SIGI, MERCUSUAR – Masyarakat di Kecamatan Pipikoro dan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, dilanda kecemasan. Ini akibat adanya rencana pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Salo Pebatua.
Penolakan warga terhadap PLTA Salo Pebatua yang akan dibangun di pedalaman Pipikoro dan Kulawi Selatan, ditandai dengan adanya spanduk bertuliskan kalimat penolakan disertai tanda tangan warga, yang dipajang di beberapa titik di Kecamatan Pipikoro dan Kulawi.
Ketua Serikat Petani Wahi (SPW), Elsi E. Lunda menyatakan, mega proyek ini akan berdampak tidak baik bagi penduduk di empat desa, di dua kecamatan yang ada di Sigi.
“Kami menolak, karena itu merugikan. Bayangkan saja kalau itu dibangun, kemudian kami akan dipindahkan ke tempat lain. Kami tidak mau, kami lebih senang di tempat ini,” kata Elsi, saat ditemui di Dusun Wahi, Desa Pili Makujawa, Kulawi Selatan, Minggu (19/9/2020).
Menurutnya, pembangunan PLTA Salo Pebatua dianggap merugikan masyarakat. Padahal selama ini, warga berupaya menjaga Sungai Lariang.
Secara filosofis, orang-orang Uma (Topouma) kata dia, memiliki pandangan bahwa manusia memiliki hubungan dengan sungai, di mana warga setempat menganggap Sungai atau Koro sebagai ibu (Tina). Elsi mencontohkan jika hasil perkebunan lambat atau gagal panen, maka warga akan mendulang emas (Mangemo) di sungai.
Ia juga mengatakan, selama ini warga menjaga alam, tetapi PLTA datang merusak.
“Alam itu hidup dan punya nyawa, jika dirusak akan marah,” kata dia.
Salah seorang warga di Desa Halutua, Kecamatan Pipikoro yang namanya enggan dikorankan mengatakan, masyarakat yang bermukim di tepi Sungai Lariang itu, menolak keras pembangunan PLTA Salo Pebatua.
“Tidak bisa dibangun di sini, tanaman kami terganggu. Kami juga tidak mau dipindahkan, apapun yang terjadi,” ujarnya.
Menurutnya, warga berhak untuk menolak pembangunan dan tidak bisa dipaksakan. Sudah jadi harga mati jika warga menolak pembangunan. */AS/TIN