PALU, MERCUSUAR – Balai Bahasa Provinsi Sulteng saat ini tengah menjalankan program Revitaliasai Bahasa Daerah, dengan menyasar 4 bahasa daerah yakni bahasa Kaili, Pamona, Saluan dan Banggai.
Kepala Balai Bahasa Sulteng, Dr. Asrif mengatakan, pihaknya memilih 4 bahasa daerah tersebut untuk direvitalisasi karena merupakan termasuk bahasa dominan jumlah pendukungnya di Sulteng.
“Sesungguhnya ini sedikit dari semua yang harus direvitalisasi. Kami mempertimbangkan waktu dan kecukupan SDM, termasuk anggaran. Tahun ini sampai 2024, kami fokus pada empat bahasa daerah. Kami tidak ingin mengambil semuanya tapi kemudian tidak mampu dikawal, maka lebih baik ambil beberapa namun dikawal sampai tuntas,” kata Asrif, saat ditemui di salah satu hotel di Palu, Jumat (17/11/2023).
Revitalisasi tersebut, bertujuan untuk menguatkan kembali bahasa daerah sebagai simbol kebudayaan daerah bersangkutan. Saat ini, kata Asrif, 4 bahasa daerah di Sulteng tersebut sedang mengalami kondisi yang berbahaya dan sangat berisiko. Salah satu alasannya, adalah semakin menurun jumlah penuturnya.
“Kalau diurut dari empat bahasa itu, yang paling baik adalah bahasa Banggai, lumayan baik dibandingkan tiga yang lain. Kalau bahasa Pamona, tampaknya baik tetapi sebenarnya tidak baik-baik saja. Data dari budayawannya, semua remaja di semua ibukota kecamatan pasif berbahasa Pamona,” tutur Asrif.
Terkait bahasa Kaili, lanjut Asrif, pihaknya menemukan ratusan mahasiswa yang berlatar belakang etnik Kaili tidak bisa berbahasa Kaili.
“Ini berbahaya dan sangat berisiko. Harusnya tokoh-tokoh kita, akademisi, siapapun, anak-anaknya didorong berbahasa Kaili,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Asrif lagi, bahasa Kaili serta bahasa Saluan juga mengalami tren pergeseran penuturnya semakin ke daerah pinggiran.
“Maka situasi akan berbahaya kalau menjadi stereotype, bahwa bahasa Kaili itu adalah bahasa orang-orang pinggiran atau orang gunung, karena orang kota tidak pakai. Begitu juga bahasa Saluan di Kota Luwuk susah, ini bergeser semua ke pinggir,” tuturnya.
Asrif juga menganalisa hal lain yang menjadi penyebab sebuah bahasa daerah mengalami penurunan, adalah adanya sikap inferior atau merasa bahasa daerahnya berada pada level yang lebih rendah dibandingkan bahasa lain.
Oleh karena itu, menurutnya, sikap tersebut yang juga harus dihilangkan, sambil menanamkan paham bahwa semua bahasa daerah memiliki level yang sama.
“Tidak akan berhasil program apapun, kalau sikap ini tidak dinaikkan dulu, bahwa bahasa daerah saya tidak kalah hebat dari bahasa lain. Tanpa dibawa dengan sikap itu, ini tidak akan maksimal. Ini yang harus dihajar bersama-sama, bahwa bahasa daerah kita levelnya sama dengan bahasa dari suku manapun. Ini bukan hanya tugas Balai Bahasa, siapapun kita ayo suarakan, bahwa inferior berlebihan itu tidak baik,” tegasnya.
Terkait kondisi heterogenitas kultur dalam sebuah daerah yang dipandang menjadi salah satu penyebab pudarnya bahasa daerah setempat, Asrif mengaku tidak setuju dengan hal itu. Ia mencontohkan bahasa daerah Makassar yang hingga kini masih sangat kuat dituturkan oleh orang-orang Makassar. Padahal, Makassar merupakan salah satu kota metropolitan yang sangat terbuka terhadap berbagai kultur dari luar.
“Kurang metropolitan, kurang terbuka apa Kota Makassar, dari zaman dulu dihajar berbagai budaya dan bahasa, tetapi sampai sekarang bahasanya kuat sekali. Siapapun yang datang, begitu pulang minimal bisa berdialek Makassar,” kata Asrif.
