Warga Rogo Pelajari Pengetahuan Kebencanaan

HLL - Copy

SIGI, MERCUSUAR – Setelah diberikan penguatan kapasitas dalam tata kelola lahan di desa, dalam rangka mitigasi bencana, warga Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan, juga diberikan penguatan tentang pengetahuan kebencanaan, meliputi aspek mitigasi, peringatan dini, serta kesiapsiagaan.

Pegamat kebencanaan Sulteng, Drs Abdullah, MT, memfasilitasi warga dalam proses peningkatan kapasitas yang diinisiasi oleh Walhi Sulteng, Suteng Bergerak, Yayasan Merah Putih, serta Forum Rogo Bangkit tersebut. Abdullah menjelaskan, kita harus bersiap menjaga kemungkinan terjadi bencana berikutnya, meningkatkan kapasitas pengetahuan terkait aspek kebencanaan, dan hal inilah yang dibangun dalam Pelatihan Mitigasi Bencana Berbasis Kearifan lokal tersebut.

Dalam aspek mitigasi misalnya, Abdullah menjelaskan kepada masyarakat, langkah awal yang harus dikenalkan adalah potensi bencana yang dapat terjadi. Dirinya memaparkan potensi-potensi kebencanaan yang mungkin terjadi di Desa Rogo, seperti potensi gempa bumi yang merata sepanjang jalur sesar Palu Koro yang juga melintas di wilayah Desa Rogo, kemudian potensi longsor, baik yang dipicu karena aktivitas manusia yang melakukan pembukaan lahan atau dipicu oleh getaran, baik yang ditimbulkan oleh manusia ataupun alam.

Abdullah juga memaparkan potensi bencana lainnya seperti banjir, cuaca ekstrem, serta bencana non alam . Pengetahuan soal tsunami dan likuifaksi juga perlu, walaupun tsunami di Rogo tidak akan terjadi, karena tidak berbatasan langsung dengan garis pantai dan di Desa Rogo, potensi likuefaksinya kecil.

“Warga sangat antusias mengenali potensi bencana di wilayahnya, terutama ibu-ibu. Hal ini memang strategis, karena mereka paling gampang berdiskusi dengan lingkungan sekitarnya dan menjadi tokoh sentral penyebaran informasi di dalam rumah tangga,” ujarnya.

Mitigasi sendiri menurut Abdullah, adalah upaya untuk meminimalisir resiko, yang terbagi atas pembangunan fisik serta penyadaran dan peningkatan kapasitas, baik secara individu maupun komunitas.

Warga yang hadir dalam pelatihan juga diajarkan terkait aspek peringatan dini. Abdullah menjelsakan, di desa, sistem peringatan dini tidak harus menggunakan sirene, namun dapat memanfaatkan potensi yang ada misalnya menggunakaan tiang listrik dengan jumlah pukulan yang disepakati, atau melalui kentongan dan pengeras suara di tempat ibadah.

Selanjutnya terkait aspek kesiapsiagaan, Abdullah menjelaskan, hal tersebut adalah kesepakatan bersama terkait upaya penanganan jika terjadi bencana, yang sebaiknya dituangan dalam sebuah dokumen. Dalam dokumen tersebut, jika terjadi bencana, harus jelas termuat di dalamnya, tugas dari masing-masing stakeholder dalam hal penanganan bencana, seperti kepala desa melakukan apa, bidan desa melakukan apa, polisi dan tentara melakukan apa, dan tokoh masyarakat melakukan apa.

Menurut Abdulah, warga juga bertanya tentang lajur sesar Palu Koro, yang melewati desa mereka. Dirinya pun mensosialisasikan Zona Rawan Bencana (ZRB) yang telah disusun oleh pemerintah, di mana wilayah yang masuk ZRB IV tidak boleh dihuni, seperti zona likuefaksi, zona sepadan pantai sepanjang 100 meter dari bibir pantai, tebing yang terjal, kawasan rawan longsor dan banjir, juga radius 10 meter di sisi kiri dan kanan lajur sesar Palu Koro.

Di akhir penjelasannya, Abdullah juga menganjurkan masyarakat untuk kembali menggunakan rumah pangung yang tahan gempa. Dirinya mencontohkan rumah adat Souraja di Palu yang tetap berdiri kokoh pasca gempa. JEF  

Pos terkait