Membuat Masker Saat Pandemi, Ketika Karantina Berbuah Kreativitas

FEATURE NOVEMBER
FOTO: Rida saat meluangkan waktunya untuk menjahit masker. FOTO: KARTINI NAINGGOLAN/MS

 

Pagi itu jam masih menunjukan pukul 05.30 Wita, kabut tipis masih menyelimuti bumi. Senyum kecil menyambut kedatanganku dari depan pintu rumah mungil bercat hijau. Memegang sebuah gunting kecil, ia mempersilahkan saya duduk di sebuah kursi kayu yang dikelilingi bunga-bunga kaktus kecil yang seakan ikut tersenyum menyambut kedatanganku.

 Oleh : KARTINI NAINGGOLAN/Jurnalis Harian Mercusuar

Wanita berumur 37 tahun ini sekarang tercatat sebagai salah satu perawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Anutapura Palu. Namun sudah delapan hari terakhir ia terpaksa harus berdiam diri di rumah setelah dua orang rekan kerjanya dinyatakan positif Covid-19. Beberapa orang perawat di rumah sakit tempat ia bekerja juga diminta untuk melakukan karantina mandiri di rumah selama 14 hari.

Sebagai garda terdepan ditengah pandemi Covid-19, profesi perawat di rumah sakit memiliki resiko cukup besar tertular virus yang sudah memakan korban cukup banyak. Rasa ketakutan seringkali dialami, mengingat ia masih memiliki dua orang anak yang harus tetap terlindungi dari Covid-19.

Tak banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang perawat ketika diminta untuk melakukan karantina mandiri di rumah untuk mencegah penularan Covid-19. Namun tidak demikian dengan Elfrida yang akrab disapa Rida ini.

Berbekal satu unit mesin jahit tua pemberian mertuanya, Rida menyulap sisa-sisa kain untuk dijahit menjadi alat pelindung diri (APD) berupa masker penutup mulut dan hidung. Ide ini berawal ketika rumah sakit mengalami kekurangan APD seperti masker untuk perawat. Rida sangat prihatin dengan kondisi rekan kerjanya yang bekerja tanpa APD yang memadai ditengah pandemi Covid-19.

“Sebelumnya kami bisa lebih mudah mendapatkan masker,namun ketika pandemi jatah masker kepada perawat rumah sakit dibatasi sehingga kami harus pintar-pintar menggunakan karena tidak seperti sebelumnya ketika jam dinas berakhir, masker bisa langsung dibuang. Tapi saat pandemi kami harus tetap menggunakan masker di manapun kami berada,” kata Rida.

Awalnya, ia membuat beberapa buah masker yang khusus ia jahit untuk perawat yang bertugas di rumah sakit tempatnya bekerja. Puluhan masker yang di jahit ia bagi-bagikan secara gratis.

“Berdiam diri di rumah sangat membosankan buat saya yang setiap hari berinteraksi dengan pasien di rumah sakit. Untuk mengisi waktu agar tidak bosan dan stres, saya isi dengan hal-hal positif seperti menanam bunga dan menjahit,” ujarnya.

Rida juga bercerita tentang pengalaman yang ia rasakan ketika virus Covid-19 akhirnya mengerogoti tubuh rekan kerja yang sama-sama bertugas dalam satu ruang perawatan. Hari di mana hasil swab test diumumkan, tubuhnya gemetar mendengar kabar itu. Bagaimana tidak, rekan kerjanya yang dinyatakan positif sempat kontak langsung dengan rekan satu ruangan termasuk dirinya.

“Hari di mana hasil swab teman saya keluar saya masih tugas dinas. Saya baru mengetahui saat sudah di rumah setelah lepas dinas. Teman saya mengirimkan pesan singkat melalui aplikasi Whatsapp bahwa satu teman kami positif. Saat ini saya langsung gemetar. Tak bisa membayangkan bila saya juga sudah tertular. Bagimana dengan suami dan anak-anak saya yang sudah kontak langsung dengan saya,” kata Rida.

Esok harinya seluruh perawat di rumah sakit Anutapura, terutama yang kontak langsung dengan dua perawat yang terkonfirmasi positif dilakukan rapid test. Ternyata hasil rapid test-nya negatif, namun untuk menghindari penyebaran perawat-perawat yang kontak langsung dengan pasien diminta untuk lakukan karantina madiri di rumah selama 14 hari.

Karantina mandiri selama 14 hari itu digunakan Rida untuk berkreasi. Dengan sedikit ilmu menjahit yang dimiliki, ia membuat masker yang khusus ia buat untuk perawat-perawat di rumah sakit.

Hasil kreatifitas yang ia buat dan ia bagikan secara gratis itu mendapat apresiasi dari rekan kerjanya dengan memposting ucapan terimakasih melalui media sosial Facebook maupun Instagram

Ucapan terima kasih dengan ikut men tag nama FB milik Rida, mendapat respon positif dari pengguna Facebook maupun Instagram. Beberapa akun FB menghubuginya melalui Messenger dan berniat untuk mengirimkan donasi.

Awalnya Rida menolak karena niat menjahit hanya khusus untuk rekan kerjanya di rumah sakit. Namun karena desakan pemilik akun FB untuk berdonasi agar Rida kembali menjahit masker kemudian dibagi-bagikan kepada orang-rang yang membutuhkan. Akhirnya waktu 14 hari itu ia isi dengan menjahit masker pesanan para donator.

Tak sampai di situ, ternyata Rida juga menerima pesanan pembuatan masker dari beberapa NGO maupun aparat desa yang membutuhkan masker untuk penyintas bencana di hunian sementara (Huntara) kota Palu dan untuk masyarakat di beberapa desa.

Karena niat membuat masker semata-mata untuk membantu orang-orang yang kesulitan mendapatkan masker, maka Rida memberikan harga yang cukup murah untuk masker buatannya. Untuk masker ukuran dewasa ia jual dengan harga Rp50.000 per lusin, sementara untuk ukuran anak-anak Rp36.000 per lusin.

“Saya memberikan harga yang cukup murah. Harga itu sebagai pengganti untuk membeli bahan baku berupa kain dan benang jahit,” kata Rida.

14 hari masa karantina mandiri di rumah ia lalui dengan rasa bahagia karena ketika tak bisa melayani para pasien di rumah sakit, ia masih bisa mengabdikan dirinya untuk orang-rang yang kesulitan mendapatkan masker.

Tenyata bagi Rida, pengabdian bukan hanya ketika melayani secara langsung kepada pasien di rumah sakit, namun berkreasi di rumah dengan menciptakan satu hal yang dibutuhkan orang-orang juga memberikan nilai yang cukup bermanfaat. Ini juga salah satu cara untuk meningkatkan imun tubuh agar tidak stres selama masa karantina.***

Pos terkait