BANGGAI, MERCUSUAR – Desa Sumberharjo di Kecamatan Moiling, Kabupaten Banggai kini menjadi contoh sukses penerapan inovasi pertanian berkelanjutan melalui budidaya burung hantu.
Dengan dukungan dari JOB Tomori, program pembuatan Rumah Silaban untuk burung hantu jenis Tyto Rosenbergii atau Serak Sulawesi tersebut, berhasil menjadi solusi efektif mengatasi hama tikus sawah yang selama ini menjadi momok bagi petani.
Tyto Rosenbergii merupakan burung hantu endemik Sulawesi yang memiliki ciri khas unik, dengan mempunyai postur tubuh yang lebih besar dibandingkan jenis lainnya. Cakaran wajahnya berwarna abu-abu, serta tubuh berwarna merah karat dengan pola gelap, penglihatan malam yang sangat tajam, dan burung tersebut, aktif berburu tikus di malam hari.
Saat ini, status konservasinya tergolong stabil, dan populasi di Desa Sumberharjo telah mencapai sekitar 35 ekor. Masyarakat Sumberharjo lebih memilih metode tersebut, dibandingkan racun atau perangkap listrik yang sering kali tidak efektif dan merusak lingkungan.
Kepala Desa (Kades) Sumberharjo, Bahron Herman mengatakan, inovasi tersebut dimulai sejak tahun 2017, ketika serangan hama tikus menjadi penyebab utama gagal panen.
“Kami belajar budidaya burung hantu dari Yogyakarta. Setelah melalui berbagai tantangan, akhirnya masyarakat menyadari manfaat besar burung ini,” kata Bahron, Senin (2/12/2024).
Rumah Silaban yang dikembangkan dengan bantuan JOB Tomori tersebut, lanjutnya, dirancang khusus untuk kenyamanan burung hantu Serak Sulawesi.
“Beberapa fitur unggulannya meliputi dinding dan atap kedap cahaya, ventilasi silang untuk menjaga suhu dan kelembapan, fitur penangkal petir, fondasi cakar ayam sedalam 1,5 meter yang kokoh, dan konstruksi beton berkualitas K-300,” tuturnya.
Perwakilan SKK Migas Kalimantan Sulawesi (Kalsul), Ari Pratomo menekankan pentingnya program pengembangan masyarakat seperti ekowisata tersebut.
“Antara perusahaan dan masyarakat harus terjalin hubungan baik. Program ini adalah bukti nyata manfaat industri hulu migas bagi masyarakat,” kata Ari.
Business Support Senior Manager JOB Tomori, Agus Sudaryanto mengatakan, program tersebut tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga efisien.
“Metode lain seperti racun pestisida atau listrik memiliki risiko tinggi terhadap tanah dan keselamatan manusia. Burung hantu adalah solusi yang aman dan berkelanjutan,” terang Agus.
Ia menuturkan, diperlukan perjuangan panjang untuk mengubah persepsi warga. Awalnya, banyak warga Desa Sumberharjo yang takut memelihara burung hantu karena berbagai mitos. Salah satunya, suara burung hantu yang dianggap sebagai pertanda buruk.
“Namun, melalui sosialisasi yang intensif dilakukan oleh pemerintah desa, masyarakat akhirnya memahami manfaat besar burung ini,” tandas Agus.
Kades Sumberharjo, Bahron menjelaskan pada tahun 2019 salah seorang warga membuktikan efektivitas burung hantu, saat menyaksikan langsung predator tersebut memangsa tikus di sawah.
“Saat itu, warga mulai percaya bahwa burung hantu benar-benar membantu melindungi tanaman mereka,” ujar Bahron.
Inovasi tersebut, lanjutnya, tidak hanya berdampak pada peningkatan hasil panen, tetapi juga membuka peluang ekowisata. Rumah Silaban yang dianggap unik, kini menarik minat pengunjung untuk melihat langsung burung hantu di habitatnya.
“Olehnya, Desa Sumberharjo kini menjadi contoh nyata bagaimana inovasi sederhana berbasis ekologi dapat memberikan dampak besar bagi masyarakat,” tutur Bahron.
Dengan kolaborasi antara pemerintah desa, JOB Tomori, dan masyarakat, sambungnya, budidaya burung hantu tersebut membuktikan bahwa solusi berbasis alam dapat menjadi andalan dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan.
“Desa Sumberharjo kini menjadi inspirasi bagi daerah lain yang menghadapi tantangan serupa,” tandas Bahron. */PAR