POSO, MERCUSUAR – Pembongkaran hutan dan penempatan lahan kosong (okupasi) secara besar-besaran di perbatasan antara Provinsi Sulteng dan Sulawesi Selatan (Sulsel) saat ini sudah sangat memprihatinkan. Mengingat fungsi kawasan itu merupakan Daerah Tangkapan Air yang sangat berguna bagi siklus air atau hidrogis kawasan Danau Poso.
Bahkan kondisi saat ini, pembongkaran hutan tersebut mengarah pada okupasi lahan dengan tujuan pemukiman dan kepemilikan lahan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara sistimatis, untuk menguasai lahan di daerah perbatasan.
Terkait Daerah Tangkapan Air tersebut, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Poso, Murniati Putosi melalui Kepala Bidang Perlindungan DLH, Roy Pesudo mengatakan bahwa praktek pembongkaran hutan yang terjadi di daerah perbatasan sangat berdampak fatal jika ditinjau fungsi kawasan dari aspek ekologi.
Sedangkan kepemilikan penguasaan lahan di kawasan perbatasan itu, katanya, ia telah menyimpan sejumlah bukti foto copy kwitansi praktek jual beli lahan itu.
Menurut Roy, jika hal itu dibiarkan tanpa adanya upaya pencegahan, maka akan berdampak terganggunya siklus hidrologi berupa penurunan debit air sungai dan danau.
Selain itu, pasokan air ke irigasi pertanian akan berkurang, sumber air baku menurun, hilangnya keanekaragaman hayati serta hilangnya budaya lokal yang memiliki keterikatan dengan kawasan hutan yang bisa memicu konflik sosial.
Jika ditinjau dari aspek ekologi. sambungnya, kawasan tersebut merupakan Daerah Tangkapan Air dalam kesatuan siklus hidrologis Danau Poso, karena terdapat beberapa sungai besar dan sungai kecil yang berhulu di kawasan itu yang bermuaranya di Danau Poso.
Untuk itu, pihaknya akan melakukan upaya prenventif dengan cara mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai daerah tangkapan air.
“Untuk melakukan tindakan yang komprehensif, pihaknya terlebih dahulu akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk mengeluarkan semua warga yang berada di kawasan tersebut,” tegasnya.
Kalau perlu, tambahnya, mendesak Pemerintah Provinsi Sulsel, Pemkab Luwu Timur dan pemerintah desa Kasintuwu untuk duduk bersama mencari solusi dengan kebijakan yang mengarah pada kehancuran kawasan atau intinya jangan menerbitkan akta jual beli, reboisasi dan penegakan hukum yang tegas.
Disinggung kepedulian yang ditunjukkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Provinsi Sulteng terkait hal tersebut, Roy menyebut sejauh ini belum terlihat upaya penanganan dari instansi tersebut walaupun kawasan itu masuk wilayah kerja BPDAS. ULY