Bimtek Advokasi Hukum Bagi APH

FOTO DP3A SULTENG

PALU, MERCUSUAR – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A)  Provinsi Sulteng mengelar Bimbingan Teknis (Bimtek) advokasi hukum bagi Aparat Penegak Hukum (APH) di Swissbel Hotel Palu, Selasa (25/6/2019).

Kepala DP3A Sulteng dalam sambutan yang dibacakan Sekretaris DP3A Sulteng, Bambang mengatakan isu perempuan dan anak adalah cross cutting issues dan melebur disetiap lini pembangunan.

Untuk memecahkan berbagai permasalahan terkait dengan perempuan dan anak, kata dia, dibutuhkan koordinasi yang kuat dari semua pemangku kepentingan yang ada, mulai dari pemerintah sampai ke masyarakat.

Selain itu, mendorong partisipasi masyarakat termasuk melibatkan perempuan dan kelompok rentan dalam setiap tahapan atau proses advokasi.

“Masyarakat perlu diberikan pemahaman, penyadaran dan kemampuan untuk memperjuangkan sesuatu yang menjadi haknya dan mengorgansir potensi yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang diharapkan,” ujarnya.

Menurutnya, upaya meningkatkan kualitas jangkauan pelayanan dan menginisiasikan keterlibatan masyarakat dalam pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan sangat penting.

Untuk dilakukan peran masyarakat dalam pencegahan kekerasan, sambungnya, dimulai dari keluarga dengan mengedepankan fungsi ketahanan keluarga dalam menanamkan nilai–nilai karakter, kasih sayang hingga terhindar dari kekerasan.

Inisiasi keterlibatan peran masyarakat itu, lanjutnya, melahirkan ragam inisiatif dari organisasi non pemerintah dan mitra lainnya untuk memperkuat peran masyarakat dalam mempromosikan perlindungan perempuan dan anak.

Selanjutnya, aparat penegak hukum merupakan ujung tombak pemenuhan rasa keadilan bagi korban dalam sebuah proses hukum, termasuk pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Olehnya, dibutuhkan kesamaan persepsi di kalangan aparat penegak hukum yang responsif gender untuk mengedepankan pemenuhan kepentingan korban perempuan dan anak.

 

Keberhasilan sebuah proses hukum, kata dia, sangat ditentukan pada kualitas pemahaman dan responsifitas aparat penegak hukum dalam penanganan yang mampu menyelesaikan kasus hukum dan melindungi para korban, termasuk korban perempuan dan anak sesuai amanat peraturan perundang-undangan.

“Kendala yang paling dirasakan saat ini adalah belum tercapainya kesamaan persepsi yang responsif gender di kalangan aparat penegak hukum tentang alat bukti kasus kekerasan yang kompleks, mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban, serta koordinasi dalam pemenuhan hak korban,” ungkap dia.

Dia mengakui bahwa perkembangan pesat penanganan ditingkat Kepolisian dengan bertambahnya unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) ditingkat Polsek, selain di Polres dan Polda.

“Ini merupakan langkah signifikan untuk meningkatkan penanganan proses hukum, namun kurangnya Polwan dan sumber daya manusia yang terlatih masih menjadi kendala yang cukup besar,” katanya. TIN

Pos terkait