DONGGALA, MERCUSUAR – Pascabencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi 28 September 2018 sebagian besar wilayah Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (Padagimo) terdampak, sertahampir tidak ada warga yang memiliki kesiagaan.
Belajar dari pengalaman bencana itu, sekelompok anak muda di Desa Toaya, Kecamatan Sindue, Donggala mulai bergerak dengan membentuk kelompok bernama Tana Sanggamu (bahasa Kaili) artinya Segenggam Tanah.
Mereka ini sebelumnya sudah berhimpun sebagai bagian dari Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) yang mengelola posko-posko pengungsian di Toaya dan sekitarnya. Setelah masa tanggap darurat selesai, mereka membentuk Kelompok Tana Sanggamu.
Ade Nuriadin, salah seorang penggagas komunitas itu mengatakan bahwa anak-anak muda menjadi salah satu kelompok yang membangun kesadaran ditengah komunitas bahwa pentingnya mempersiapkan diri dalam menghadapi kemungkinan bencana di masa mendatang.
Salah satu yang dilakukan Tana Sanggamu adalah membangun kembali kesadaran pentingnya mengembalikan desa mereka sebagai wilayah yang memiliki sumber bahan pangan sendiri.
Olehnya, ia bersama kawan-kawannya mulai mengajak anak muda, kelompok perempuan dan kelompok tani di Desa Toya untuk menanam sayuran organik.
Dibantu beberapa orang yang berpengalaman dalam pertanian organik, mereka mulai memproduksi pupuk organik sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di Toaya.
Tanaman pertama yang ditanam komunitas Tana Sanggamu adalah kacang tanah, dengan mengolah lahan seluas seperempat hektare yang dipinjamkan warga. Selain kacang, juga ditanam cabe.
“Saat panen, hasilnya cukup baik,” katanya.
Dijelaskan Ade bahwa pihaknya memilih memulai kesiapan warga dengan kembali menggiatkan pertanian di desa tidak lepas dari pengalaman saat bencana 28 September itu.
Pada hari ketiga setelah bencana, persediaan makanan sudah habis dan distribusi makanan saat itu ‘lumpuh’.
Di kota Palu terjadi penjarahan di toko-toko penjual bahan makanan ikarena sumber makanan warga semuanya berasal dari luar wilayah. “Menanam tanaman organik adalah cara untuk mengembalikan kesehatan tanah. Kalau tanah sudah sehat maka otomatis hasil tanaman juga semakin baik, tanah tidak rusak. Ini salah satu cara untuk meningkatkan kesiagaan kita jika bencana terjadi dari sisi pangan,” jelas Ade.
Selain menggiatkan kembali bertani di tengah warga khususnya anak muda, tahun 2019 lalu komunitas Tana Sanggamu melakukan survei geospasial dan sosial di Desa Toaya untuk mendapatkan gambaran keadaan geografi dan kondisi sosial masyarakat pascabencana. Dari pendataan itu ditemukan bahwa ternyata banyak warga yang tidak lagi memiliki pengetahuan kebencanaan dan kehilangan sumber mata pencaharian.
Kemudian dicoba lakukan diskusi dengan kelompok tani di desa dan mendampinginya untuk memulai kembali bertani dengan memanfaatkan lahan-lahan yang tidak terlalu luas untuk ditanami kembali. “Menanam bahan kebutuhan makanan ini diharapkan bisa juga mengurangi biaya hidup sehari-hari warga,” jelasnya. HID