PALU, MERCUSUAR-Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura diminta menonaktifkan seluruh pejabat yang terlibat dugaan suap jabatan.
Hal itu disampaikan praktisi hukum, Edmond Leonardo Siahaan, Minggu (8/5/2022).
Selain itu, mantan Koordinator Kontras Sulteng itu mendorong penyelesaian dugaan suap jabatan melalui proses hukum.
“Saya kira langkah yang harus dilakukan Gubernur secepatnya adalah membuat laporan resmi kepada Polda atau Kejati Sulteng, apabila terjadi praktek pemalsuan tandatangan dan lain-lain termasuk praktek jual beli kotak jabatan di Pemerintah Provinsi Sulteng,” kata Edmond.
Langkah lainnya kata Edmond, membatalkan Surat Keputusan (SK) yang telah ditetapkan.
“Langkah ini harus dilakukan karena ternyata ada masalah hukum yang kemudian muncul, masalah hukum yang menurut saya harus diproses secara hukum yaitu gratifikasi, suap dan pemerasan,” ujarnya.
Gubernur Sulteng lanjut Edmond, dapat membatalkan SK tersebut karena dalam Hukum Tata Usaha Negara (TUN) dikenal Asas Contrarius Actus. Asas ini menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya.
“Setiap pejabat TUN ketika mengetahui Keputusan TUN yang diterbitkan bermasalah, ia dapat memperbaiki atau membatalkan secara langsung tanpa harus menunggu pihak lain keberatan atau mengajukan gugatan,” terang Edmond.
Menurut Edmond, dalam dugaan kasus memperjualbelikan kotak jabatan Eselon III dan Eselon IV pada Pelantikan 28 April 2022 lalu adalah tindak pidana gratifikasi, suap dan pemerasan.
“Sebagaimana yang tercantum dalam UUD Nomor 31 Tahun 1999 dan Jo. UU 20 Tahun 2001, korupsi memiliki sebanyak tujuh cabang, diantaranya adalah kerugian negara, penggelapan jabatan, perbuatan curang, pemerasan, gratifikasi, suap-menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan tindak pidana lain yang berhubungan dengan korupsi. Jadi tindak pidana jual beli jabatan yang telah terjadi itu harus diproses hukum, karena patut diduga telah terjadi gratifikasi, suap, dan pemerasan,” ujarnya.
“Langkah selanjutnya, selain membatalkan SK yang telah dikeluarkan, menurut saya, semua orang atau pejabat yang terlibat harus segeradinonaktifkan secepatnya dalam beberapa hari ke depan agar proses hukum dapat dilakukan. Karena kalau kita mau mengharapkan para korban untuk melapor ke Tipikor atau KPK, pasti kecil kemungkinan. Kenapa? karena dalam tindak pidana gratifikasi pemberi juga diancam dengan hukuman pidana,” tegas mantan anggota DPRD Sulteng itu.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana. TMU