Biarkan Saya ‘Bercengkrama’ Dengan Sahabat Saya

FOTO FEATURE SETAHUN BENCANA

MATAHARI menyudahi coraknya di ufuk barat, senja temaram merayap di Pekuburan Umum Poboya, menimbulkan bayangan siluet gugusan ribuan batu nisan, yang berderet di dalam kompleks pekuburan massal, korban bencana alam setahun silam.

OLEH: MISBACH

Semilir angin senja dan suara jangkrik menguatkan memori setahun yang lalu, di atas pusara para korban hari bertambah gelap, seakan tergiang teriakan mereka yang minta tolong saat digulung tsunami dan tertelan likuefaksi.

Beberapa menit kemudian, Mohammad Afdal mendekati kompleks pekuburan, berdoa sejenak diatas pusara lalu menyiramkan dengan air mineral yang sengaja dibawanya untuk sahabatnya yang sudah mendahuluinya.

Kemudian dia berpindah ke kuburan yang lain, disini dia menyalakan lampu dari smartphonenya, mengeluarkan Quran kecil dari sakunya yang sudah disiapkan saat mengunjungi sahabatnya, tertulis di pusara, Fahreza Budiman.

Surah Yasin dilantunkan, hari bertambah gelap, angin semakin kencang bertiup, kilatan di langit mulai kentara, pertanda hujan akan segera turun. Namun Afdal tidak beranjak, terus melantunkan ayat suci Alquran sembari menghapus air matanya.

“Ini adalah sahabat saya dari semenjak di bangku SD, kemudian sama-sama di SMP, lalu lulus sama-sama di SMA, hingga kuliah di Fakultas Hukum Untad, angkatan 2017,” ujarnya membuka pembicaraan.

Afdal memilih datang di kala senja menjelang gelap, karena ingin bercengkrama dengan sahabatnya yang tewas saat tsunami menerjang Anjungan Nusantara. Ketika itu, sahabatnya tengah berjualan ayam geprek.

Dengan cahaya ponselnya, dia sedikit bercerita tentang sahabatnya yang hilang. Menurutnya, sahabatnya tersebut adalah sosok yang tidak pernah meninggalkan salatnya, meski pun menghadapi persoalan apapun dan dalam kondisi apapun.

Saat itu Afdal tengah bekerja di salah satu gerai makanan di Kecamatan Palu Barat, sahabatnya mulanya mengajaknya ke acara Palu Nomoni. Namun karena pekerjaan, dia pun tidak menyanggupi ajakan temannya, dan beberapa jam kemudian terjadi gempa, saat itu dia panik dan berusaha mencari sahabatnya di pantai.

“Saya kira hanya gempa biasa, makanya saya buru-buru ke pantai, ke arah Patung Kuda, dan disitu saya dihalangi Polisi. Dan barulah saya tahu kalau tsunami dahsyat baru saja menggulung  apapun di pantai,” kenangnya.

Tiga bulan berlalu, sahabatnya tak ada kabar, hingga kemudian dia ‘dipertemukan’ dengan pusara sahabatnya yang tepat berumur 19 tahun, hanya berselang tiga hari merayakan ultahnya, dinyatakan hilang.

Jam menunjukkan pukul 20.00, semakin malam, namun Afdal tetap bersemangat menceritakan kisah sahabatnya yang sejak kecil bersamanya, namun dipisahkan oleh bencana alam yang maha dahsyat itu.

“Maaf pak, kalau sudah selesai wawancaranya, biarkan dulu saya sendiri disini, saya ingin ‘bercengkrama’ dengan sahabat saya. Saya ingin menumpahkan semua kerinduan saya di pusara ini, dalam keadaan sunyi. Hanya saya dan dia,”pintanya. ***

 

Pos terkait