Sinekoci Bedah Film Karya Tonny Trimarsanto

MANGGA - Copy

PALU, MERCUSUAR – Dalam rangka memeriahkan bulan film nasional tahun 2019, SINESAPA, program pemutaran dan diskusi film yang diinisasi oleh SINEKOCI, sebuah komunitas film di Kota Palu, kembali hadir menyapa para penikmat film di kota tersebut Dalam SINESAPA yang dilaksanakan pada Selasa (19/3/2019) malam di Rumah Peduli SKP-HAM Sulteng, film The Mangoes: Mangga Golek Matang di Pohon karya sutradara Tonny Trimarsanto, menjadi film yang ditonton dan dibedah para penikmat film di Kota Palu. 

Film dokumenter berdurasi 98 menit ini, merupakan karya kedua Tonny Trimarsanto sebagai seorang sineas dokumenter yang menyelami isu transgender. Film ini mengisahkan tentang Renita, yang meiliki nama asli Muh Zain, yang setelah 25 tahun tinggal di Jakarta karena terusir dari kampung halamannya di Kabupaten Sigi, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, guna mencari pengampunan orang tuanya. Film ini mengikuti perjalanan pulang Renita tersebut, serta mengungkap hal-hal yang tak ia duga sebelumnya.

Reaksi para pengunjung setelah menonton film tersebut beragam. Fauzan misalnya, bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan oleh Tonny selaku sutradara, hingga di dalam scene, Renita dan kawan-kawannya berdialog secara natural, seakan tidak ada kamera yang merekam mereka.

Selain itu, pertanyaan juga datang dari Reza Aditama, seorang mahasiswa pemerhati film, yang mempertanyakan mengapa Tonny memutuskan untuk mengangkat isu-isu sensitif seperti isu transgender ini.

Tonny mengisahkan, film The Mangoes ini digarap pada tahun 2007, setelah film dengan tema transgender sebelumnya, Renita, Renita, menang di banyak festival. Adapun uang hadiah dari film tersebut kata dia, dirembukkan dengan Renita, akan digunakan untuk apa. Maka Renita memutuskan untuk pulang kampung, dan proses perjalanan pulangnya tersebut yang kemudian digarap menjadi film The Mangoes.

“Prosesnya lumayan lama dari 2007 sampai 2012. Perjalanan dari Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Palu, hingga Sigi. Selama satu bulan kami tinggal di kampungnya Renita,” ujarnya.

Terkait bagaimana dirinya mampu menampilkan percakapan-percakapan Renita dan kawan-kawannya secara natural, Tonny mengatakan, butuh waktu lama untuk merekam percakapan yang bagi mereka sederhana, tapi bagi dirinya sangat luar biasa.

“Kenapa saya bisa begitu dekat dengan karakter dalam film saya, ini ada logikanya. Saya lebih senang memahami mereka dan membaca bahasa tubuh dan apa yang mereka mau. Bagi saya itu hal yang sederhana, dari situ saya belajar dan kedekatan itu terjadi.

Hal yang paling penting kata dia, adalah menyadari di ruang mana dirinya berada dan menciptakan situasi yang lebih empati, solidaritas dan menjadi bagian penting dari mereka. Kesadaran pada ruang kata dia, kadang tidak dianggap penting.

“Kalau saya membuat film, saya tidak boleh membuat ruang kaca antara saya dengan mereka. Saya harus mengerti dengan bagaimana kehidupan mereka,” jelasnya.

Sementara itu, terkait mengapa dirinya memilih isu transgender sebagai isu yang diselami dalam berkarya, Tonny mengatakan, di masa kecilnya, dia merasa takut dengan keberadaan transgender di sekitarnya dan menyelami isu transgender dalam karyanya, menjadikannnya lebih memahami mereka sebagai manusia biasa.

“Selain itu bagi saya, sebuah karya harus unik, karena itu yang membedakan kita dengan orang lain. Keunikan itu menjadi daya jual kita di luar,” tutupnya. JEF   

 

Saya terus belajar memahami mereka

Saya lebih banyak mendengar dan tidak banyak bicara, kamera saya yg bekerja.

 

Kedekatan dengan karakter relatif dan menjadi kunci bagi saya. Membuat film yang paling penting adalah kejujuran. Kalau setuju kita jalan, kalau tidak ya tidak. Kedekatan menciptakan hal yang luar biasa.

 

Pos terkait