PALU, MERCUSUAR – Pemulihan psikososial sebagai upaya pengurangan resiko bencana di lingkungan sekolah, menjadi aspek yang saat ini masih belum tersentuh, dalam proses pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah (Sulteng). Pemulihan di bidang infrastruktur dan jaminan hidup, masih menjadi perhatian utama, dibandingkan upaya pemulihan psikososial dan pengurangan resiko bencana.
Kenyataan ini mendasari pihak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Perwakilan Sulteng, bersama Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jogja, Pusat Studi Kebencanaan UPN Veteran Jogja, Yayasan Kappala Indonesia serta Sampoerna untuk Indonesia yang tergabung dalam ‘Rumah Bersama Relawan’, menggagas Pelatihan Psikososial Untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sekolah. Kegiatan ini dilaksanakan selama tiga hari, dari 9-11 Juli, bertempat di Kantor Komnas HAM Perwakilan Sulteng, dan diikuti oleh belasan guru dari sejumlah sekolah setingkat SMA di Kota Palu dan Kabupaten Sigi.
Gendon dari Yayasan Kappala menjelaskan, dari pelatihan ini diharapkan para guru mampu menjadi agen pemulihan trauma pascabencana di lingkungan sekolah. Menurutnya, sekolah memegang peranan penting dalam proses pemulihan pascabencana bagi siswa, di mana selama ini aspek tersebut belum mendapat perhatian serius, dalam proses pemulihan pasca bencana.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Dedy Askari menjelaskan, dalam fase hampir 10 bulan pascabencana, aspek pemulihan psikososial masyarakat terdampak bencana belum tersentuh, sehingga kehadiran Rumah Bersama Relawan ini, dengan guru sebagai sasaran pelatihan psikososial, menjadi penting untuk memulihkan mental peserta didik. Guru kata dia, punya peran penting dalam proses pemulihan trauma pascabencana di sekolah, sehingga untuk itu, guru penting untuk diberikan peningkatan kapasitas tentang pemulihan psikososial pascabencana.
Tiwi (28), salah seorang peserta dari SMA Nusantara, yang terletak di Desa Kabobona, Kabupaten Sigi, menyebut pelatihan ini penting untuk pemulihan trauma siswa. Pihaknya menyebutkan, sebelum bencana 28 September 2018, tidak ada pelatihan tentang kebencanaan yang dilakukan, baik oleh pemerintah, maupun lembaga non pemerintah di sekolah. Pelatihan atau sosialisasi tentang kebencanaan kata dia, baru mulai masif dilakukan di sekolah-sekolah, setelah bencana terjadi.
“Jika selama ini pemulihan mental dilakukan langsung ke siswa, di pelatihan ini, kami para guru yang diharapkan jadi agen pemulihan mental siswa, karena proses pemulihan akan lebih mudah, jika dilakukan oleh orang terdekat siswa di sekolah, yakni guru,” ujarnya. JEF