Umat Hindu baru saja menyelesaikan puasa Nyepi, menyambut datangnya Tahun Baru Saka 1946. Salah satu desa di Kecamatan Balinggi, yakni Desa Catur Karya, tercatat dihuni oleh warga yang semuanya beragama Hindu. Bagaimana nuansa Nyepi di desa itu? Berikut laporannya.
MOHAMMAD MISBACHUDIN – WARTAWAN MERCUSUAR
Ritual pengerupukan baru saja digelar, mulai dari arak-arakan Ogoh-ogoh dilanjutkan membawa patung berwujud Bhuta Kala ke Pura Merajapati, yang biasa disebut Pura kuburan, untuk kemudian rusak dan dibakar. Usai itu, warga kemudian melakukan ritual di rumahnya masing-masing untuk mengusir roh jahat, yang nantinya jika tidak diusir, dipercaya akan mengganggu aktivitas Tapa Bhrata Penyepian, selama 24 jam.
Ketika itu, Minggu (10/3/2024) sekira pukul 20.00—23.00 WITA, warga masih larut dalam aktivitas seperti biasanya, ada yang masih membunyikan petasan ataupun musik beragam genre yang berasal dari sound system, bahkan ada yang masih memasak dan makan.
Desa yang terkenal dengan spot wisata Air Terjun Baturiti itu, terletak paling ujung sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sigi, dihuni warga yang 100 persen merupakan pemeluk Agama Hindu.
Saat tiba pukul 00.00 waktu setempat, semua warga mulai mematikan lampu, sudah tidak terdengar suara nyaring lagi. Bahkan ada yang sama sekali menutup rapat pintu rumahnya, hanya sesekali terdengar lolongan anjing.
Sangat sunyi, hening, suara angin jelas terdengar, apalagi saat itu tiupan angin memang agak kencang. Gesekan daun kelapa, serta daun bambu yang saling bersentuhan, menimbulkan bunyi khas.
“Untuk warga, memang diwajibkan mematikan semua lampu, termasuk segala aktivitas yang tidak penting, seperti interaksi antarwarga. Namun, kami di sini (Desa Catur Karya-red) diberikan batas toleransi, sampai subuh (di Hari-H Nyepi),” ujar I Nyoman Budiasa, salah seorang warga.
Bahkan, katanya pula, warga yang punya urusan penting diminta meninggalkan kampung, paling lambat pukul 04.00 dini hari. Setelah itu, kampung benar-benar ‘steril’ hingga subuh keesokan hari.
Usai pukul 04.00, semuanya harus benar-benar tidak lagi menyalakan lampu, apalagi sampai beraktiviitas menggunakan api. Bahkan saat pukul 06.00, tidak boleh ada yang keluyuran di jalanan, dengan menggunakan kendaraan bermesin.
Begitu pula, jika sekiranya di kampung tersebut ada warga atau pengunjung yang tidak beragama Hindu, diperbolehkan mengitari kampung, tetapi tidak boleh menggunakan motor atau mobil, serta dilarang melakukan interaksi dengan warga sekitar. Bahkan, sesama orang non-Hindu dilarang bersuara keras ketika berinteraksi.
Soal denda, ungkap I Nyoman Budiasa, pihaknya akan mendengarkan pengumuman, siapa saja warga yang didenda, pada saat kembali melakukan ibadah dari Pura, usai melakuan ritual Tapa Bhrata. Denda diberikan dalam bentuk beras ataupun uang, yang nantinya masuk ke kas Adat Desa.
Penentuan siapa saja warga yang terkena denda, adalah hasil dari laporan para Pecalang, yang bertugas berkeliling desa melihat langsung aktivitas masyarakat.
“Sebenarnya, bicara soal denda bukan soalan beras dan uang, itu masih gampang dicarikan. Namun, rasa malu karena diumumkan di depan warga, apalagi kalau sampai melanggar aturan agama, itu yang berat,” ujar Budiasa.
Hal itulah, menrutnya, yang paling membuat warga takut untuk melakukan pelanggaran dalam prosesi Nyepi. Sehingga, kebanyakan warga lebih memilih melaksanakan dan menegakkan aturan tersebut, daripada harus membayar denda. Karena akan menjadi pembicaraan warga kampung lainnya. ***