Banjir telah menjadi hal biasa bagi warga di sekitar Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong (Parmout). Jika langit menghitam, dipastikan beberapa jam kemudian air sungai meluap, mengirim material kayu dan lumpur.
MOHAMMAD MISBACHUDIN – WARTAWAN MERCUSUAR
Sungai Tolai, salah satunya, terus menggerus pemukiman warga yang berada di belakang Pasar Tolai. Relokasi warga menjadi keharusan untuk menuntaskan masalah tersebut, karena harus melebarkan sempadan hingga dua meter bahkan lebih. Namun Pemerintah Desa tidak memiliki lahan untuk merelokasi warga.
Awan pekat terlihat di hulu sungai Tolai. Meski di bagian pasar Tolai tidak turun hujan, warga di sekitar sempadan sungai sudah mulai waspada, bahkan ada yang mengungsikan sebagian keluarganya ke tempat yang aman. Sebab dipastikan banjir akan segera datang, kemudian menggerus pemukiman.
“Entah sudah berapa kali sungai ini menggerus pemukiman warga, dan kemudian ada yang sudah kehilangan bangunan di bagian belakang rumahnya,” ungkap Kepala Desa Tolai Induk Kecamatan Torue, I Gede Dipayana kepada Mercusuar, Rabu (18/12/2024).
Rasa khawatir warga, ditambah trauma terhadap beberapa kejadian sebelumnya, kata Dipayana, memunculkan rasa tidak nyaman ketika potensi banjir kembali terlihat, seperti awan pekat di hulu sungai, curah hujan tinggi, yang intensitasnya sampai tiga hari berturut-turut.
Meskipun di sisi lain, Pemerintah Desa dibantu warga memasang karung yang berisi pasir, bahkan juga memasang bronjong di beberapa titik yang dianggap rawan, belum menjadi solusi permanen. Sehingga, setiap saat ada saja bagian dari bangunan warga yang hanyut terbawa luapan sungai. Sempadan sungai tersebut dihuni sebanyak 80-an Kepala Keluarga.
Dipayana menyampaikan pihaknya sudah beberapa kali melakukan koordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Parmout, bahkan menghadap ke Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III untuk meminta solusi terkait persoalan tersebut.
Menanggapi hal itu, BWSS kata Dipayana meminta warga untuk direlokasi dari sempadan sungai. Area tersebut harus dikosongkan hingga jarak sekira dua meter lebih, agar BWSS dapat melakukan normalisasi dengan cara melebarkan sungai, serta memasang tanggul agar air tidak terus menggerus tepian sungai.
“Tapi, di sinilah benang kusutnya mulai terlihat. Pihak warga kami pun mengeluh dengan kondisi seperti ini, karena setiap saat bisa saja bencana besar menghantui mereka. Namun solusinya, seperti yang dibeberkan oleh pihak BWSS, kembali ke warga, harus direlokasi dari sempadan sungai. Kemudian kami selaku pemerintah desa tidak memiliki lahan ataupun kemampuan untuk membeli lahan untuk merelokasi warga,” beber Dipayana.
Sehingga hal itu, menurutnya, masih menjadi hal yang terus dicarikan solusinya, oleh semua pihak yang terlibat dalam menyelesaikan masalah banjir. Jika hal itu terus diulur, maka tidak menutup kemungkinan akan ada bencana yang lebih parah menimpa warga di sempadan sungai.
“Tapi, sebagai pemerintah desa yang bertanggung jawab terhadap keberadaan warganya, kami terus mencari solusinya, sembari berkomunikasi secara aktif dengan BWSS dan juga warga kami,” pungkasnya. ***