GEJALA sosial dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, serta muncul karena pengaruh perilaku masyarakat. Hal itu bisa saja sejalan dengan nilai dan norma, tapi sebaliknya dapat mengganggu ketertiban masyarakat.
Oleh: Dra Hj Kaokabah M.Pd
Banyaknya ditemukan perilaku yang tidak sesuai nilai dan norma, diantaranya tawuran pelajar, pelanggaran lalu lintas dan masih banyak yang lain. Kebiasaan tersebut merupakan perilaku menyimpang,
Perubahan yang dialami oleh masyarakat dapat dipicu oleh berbagai gejala sosial, diantaranya globalisasi yang merupakan salah satu bentuk gejala sosial.
Piotr Stompka mengartikan globalisasi sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal, sehingga masyarakat seluruh dunia menjadi saling terhubung di semua aspek kehidupan. Dalam proses globalisasi itu, tedapat interaksi antarmasyarakat atau kelompok dalam lingkup global. Interaksi antarmasyarakat atau kelompok merupakan unsur penyebab terjadinya gejala sosial, termasuk didalamnya perilaku individu yang menyebabkan perilakunya bisa positif maupun negatif.
Perilaku menyimpang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu penyimpangan positif dan penyimpangan negatif.
Kali ini kita akan fokus membahas penyimpangan positif. Penyimpangan positif merupakan penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang didambakan meskipun cara yang dilakukan menyimpang dari norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya seorang ibu menjadi buruh bangunan, berkebun atau pekerjaan lain yang harusnya dikerjakan pria.
Meskipun untuk zaman sekarang masyarakat sudah memakluminya, namun disinilah kita harus mampu menyikapi pergeseran peran tersebut.
PERGESERAN PERAN
Dalam kehidupan sehari-hari bisa dilihat bergesernya peran seseorang yang tidak seharusnya (menyimpang) melekat pada dirinya. Perannya merujuk pada kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sehubungan dengan kedudukan atau statusnya.
Seperti seorang wanita yang tugas harusnya menjadi ibu rumah tangga, juga mampu bekerja diluar tanpa melupakan tugas utamanya sebagai seorang istri maupun ibu dari anak-anaknya. Bahkan harus mampu mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan laki-laki, tanpa memikirkan kesehatan maupun keamanan karena lebih mementingkan kehidupan keluarganya.
Pergeseran peran menunjukan adanya perubahan terhadap kegiatan yang dilakukan individu (wanita ) selama itu masih wajar terutama tidak bertentangan norma yamg berlaku di masyarakat.
Wanita secara umum lemah lembut jauh dari kekuatan. Namun mempuyai kekuatan jiwa maupun fisik, hingga mampu mengerjakan dua peran bahkan lebih. Dibalik kelembutan wanita bisa mengerjakan segala hal yang sebahagian laki-laki tidak mampu kerjakan. Hal itu banyak ditemukan saat ini, dimana wanita mempunyai peran ganda, disamping sebagai ibu juga melakukan pekerjaan sebagai Polisi, di bank, kantor, supir, guru dan masih banyak pekerjaan lainnya.
Hal itu juga tercatat dalam sejarah, dimana wanita mempunyai peran luar biasa baik itu sejarah Islam maupun sejarah terbentuknya negara Republik Indonesia.
Sejarah Islam sudah terbukti Asma Binti Assiddik seorang gadis yang membantu nabi ketika hijrah dengan mengantarkan makanan, dengan ancaman jiwa maupun kehormatannya. Sementara sedangkan sejarah kemerdekaan NKRI tidak sedikit wanita mempunyai peran, salah satu contoh RA Kartini.
Dalam pergeseran peran ini penulis berbagi pengalaman pribadi saat bencana gempa berkekuatan 7,4 SR melanda Kota Palu, Sulteng.
