PALU, MERCUSUAR – Masyarakat Kota Palu diingatkan untuk tidak mendirikan bangunan di Zona Rawan Bencana (ZRB), karena akan akan memberikan dampak kerusakan yang lebih besar lagi di masa yang akan datang.
Hal itu ditegaskan oleh Kepala Stasiun Geofisika BMKG Sulteng, Sujabar, saat menjadi narasumber di acara coffee morning Refleksi 7 Tahun Gempa Palu, yang digelar DPW PKS Sulteng, di Palu, Sabtu (27/9/2025).
Sujabar menyebut, kewaspadaan tersebut perlu diingat, karena usai pelepasan energi, sebuah sesar akan kembali berguncang dengan skala yang lebih besar dari sebelumnya.
“Zona merah atau rawan bencana banyak kita lihat dari beberapa bangunan yang mengalami penurunan muka tanah atau downlift, kemudian bangunan retak, karena kemungkinan yang dilewati patahan. Lalu yang paling merah, adalah lokasi bekas likuefaksi serta bibir pantai,” urai Sujabar.
Ia menyebutkan, kehadiran bangunan yang rusak berat di ZRB menjadi penanda bagi warga, agar tidak lagi membangun di lokasi tersebut. Sujabar mengulas kejadian tujuh tahun lalu, sebagian warga yang tewas karena berada di sekitar ZRB, baik tertimpa bangunan runtuh, terseret tsunami, maupun tertimbun likuefaksi.
Sebelum bencana pada 28 September 2018 silam, ia mengingatkan bencana sebelumnya sudah pernah terjadi, namun karena rentang waktu cukup lama sehingga bisa saja “terlupakan”. Hal itulah, menurutnya, yang membuat ZRB harus dihindari, termasuk membangun gedung yang melebihi empat lantai. Saat gempa berkekuatan 7,4 SR mengguncang pada tujuh tahun lalu, bangunan di ZRB menjadi luluh lantak dan memakan korban.
Dia juga menjelaskan, Pulau Sulawesi terbentuk dari pergerakan empat lempeng besar dunia, yang kemudian menyatu di satu titik. Hal itu bisa dilihat dari karakteristik pulau Sulawesi, termasuk Sulteng, yang memiliki banyak gunung dan kaya kandungan mineral.
“Khusus Kota Palu, struktur tanahnya berbahan batuan lunak, pasir dan air, barulah kemudian tanah lempung dan batu keras. Di sinilah letak rawannya, kenapa tidak boleh membangun bangunan dengan struktur yang menjulang. Karena ibaratnya segenggam tepung diletakkan di atas air. Saat diam, tepung akan aman terapung, tapi saat adanya guncangan maka tepung akan tenggelam atau larut,” urainya.
Menurutnya lagi, getaran gempa akan lebih besar skalanya jika memasuki areal yang lembek atau berair. Dengan durasi yang cukup lama, akan memunculkan likuefaksi yang terjadi di Kelurahan Balaroa, Kelurahan Petobo, serta Desa Jono Oge. Ditambah dengan struktur batuan keras yang miring, maka terjadilah fenomena tanah bergerak.
“Lihat fenomenanya, kenapa likuefaksi berhenti sebelum sampai ke Kelurahan Kabonena, padahal lokasi itu berdekatan. Ternyata hal itu disebabkan adanya struktur batuan keras yang kemudian meredam getaran likuefaksi,” ungkap Sujabar.
Dengan gambaran tersebut, Sujabar berharap warga bisa menyadari tentang artinya mitigasi bencana, hingga pada masa mendatang dapat meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan kerusakan bangunan. Namun, ia menegaskan hal itu hanya sekadar saran kepada warga, kebijakan selanjutnya kembali ke pemerintah terkait penegasan pemberian izin membangun.
“Kami hanya memberikan dukungan, di antaranya memberikan gambaran tentang zona lengkap dengan petanya, semuanya bisa diunduh di aplikasi kami, dan tentunya gratis,” tandasnya. MBH






