TALISE VALANGGUNI, MERCUSUAR – Semakin dekatnya tahun politik, disinyalir akan semakin banyak izin-izin pertambangan baru yang bakal diterbitkan pemerintah. Konflik antara masyarakat dan investasi ini pun bakal kerap terjadi, bahkan bisa menyebabkan korban jiwa, seperti almarhum Erfaldi, di Kabupaten Parimo.
Hal itu terungkap dalam Diskusi dan Pemutaran Film Tanah Emas “Erfaldi dan Potret Buram Konflik SDA di Sulawesi Tengah”, Sabtu (4/3/2023). Diskusi sekaligus pemutaran film dokumenter yang digagas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu ini, menghadirkan dua pembicara, yakni Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng dan Praktisi Hukum, Adi Prianto SH.
Dalam paparannya, Direktur Jatam Sulteng menyampaikan, sejak 2018 hingga 2019, Jatam sudah melakukan studi, bahwa sejumah perusahaan tambang yang ada di Sulteng, ikut melakukan pendanaan kampanye bagi sejumlah kandidat kepala daerah. Maka tidak heran, sejumlah izin usaha pertambangan, saat itu lahir tahun 2020, yang juga merupakan tahun politik.
“Ini juga terjadi di Parmout, di mana sekitar 15 ribu lahan warga di Tinombo Selatan, masuk seagai konsensus PT Trio Kencana, yang bakal disulap sebagai area pertambangan,” terang Taufik, saat diskusi berlangsung di Sekretariat Relawan Orang dan Alam (ROA), Jalan Lagarutu, Palu.
Senada dengan Taufik, Adi Prianto juga mengamini, bahwa investasi SDA yang masuk berpotensi konflik dengan masyarakat dan pasti akan ada korban. Korbanya juga pasti rakyat. Untuk itu kata dia, posisi keberpihakan pemerintah seharusnya ketika konflik terjadi ada pada rakyat. “Namun yang terjadi saat ini, pemerintah memang sedang mengejar investasi sebanyak-banyaknya untuk peningkatan fiskal. Kami sudah ingatkan, bahwa konflik juga akan semakin banyak, tapi kemajuan daerah juga menjadi alasan,” terangnya.
Mendekati tahun politik ini pun, dia memastikan akan banyak tambang baru yang masuk, sehingga konflik-konflik baru seperti di Parmout akan terjadi.
Terpisah, Ketua AJI Palu, Yardin Hasan menyampaikan, AJI Palu terpanggil untuk membuat diskusi dan juga pemutaran Film Dokumenter Tanah Emas, yang berkaitan dengan kasus Erfaldi, karena melihat ada ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat, khususnya di wilayah Parimo. Konflik sumber daya alam yang terjadi di Sulteng, kata dia selalu memposisikan rakyat dipaksa untuk kalah.
“Kami terpanggil untuk membuka cakrawala para mahasiswa termasuk jurnalis dan teman-teman pergerakan lainnya, bagaimana kejahatan lingkungan di Sulteng yang berbalut investasi yang kemudian merampas hak masyarakat. Kini, setiap jengkal lahan kita di Sulteng dibayang-bayangi oleh yang namanya investasi,” tegasnya.
Sementara itu, Sutradara Film Dokumenter Tanah Emas, Rahmadiyah Tria Gayatri menjelaskan, bahwa Film Tanah Emas yang dibuat pada mulai 2020 lalu yang merupakan Project Seni dari Cemeti Institut. Dalam Film mengangkat fakta ragam peristiwa emas dari hulu hingga hilir di Sulawesi Tengah. Di mana ada sisi kelam, dalam proses produksi emas, yang bahkan sampai memakan korban. */CR1