MENGUATKAN TUNAS
Upaya revitalisasi 4 bahasa daerah di Sulteng, salah satunya diwujudkan melalui Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) mulai dari tingkat kabupaten hingga provinsi Sulteng. Pada tingkat kabupaten, ajang tersebut digelar di Kota Palu dan Kabupaten Donggala (bahasa Kaili), Kabupaten Poso (bahasa Pamona), dan Kabupaten Banggai (bahasa Banggai dan Saluan).
Pada tahun 2024, program tersebut akan dilanjutkan pada titik-titik lainnya, sehingga dapat meluas.
“Misalnya kemarin di sekolah A, maka tahun depan di sekolah B, karena tujuan kami adalah memperluas wilayah. Kalau bahasa Kaili ini, kan, terdapat di lima daerah, tahun ini baru 2 (Palu dan Donggala), tahun depan akan masuk Sigi. Harapan kita ini menjadi gerakan semesta, gerakan besar untuk revitalisasi bahasa daerah,” ujar Asrif.
Revitalisasi Bahasa Daerah, jelas Asrif, difokuskan kepada para peserta didik, utamanya jenjang PAUD dan SD, dengan model yang menyesuaikan dengan konsep merdeka belajar. Pihaknya menyiapkan 6 peminatan yang dapat dipilih secara bebas oleh tiap anak.
Keenam peminatan tersebut yakni komedi tunggal, baca dan cipta puisi, tulis dan baca cerpen, mendongeng, menyanyi tradisi, pidato. Seluruhnya diterapkan dengan menggunakan bahasa daerah.
“Anak-anak akan menyesuaikan dengan minatnya, bukan kita yang menentukan mereka harus memilih apa,” imbuhnya.
Tidak hanya pada pada saat penampilan, para peserta didik juga diajak untuk terbiasa menggunakan bahasa daerah pada saat berkumpul atau berkomunikasi dengan sesamanya.
“Saat mereka berkumpul, di situlah pembiasaan berjalan. Karena bahasa itu adalah pembiasaan, konsep kami adalah seperti itu,” ujar Asrif.
“Tidak hanya di sekolah, komite sekolah diajak, orang tua diajak, paguyuban diajak, supaya gerakan ini tidak hanya dari Balai Bahasa dan sekolah, tetapi semuanya juga turut serta,” sambungnya.
Ajang tersebut juga tidak membatasi hanya diikuti oleh peserta didik yang berlatar suku terkait. Namun, kata Asrif, pihaknya juga membuka kesempatan bagi anak-anak berlatar suku lainnya, untuk ikut menuturkan bahasa daerah setempat.
“Kita gunakan satu istilah kuno, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kolaborasi akan muncul, kalau kita bisa menguasai bahasa setempat. Proses pembiasaan tidak hanya pada etniknya, tetapi juga kepada siapapun yang berdomisili di tempat tersebut, karena bahasa merupakan identitas daerah setempat,” tuturnya.
Asrif menjelaskan, pemilihan kata tunas pada FTBI, karena ajang tersebut menyasar para peserta didik pada jenjang PAUD dan SD, yang dipandang sebagai bibit generasi untuk menguatkan bahasa daerah di masing-masing wilayah.
“Tunas ini, kan, bibit. Ketika pohon tua tumbang, maka tunas yang mengganti. Hari ini adalah proses penyiapan tunas. Jangan sampai kita merawat yang tua, tetapi lupa mempersiapkan tunas. Karena tanpa ada tunas, ketika pohon-pohon tua tumbang, maka selesai semua,” tegasnya lagi.
PAYUNG HUKUM BAHASA DAERAH
Asrif juga menegaskan, pihaknya selama ini bersuara keras berharap adanya payung hukum seperti Peraturan Daerah (Perda) yang mendukung penguatan bahasa daerah di Provinsi Sulteng. Ia mengingatkan, kondisi bahasa daerah saat ini tinggal beberapa generasi, jika tidak diberikan perhatian.
Ia mencontohkan, saat ini bahasa Jawa meskipun kondisinya dalam keadaan kuat, namun ada regulasi yang mendukung perlindungannya. Selain Perda, juga ada Kongres Bahasa Jawa, serta penerapan Muatan Lokal yang maksimal.
Asrif juga mengibaratkan perawatan bahasa daerah sebagai tubuh, yang jika dirawat dalam keadaan sehat tidak membutuhkan obat-obatan yang banyak.
“Jadi, untuk merawat itu tidak menunggu saat terancam punah. Justru, pada saat sehat harus diimunisasi terus supaya dia tangguh. Karena kalau masih baik, obatnya tidak terlalu banyak. Kalau sudah diserang penyakit berat, obatnya besar, itupun dengan pertaruhan selamat atau tidak,” pungkasnya. IEA