Penulis merasa disinilah peran sebagai istri maupun ibu mempuyai andil yang cukup besar Ketika itu penulis mengalami luka sehingga sempat dirawat di Rumah Sakit Wirabuana selama tiga hari, namun masih mengantar para tentara ke bandara untuk keperluan masyarakat yang terkena bencana. Hal itu dilakukan karena kendaraan saat itu langkah, akibat banyak masyarakat yang tidak berani beraktifitas sebab jalan rusak.
“Saya tidak habis pikir dengan keadaan luka ketika salah satu komandannya meminta untuk memuat anggotanya sebanyak tujuh orang ke bandara yang jaraknya kurang lebih empat kilometer. Walaupun mereka menawarkan untuk menyetir namun saya berpikir untuk tetap menyetir. Mereka bertujuh di belakang, sedangkan aku bersama anak saya yang berumur 11 tahun di depan,” ujarnya.
“Saya nekat membawa mereka ke bandara, meskipun berdesakan. Namun saya puas setelah mengantar mereka dengan selamat. Setelah kembali ke rumah saya berpikir untuk meninggalkan Kota Palu sementara waktu, karena keperluan yang paling utama sangat susah kami temukan untuk kelansungan hidup terutama air, lampu, bahan bakar dan makanan. Atas pertolongan keluarga dari Palopo (Sulawesi Selatan) membawakan kami bahan bakar sehingga kami sekeluarga berangkat meninggalkan Kota Palu menuju Palopo,” lanjutnya.
Begitu banyak rintangan dan perjuangan yang ditempuh selama perjalanan, namun begitu besar rasa empati saudara-saudara lintas provinsi yang ada di jalan mulai dari Provinsi Sulawesi Barat hingga Sulawesi Selatan yang selalu menyuguhkan makanan sepanjang jalan. “Alhamdulillah tiba dengan selamat di palopo. Setibanya di Palopo saya lanjut berobat. Namun satu minggu kami di Palopo belum mendapat hasil yang maksimal dengan luka saya. Olehnya itu kami nekad berangkat ke Makkassar, sekaligus mengantar ibu saya untuk dibawa ke Jakarta oleh adik,” ujarnya.
“Dan merasa percaya diri untuk menyetir sendiri kendaraan walaupun sebenarnya suami bisa, namun ada keterbatasan penglihatan. Setelah sampai di Makassar yang jaraknya kurang lebih 920 kilometer, saya lanjut berobat dan di periksa dengan baik bahkan sempat di buka jahitan luka,” sambungnya.
Walau tidak maksimal disebabkan luka masih ‘basah’, selama tiga hari kami persiapkan kembali ke Palu. “Lagi-lagi aku nekad menyetir sendiri sampai ke Palu tanpa diganti dengan luka yang belum sembuh. Alhamdullilah kami bertiga tiba dengan selamat,” tuturnya.
Di Palu kami mempersiapkan kedatangan tim peneliti dari Unriyo Yogyakarta berjumlah enam orang yang membawa keperluan balita.
Mereka yang kebetulan menginap di rumah, kami membantu sesuai kemampuan.
Sebagai ibu, penulis tidak lupa menjalankan kewajiban sebagai seorang guru. Walaupun sarana yang sangat terbatas saat proses mengajar di tenda-tenda. “Terima kasih tak terhingga kepada teman-teman guru sosiologi di lingkungan Kemenag se Indonesia yang sangat empati dengan keadaan kami. Semoga kebaikan teman-teman mendapat balasan dari Allah SWT aamiin,” tuturnya
Penulis merasa bahwa pergeseran peran untuk wanita tidaklah mudah jika dijalani dengan keterpaksaan. Namun jika dijalani dengan hati yang ihklas serta kemampuan, maka Insya Allah terlaksana dengan baik.
Penulis berharap dengan pergeseran peran yang sering terjadi saat ini memungkinkan bahkan meringankan pekerjaan laki-laki terutama pasangan. Namun perlu diingat peran tersebut tidak membuat wanita bangga bahkan dapat menguasai pasangannya. Terpenting peran tersebut tidak melanggar nilai dan norma. ***