Tengah di Seminar Perdana Kajian Indikasi Geografis Kopi Dombu Marawola Barat.

Potensi kopi di wilayah Sigi terutama kecamatan Marawola Barat cukup tinggi. Arabika, Robusta dan sehingga proteksi hukum penting untuk menjaga asal muasal kopi Dombu berdasarkan IG.

“Ketika IG sebagai payung besar komunal kopi dari beragam brand kopinya, siapa saja yg menggunakan kopi yg memiliki IG tanpa persetujuan pemegang IG bisa didenda 2 Milyar dan pidana 4 tahun,” jelas Ali lagi.

Aturan dan sanksi yang mengikutinya tertuang dalam UU No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Pengajuan Identitas Geografis Kopi Dombu telah dilakukan oleh Pemda Sigi melalui BAPPERIDA dimulai sejak setahun lalu. Namun, oleh Dirjen HAKI, Kemenkum RI dikembalikan dengan catatan data dasar IG tidak lengkap.

Yuni, Kepala Bidang II Riset dan Inovasi (BAPPERIDA) mengatakan, seharusnya sudah selesai tetapi jeda yang cukup panjang sejak Maret hingga September 2025 untuk menyempurnakan persyaratan tersebut tidak terpenuhi. Problem internal menjadi pemicu keterlambatan tersebut.

Mengejar tenggat waktu yang sempit. Pemda Sigi meminta Lembaga Riset EKONESIA yang juga anggota Forum Kemitraan Multi Pihak (FKMP) Sigi Hijau untuk melanjutkan riset yang tidak diselesaikan oleh BAPPERIDA Sigi.

Dengan anggaran Rp100 juta yang berasal dari APBD-P Sigi 2025, EKONESIA hanya diberi waktu sampai Desember 2025.

“Ini sulit, mengingat anggaran yang kecil,” Kata Dr. Zaiful, Ketua Tim Kajian IG Kopi Arabica Sigi-Kamalisi (Dombu).

Menurutnya, dari riset yang telah mereka lakukan, hal tersulit dan menjadi point kunci untuk suksesi IG adalah geospasial kopi Dombu.

Riset yang dilakukan sejak awal Oktober berhasil memetakan 7 desa dari 12 desa yang melakukan budidaya kopi Arabica.

Dombu, Lewara dan Soi, tiga desa di Marawola Barat yang dipilih untuk mewakili kelengkapan persyaratan IG. Hal ini dengan pertimbangan karakteristik kopi, konsistensi mutu dan sejarah kopi lokalnya.

Yulius, petani kopi dari desa Lewara, Marawola Barat berharap IG kopi bisa segera selesaikan.

Menurutnya, jika hasil kopi mereka bisa mendapatkan legalitas dan pengakuan maka nilai ekonomi petanipun bisa terdongrak naik.

Mereka tak lagi bergumul dengan pengepul yang membeli hasil kopi mereka dengan nilai dibawah lalu menghilang begitu saja.

Lain lagi dengan Yone yang antusias dalam membudidayakan Arabica. Petani kopi asal desa Soi, dataran tinggi dombu ini menilai keberadaan IG membuat petani memiliki kepercayaan tentang hasil perkebunan yang memberi niai lebih bagi petani kecil.

Harga kecil petani Kopi dataran tinggi Dombu diamini Abdurrahman. Katanya, sebelum intervensi pemain kopi dari luar masuk, harga kopi petani hanya berada dikisaran 10-20 ribu per kilonya.

Hal ini berubah sejak masuknya pemain kopi luar yang membandrol kopi petani di angka 50-100 ribu/ kilonya.

Dari 300-an Ha kopi dengan berbagai varietas yang dibudidayakan petani, belum satu jenispun yang memiliki IG.

Menurutnya, keberadaan IG membuat harga terlindungi, kualitas terjaga dan pasar yang tersedia.

Nuim Hayat, Kepala BAPPERIDA Sigi mengatakan, Dombu punya potensi kopi besar sehingga kepemilikan IG penting. Identitas ini untuk menjaga hak kepemilikan dari brand hingga karakteristik. Masyarakat petani memegang peranan penting dalam IG kopi bukan pemerintah.

Naim juga bilang Pemda sebagai pemangku kebijakan akan mendorong kopi sigi mendunia dengan catatan persoalan identitas Geografisnya menjadi hal yang harus disegerakan.

Naim yang membuka kegiatan seminar di Cafe Latorima Sigi memberikan contoh bagaimana kopi Kamanuru, kopi yang dipanen di pegunungan Dombu menjadi No. 1 untuk kopi robusta terbaik.

“Kopi Dombu adalah identitas Sigi makanya penting untuk punya IG sebagai hak pengakuan legalnya,” kata Naim. JEF

Pos terkait