Kuatkan Toleransi Antar Desa, Karsa Institute Gelar Camping Ground Anak Muda

Toleransi, Karsa

SIGI, MERCUSUAR – Karsa Institute memfasilitasi pertemuan pemuda dari Desa Pesaku dan Rarampadende melalui kegiatan Camping Ground Anak Muda untuk Penguatan Toleransi dan Konflik Sosial Antar Desa di kawasan wisata alam Reinhard Olavatu, Desa Oloboju, 14–16 November 2025.

Kegiatan ini menjadi forum pertama yang secara resmi mempertemukan kedua kelompok pemuda, setelah bertahun-tahun relasi sosial di antara mereka terganggu akibat rangkaian konflik antar desa.
Direktur Karsa Institute, Syaiful Taslim menjelaskan, kegiatan ini dirancang bukan sebagai intervensi sesaat, melainkan bagian dari upaya membangun model perdamaian berkelanjutan berbasis komunitas muda.

“Selama ini penyelesaian konflik terlalu banyak mengandalkan tokoh adat dan pemerintah desa. Padahal di lapangan, dinamika sosial dan gesekan justru banyak terjadi di tingkat pemuda. Karena itu, inisiatif perdamaian harus dimulai dari mereka,” ujarnya.

Kegiatan tersebut menjadi ruang aman bagi para pemuda untuk berbicara jujur tentang pengalaman ketakutan, stigma, hingga mimpi mereka tentang perdamaian.

“Kalau terjadi konflik, rasanya benar-benar tidak nyaman,” kata Kurnia Sandi (26), pemuda asal Rarampadende. Ia mengaku hampir setiap hari melintasi wilayah Pesaku untuk bekerja dan beraktivitas.

“Kami banyak kegiatan ke sana. Tapi ketika konflik terjadi, rasa aman itu hilang. Mau lewat saja waswas. Karena itu, ketika Karsa menyatukan kami di sini, kami semangat sekali. Ini pertama kalinya Pesaku dan Rarampadende dipertemukan dalam satu kegiatan.”

Cerita serupa datang dari Andre Setiawan, pemuda Pesaku yang setiap hari menempuh perjalanan kuliah ke Palu.

“Kalau ada konflik, perjalanan bisa setengah mati. Kami berharap kegiatan ini bisa bangun ulang tali silaturahmi. Yang penting, jangan mudah terprovokasi. Di dua kampung ini, gesekan kecil saja bisa memicu keributan,” ujarnya.

Para pemudi pun merasakan hal yang sama. Firda (26), dari Pesaku, mengaku ketakutan yang ia rasakan tidak selalu berbentuk ancaman langsung, tetapi terasa dalam keseharian.

“Lewat Rarampadende itu pasti rasa waswasnya ada. Warga banyak yang bahkan tidak tahu kami ikut kegiatan damai seperti ini,” ujarnya.

Mega (25), dari Rarampadende, mengungkap sisi paling menyakitkan dari konflik tersebut, yakni perubahan relasi antar keluarga lintas desa.

“Kadang ketemu orang Pesaku di jalan saja canggung, padahal keluarga. Konflik bikin kita seperti orang asing. Saya harap melalui kegiatan ini, pemuda bisa membawa energi positif ke masyarakat,” ujarnya.

Selama ini, konflik Pesaku–Rarampadende bukan hanya soal benturan fisik, tetapi juga soal stigma. Banyak pemuda mengaku malu menyebut asal kampung ketika berada di luar desa.

“Kalau ditanya dari mana, kadang malu bilang dari Rampadende atau Pesaku karena masih dicap desa konflik,” ucap seorang peserta. “Padahal banyak hal baik di desa kami,” tambahnya.

Diskusi di perkemahan itu juga menyinggung aspek baru yang selama ini jarang dibicarakan, yakni peran media sosial dalam memperkeruh situasi.

“Berita belum jelas disebar, ditambah komentar panas, lalu jadi pemicu.” keluh mereka.

Para peserta sepakat, literasi digital harus menjadi bagian dari pencegahan konflik.

“Sudah pernah disampaikan di pelatihan desa, bahwa salah satu pemicu konflik adalah misinformasi,” ujar mereka.

“Masalah yang sebenarnya kecil bisa membesar karena berita disebarkan tanpa klarifikasi,” tambahnya.

Meski begitu, optimisme terlihat jelas di wajah para pemuda ini. Mereka menyadari bahwa perubahan dapat dimulai dari lingkar kecil, bahkan dari perkemahan seperti ini.

“Ini baru awal,” kata Sandi.

“Kami berharap setelah pulang, kalau ke Pesaku, saya merasa aman. Begitu pula sebaliknya. Kalau ada isu anak ditahan atau semacamnya, pemuda harus cepat turun sebelum konflik membesar,” tambahnya.

Para peserta menegaskan komitmen mereka, membangun ruang-ruang perjumpaan baru, menghidupkan kembali silaturahmi, bahkan merancang kegiatan bersama seperti liga sepak bola lintas desa dan forum diskusi perempuan muda.

Firda menambahkan satu pesan penting.

“Yang paling penting, warga tahu bahwa kami, pemudanya, sudah mulai berdamai,” ujarnya.

Karsa Institute memastikan pendampingan tidak akan berhenti setelah kegiatan camping ini berakhir. Syaiful menegaskan, pihaknya tetap akan menjaga komunikasi dan mengembangkan jejaring pemuda lintas desa.

“Program mungkin punya batas waktu, tetapi hubungan sosial tidak boleh berhenti. Komitmen pemuda ini harus terus dijaga dan ke depan bisa direplikasi di desa lain,” ujarnya.

Pada kegiatan ini dihasilkan kesepakatan, pesan damai harus dimulai dari generasi muda. Para peserta menyatakan kesiapan mereka untuk menyampaikan hasil kegiatan kepada pemerintah desa, mengajak warga mendukung proses perdamaian, dan memastikan rencana aksi tidak berhenti sebagai wacana. JEF

Pos terkait