Proses penutupan ruas Kebun Kopi dimulai sejak tanggal 28 Juni 2025 yang direncanakan berakhir tanggal 28 Oktober 2025 mendatang. Momentum tersebut dimanfaatkan para penjaja makan di tepi palang bambu, berikut ceritanya.
MOH. MISBACHUDIN – WARTAWAN MERCUSUAR
Lapak sederhana berbahan kayu, balok tua, dan terpal berjejer di KM 9 jalan Trans Sulawesi jalur Kebun Kopi ruas Palu-Parigi. Jangan ditanya soal lantainya, pastinya tanah yang masih ditumbuhi rumput. Kalaupun ada penjualnya yang rajin, pastinya hanya diparas seadanya.
Tapi, bicara soal pelayanan, penjaja makanan tahu cara melayani pembeli dalam kondisi outdoor semi darurat. Mereka tetap mengedapankan pelayanan prima, mulai dari permintaan membuat kopi, sampai memasak mie instan. Karena hampir semua penjaja makanan, membawa kompor plus gas tiga kilogram, bersama perabot lainnya.
“Ini baru berjalan kurang dari sebulan, belum bisa kita hitung untungnya yang banyak. Tapi, Alhamdulillah, ada lah depe untung sedikit,” kata Sofyan, salah seorang pedagang, belum lama ini.
Ditemani kopi buatannya, Sofyan sedikit curhat tentang dua ‘kutub’ yang berbeda laba, saat palang jalan diturunkan selama kurun empat jam pada pukul 08.00 hingga 12.00, serta pukul 13.00 sampai 17.00.
Katanya, untuk penjual yang berada di jalur dari arah Parigi pendapatannya sedikit. Makanya, jumlah lapak di KM9 tidak sampai 20 petak, bahkan ada beberapa lapak yang sudah dibuat namun masih kosong.
Menurut Sofyan, salah satu alasannya adalah karena jarak palang di KM9, hanya berjarak cukup dekat dengan penjual lalampa di Desa Toboli Barat. Sekadar informasi, jalur KM9 masih berada di wilayah Desa Toboli Barat, Kecamatan Parigi Utara.
Atas kondisi tersebut, kebanyakan kendaraan baik roda dua maupun empat, lebih memilih waktu buka jalan di jejeran warung lalampa. Terlebih lagi, jika jadwal tutup pukul 13.00—17.00, sangat sedikit yang menunggu di atas.
“Karena begini, setelah jalan dibuka jam 5 sore (17.00), sudah tidak ada lagi jam tutup jalan sampai besok jam 8 pagi (08.00). Artinya, tidak ada lagi khawatir kehabisan waktu menunggu, karena sudah dibuka sampai besok,” ujar Sofyan.
Hal itulah menurut Sofyan lagi, yang membuat laba penjual cukup seret.
Namun, kalau penutupan jalan di pukul 08.00—11.00, jumlah pengendara yang mengantre lumayan banyak, karena pengendara khawatir kehabisan waktu akibat antrean panjang.
Berbeda cerita dari penjaja makanan yang berlokasi di palang pintu dari arah Palu atau Kabupaten Donggala, tepatnya di sekitaran KM11. Penjaja makanan mendapatkan laba yang lebih ‘gacor’ karena kendaraan dipastikan mengantre panjang.
Hal itu karena jarak lokasi yang lumayan jauh dari Kota Palu. Pengendara dan penumpang akan kelaparan jika menunggu selama empat jam sampai palang diangkat.
“Alhamdulillah, saya saja yang hanya bawa jajanan sambil jalan, bisa dapat sampai 200 ribu, bahkan lebih,” kata Rosna, salah seorang pedagang lainnya.
Bahkan, kata Rosna lagi, kebanyakan pengendara yang membeli dagangannya adalah yang mengantre pada jadwal tutup jalan pukul 13.00—17.00, karena lebih memilih menunggu di lokasi tutup jalan.
“Mungkin, kebetulan jam makan siang. Jadi banyak yang lapar,” seloroh Rosna.
Yang menarik, kata Rosna, ketika jalan ditutup dan di saat yang bersamaan lokasinya diguyur hujan lebat, hawa dingin dan angin kencang, sebagian besar pengendara langsung menyerbu lapak, pesan kopi dan mie instan.
“Jangan ditanya, torang pe jagung rebus, langsung selesai semua. Alhamdulillah, rejeki hujan lebat,” kata Rosna.
Keberadaan Rosna maupun Sofyan, dua penjaja makanan yang menangguk untung pada proses buka-tutup jalan, bersama penjaja makanan lainnya, sangat membantu pengendara yang kelaparan karena menunggu jadwal buka jalan. ***