Pasangan Maxi Goro dan Marselina Kokene warga desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah juga merasakan apa yang dialami Afifah Abdulah
Laporan: Kartini Nainggolan/Mercusuar, Desi Triana/Tribun Sultra, Yunita Kaunar/Kalaesang.id
Marselina, menyampaikan bahwa profesi utamanya tidak hanya sebagai petani, tetapi juga sebagai nelayan. Ia memiliki dua kebun di Desa Gemaf, namun kedua kebun tersebut telah masuk dalam konsesi tambang milik PT IWIP. Karena itu, ia dan suaminya sering mengalami intimidasi dari pihak perusahaan tambang dan oknum TNI yang mengawasi wilayah perairan dan darat yang terlibat dalam aktivitas tambang.
Suaminya, Maxi Goro yang juga seorang petani dan nelayan, membenarkan pengalaman yang sama. Keduanya memiliki profesi yang serupa, dan sejak perusahaan tambang beroperasi di Weda Tengah, keluarga mereka sudah sepuluh kali didatangi oleh pihak perusahaan untuk bernegosiasi mengenai pelepasan lahan dan kebun mereka.
Maxi menyatakan bahwa kebun miliknya memiliki sertifikat yang lengkap dan sah secara negara. Meskipun luas lahan miliknya mencapai 14 ribu lebih, namun saat ditawar oleh perusahaan tambang, mereka hanya diberikan 11 ribu, perbedaan yang sangat signifikan.
Maxi menyatakan bahwa dampak yang terjadi di laut sangat bervariasi. Selain jangkauan mendapatkan ikan yang semakin jauh dari pesisir laut, kesulitan dalam mencari ikan juga semakin dirasakan.
Sebelum aktivitas tambang, kegiatan memancing hanya memerlukan biaya bahan bakar minyak (BBM) sekitar Rp50 ribu, dan hasilnya bisa membawa pulang banyak ikan karena pancing dilakukan di sekitar pesisir pantai.
Namun, kini, biaya untuk memancing meningkat menjadi sekitar Rp250.000, namun hasilnya tidak sebanding dengan pengeluaran tersebut.
“Kalau lagi nasib baik dapat ikan, kalau tidak ya tidak dapat apa-apa,” kata Maxi.
Dampak lain yang dirasakan adalah tumpahan minyak dari kapal-kapal besar, yang juga menghambat hasil tangkapan ikan. Apalagi warga Desa Gemaf, Lelilef, dan Sagea mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan petani.
“Warga yang sudah tidak memiliki tanah maka otomatis semua kembali jadi nelayan, kalau tidak, kita mau makan apa?,” ujarnya.
TAMBANG HADIR, ISPA MENINGKAT
Inerson (29) Warga Desa Lelilef Sawai Kecamatan Weda Tengah Maluku Utara, saat dijumpai, mengaku soal debu karena aktivitas tambang di Weda Tengah ini, sudah menjadi pemandangan yang urgen.
“Kami di sini, setiap hari menerima debu, tak hanya di jalan utama yang terlihat debu tebal hingga di kamar tidur, dapur piring semua penuh dengan debu, tak ada lagi udara bersih yang dapat dihirup di Desa Lelilef. Di mana mau dapat udara bersih di Lelilef ini so tara ada, sama sekali,”kata Inerson.
Memasuki Desa Lelilef, bagi pendatang baru, pasti bakal mengalami sakit, karena udara yang tidak lagi sehat dan baik untuk setiap orang yang mendiami desa tersebut.
Namun sebagai warga tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa menerima kondisi yang ada, kalian bisa lihat sendiri kondisinya seperti apa.
Marselina menyatakan bahwa dampak aktivitas tambang tidak hanya dirasakan oleh nelayan dan petani, tetapi juga secara langsung mempengaruhi kesehatan anak-anak dan orang tua di wilayah tersebut.
Menurut Marselina, kegiatan tambang dan PLTU di Desa Gemaf menyebabkan sejumlah anak dan orang tua mengalami masalah pernapasan, seperti batuk dan sesak nafas.
“Saya punya cucu itu, lihat saja, batuknya tidak berhenti-henti,” ujarnya.
Kepala Puskesmas Desa Sagea Kecamatan Weda Utara Abdul Basit mengaku, kasus Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA ) di Desa Sagea terus mengalami Peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang terus meningkat dan pola kehidupan masyarakat itu sendiri.
“Kasus terus meningkat tapi saya tidak bisa vonis bahwa itu karena perusahaan, karena sebanyak orang asusu ISPA juga semakin meningkat,”katanya.
Sementara yang dilakukan pemeriksaan dari puskesmas di Sagea, hanya kualitas air, seperti air sumur, air galon. Untuk air sungai sendiri dari puskesmas tidak melakukan pemeriksaan tersebut karena ada bidang lainnya yang memiliki topik di untuk memeriksa kualitas air sungai.
“Dari air sumur dan galon yang kita periksa semua memenuhi baku mutu, dan layak dikonsumsi,”katanya.
Untuk sungai Sagea sendiri, merupakan sungai kelas 2 artinya, dapat dikonsumsi oleh hewan, digunakan untuk tanaman namun tidak digunakan untuk manusia, akan tetapi saya memastikan bahwa 99 persen, masyarakat lokal di Sagea jika Sungai Sagea lagi jernih semua orang pasti mengkonsumsi air tersebut.
“Saya pastikan 99 persen, air yang ada di termur warga lokal itu merupakan air dari sungai Sagea, dan masyarakat tidak kenapa-kenapa karena air ini dikonsumsi sejak nenek moyang mereka, mungkin pemeriksaan dengan ketetapan sungai Sagea sebagai sungai kelas 2 dikarenakan, pengambilan sampel dilakukan setelah banjir sehingga kualitasnya menjadi kelas 2,”bebernya.
Data sungai kelas 2 itu, bukan dari Puskesmas yang menentukan itu penelitian yang dilakukan pihak peneliti. Kami dari puskesmas tidak pernah melakukan penelitian soal kualitas air Sungai Sagea.
Jumlah kasus penderita ISPA pada tahun 2019 sebanyak 282 kasus, tahun 2020 menjadi 291 kasus, tahun 2021 naik menjadi 420 kasus dan tahun 2022 menjadi 644 kasus. (BERSAMBUNG)