PALU, MERCUSUAR – Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulteng, Dr Hasanuddin Atjo menilai pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulteng pada tahun 2019 dapat dikatakan membanggakan, karena mencapai angka 7,15 persen.
Namun hal itu belum selaras dengan penurunan angka kemiskinan yang juga dinilai masih cukup tinggi, yakni sekitar 13,78 persen.
“Angka itu mendudukkan Sulteng di peringkat ke-26 dari 34 Provinsi,” katanya, medio pekan lalu.
Menurut Hasanuddin Atjo, skenario solusi terhadap kondisi tersebut telah dipersiapkan oleh pemerintah melalui perubahan Rencana Jangka Panjang Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021; Rencana Kerja pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2021 dan Rancangan Teknokratik RPJMD tahun 2021-2026. “Kisi-kisi terkait dengan skenario untuk keluar dari kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan telah dirancang berbasis data Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2019,” ujarnya.
Dijelaskannya, berdasarkan nilai IDM tahun 2019, Sulteng yang terbagi atas 13 kabupaten dan kota, 166 kecamatan dan 1.842 Desa. Jumlah desa dengan status sangat tertinggal sebanyak 140 desa (7,60 persen), kemudian status tertinggal 952 desa (51,56 persen), berkembang sebanyak 696 desa (37,78 persen), maju sebanyak 53 desa (2,88 persen) dan berstatus mandiri satu desa (0,054 persen).
IDM, katanya, merupakan indeks komposit yang diperoleh dari rata-rata nilai indeks ketahanan sosial, ketahanan ekonomi dan ketahanan ekologi atau lingkungan. Perhitungan tersebut menghasilkan nilai yang memberi status desa yang diukur. Yaitu desa sangat tertinggal nilai IDM lebih kecil atau sama dengan 0,4907; kemudian desa tertinggal antara 0,4907-0,5989; desa berkembang antara 0,5989-0,7072; desa maju antara 0,7072-0,8155; dan desa mandiri IDM lebih besar dari 0,8155.
Ia menjelaskan, skenario yang bisa dilakukan untuk mengurangi angka kemiskinan serta peningkatan IDM di Sulteng, dapat dilakukan melalui dua langkah. Yang pertama adalah intervensi program seperti bantuan sosial, subsidi dan pemanfaatan dana desa. Yang kedua adalah mendorong investasi swasta, termasuk memberi peran kepada Budan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Berdasarkan data IDM tahun 2019, maka program intervensi pemerintah sebaiknya lebih diprioritaskan kepada desa yang berstatus sangat tertinggal dan tertinggal, yang jumlahnya masih cukup tinggi dari seluruh desa di Sulteng.
Sedangkan untuk program yang berkaitan dengan investasi swasta, dapat lebih diarahkan pada desa yang berstatus berkembang. Contohnya program pengembangan smart village, desa cerdas dengan smart program di bidang produksi dan olahan seperti smart farming, tourism, handy craft dapat menjadi pilihan yang strategis. “Dengan skenario seperti yang dibahas tersebut, maka jumlah desa sangat tertinggal dan tertinggal akan bergerak ke status desa berkembang, dan selanjutnya desa berkembang bergeser ke desa maju dan mandiri. Bila ini dapat diimplementasikan dengan baik karena pemahaman dan komitmen yang tinggi dari pemimpin daerah, maka bisa dipastikan harapan kemiskinan tembus di angka satu digit di 2024 dapat direalisasikan,” pungkasnya. IEA