Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, FPRB Rekomendasikan Siaga Darurat Bencana

Pelaksanaan FGD terkait fenomena La Nina dan dampaknya di Sulteng, oleh FPRB Sulteng bersama sejumlah unsur pentahelix penanggulangan bencana, di Palu, Senin (16/12/2024). FOTO: IMAM EL ABRAR/MS

PALU, MERCUSUAR – Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi Sulteng memberikan mendorong Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), bersama pemangku kepentingan kebencanaan di seluruh wilayah Provinsi Sulteng, untuk meningkatkan kewaspadaan melalui siaga darurat bencana hidrometeorologi.

Hal itu menjadi salah satu rekomendasi yang disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) terkait fenomena La Nina dan dampaknya di Sulteng, di salah satu kafe di Palu, Senin (16/12/2024).

Pada kesempatan itu, peserta diskusi yang terdiri atas unsur pentahelix penanggulangan bencana, saling menyampaikan gagasan terkait antisipasi bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.

Ketua FPRB Sulteng, Shadiq Maumbu mengatakan, fenomena La Nina yang ditandai curah hujan tinggi sudah berdampak di beberapa daerah di Indonesia.

“Medan, Sukabumi, Cilacap, Makassar sudah mengalami dan sedang dalam situasi tanggap darurat. Di Sulteng sudah diawali di Betalemba, Poso Pesisir. Prediksi BMKG, La Nina akan berlangsung bahkan hingga April 2025,” kata Shadiq.

Penetapan status siaga darurat oleh para pemangku kepentingan di tiap daerah, menurut Shadiq, merupakan yang penting, agar masyarakat, utamanya di pedesaan, daerah pedalaman dan hulu sungai, dapat ikut meningkatkan kewaspadaan melalui upaya mitigasi di tingkat lokal.

“Kawasan urban di ibu kota provinsi dan kabupaten juga tak lepas dari upaya ini,” imbuhnya.

Ia juga berharap adanya komunikasi dan koordinasi lintas sektor dengan lembaga terkait, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) serta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), terkait kerentanan banjir dan banjir bandang akibat pendangkalan dan upaya mitigasi sungai melalui normalisasi.

Menurutnya, modifikasi cuaca sebagaimana masukan BMKG dalam diskusi tersebut adalah bagian dari mitigasi.

“Meski dalam diskusi sulit diwujudkan, karena komitmen penganggaran pemerintah daerah, problem khas manajemen kebencanaan yang umumnya terjadi di Indonesia. Olehnya, mitigasi berbasis komunitas menjadi urgensi. Pemerintah daerah mesti mengumumkan secara masif kewaspadaan dengan status siaga darurat bencana hidrometeorologi,” tandas Shadiq. */IEA

Pos terkait