SIGI, MERCUSUAR – Direktur Pengembangan Produk Unggulan Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) RI, M. Fachri melakukan peninjauan terkait hilirisasi produk kakao berbasis desa, di Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, pada Minggu—Senin (4—5/8/2024).
Peninjauan tersebut turut dihadiri Direktur PT MARS Symnioscience Indonesia, JB Cocoa, Dinas Perkebunan Sigi, Badan Riset dan Inovasi Daerah Sulteng, Camat Palolo, Kepala Desa Karunia dan Kepala Desa Sintuwu. Rombongan meninjau dan melakukan diskusi terkait dengan upaya hilirisasi produk kakao berbasis desa yang akan dimotori oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Dalam kesempatan itu, Fachri menyatakan bahwa Dana Desa harus digunakan untuk mendorong produk unggulan yang sesuai dengan potensi masing-masing desa,
“Jangan usaha desa atau BUMDes itu latah, dan hanya terbatas pada usaha simpan pinjam atau sewa tenda. Harus ada dorongan dana desa untuk produk kakao, apalagi Sulawesi Tengah ini menjadi produsen terbesar Kakao di Indonesia,” tegas Fachri.
Menurut data BPS tahun 2022, Sulteng tercatat sebagai produsen kakao tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 130.836 ton atau 20,11 persen dari produksi nasional, diikuti Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 104.616 ton dan Sulawesi Tenggara sebesar 86.920 ton.
Fachri juga menyampaikan bahwa model agroforestry merupakan model yang tepat, di mana tidak hanya komoditas kakao saja yang dapat dikembangkan, tetapi komoditas lain seperti pisang, durian, alpukat dan tanaman lain dapat membantu petani dalam meningkatan produktifitasnya, menuju desa mandiri benih, pupuk dan mendorong keterlibatan pemuda.
“Ini, kan, sudah ada contoh keberhasilan pembibitan dan pemuda, maka kita ciptakan pembibitan dan pemuda-pemuda baru di tempat lain,” ujarnya.
Fachri menambahkan bahwa tata kelola produk unggulan kakao perlu didorong melalui kerja sama multistakeholder. Atau dengan mendorong pembentukan Asosiasi Desa Penghasil Kakao. Hal itu, menurutnya, akan mempercepat hilirisasi kakao berbasis desa yang akan menciptakan desa mandiri benih berkualitas, dan meningkatkan sumber daya manusia serta perekonomian Desa melalui BUMDes.
“Apalagi kakao merupakan produk unggulan strategis Indonesia yang setara dengan sawit, juga merupakan satu dari empat produk unggulan yang dicanangkan oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah,” imbuh Fachri.
Ia menyebutkan, saat ini Indonesia masih mengimpor sekira 300 ribu ton kakao per tahun, yang berarti pasar domestik masih belum tercukupi, sehingga desa harus mampu menangkap peluang tersebut untuk meningkatkan perekonomiannya.
Direktur PT MARS Symbioscience Indonesia, Fay Fay Choo menambahkan bahwa model yang tepat dalam pengembangan kakao di Sulteng, ialah model pemberdayaan partisipatif dengan melibatkan kelompok tani, perempuan dan pemuda.
“Sehingga tidak hanya meningkatkan pendapatan petani saja tetapi juga perempuan dan pemuda,” kata Fay. */AJI