PALU, MERCUSUAR – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, KH Zainal Abidin bersama pimpinan Gereja Sinode yang tergabung dalam Regional Forum Evangelische Mission in Solidaritat (EMS), membahas strategi peningkatan kerukunan umat beragama di Tanah Air, termasuk di Sulteng.
“Sebagai umat bergama yang tentu saja mencintai kedamaian dan keharmonisan, kita harus berupaya untuk tetap solid memelihara kedamaian dan keharmonisan,” kata KH Zainal Abidin, Minggu (9/10/2022).
Gereja Pantekosta Indonesia Donggala (GPID) menggelar pertemuan Regional Forum Evangelische Mission in Solidaritat (EMS) berlangsung di Desa Kalora, Kabupaten Sigi. Pertemuan itu menghadirkan para pimpinan gereja, di antaranya Sinode Gereja Kristen Protestan di Bali, Sinode Gereja Masehi Injil Minahasa, Snode Gereja Masehi Injili Halmahera, Sinode Gereja Kristen Sulawesi Selatan, Sinode Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara, Sinode Gereja Toraja, Sinode Gereja Toraja Mamasa, Sinode Gereja Kristen Sulawesi Barat, Sinode Gereja Protestan Indonesia Luwu.
Ketua MUI Palu, Zainal Abidin dihadirkan oleh forum tersebut, untuk menyampaikan tentang pembangunan harmonisasi antar umat beragama. Zainal Abidin yang juga Guru Besar UIN Datokarama Palu mengatakan, keharmonisan antar pemeluk agama dapat dipertahankan dengan cara bersama-sama saling mendukung, untuk menanamkan lima sikap yang menjadi pilar kerukunan umat beragama.
Lima sikap tersebut adalah pertama, menerima perbedaan. Kata dia, realitas keberagaman dalam kehidupan masyarakat merupakan keniscayaan sosial. Keberagaman ini berimplikasi pada lahirnya perbedaan.
“Kerukunan tidak diwujudkan dengan menghilangkan perbedaan karena hal itu adalah sebuah kemustahilan. Kerukunan terwujud justru melalui pengakuan dan penghargaan terhadap wujudnya perbedaan, sehingga tidak melahirkan sikap merasa benar sendiri,” ujar dia.
Ke dua ujar dia, mengedepankan persamaan, yaitu dari sudut pandang dogmatis-teologis, setiap agama memiliki karakteristik yang khas dan membedakannya dari agama lain. Hal ini tergambar terutama pada tata cara beribadah atau sistem ritualnya masing-masing. Namun, dari segi pesan- pesan moral yang bersifat sosiologis, terlihat jelas adanya nilai-nilai humanis universal yang disepakati oleh semua ajaran agama.
Berikutnya yaitu, kata dia, saling percaya dan memahami, memupuk rasa saling percaya satu sama lain merupakan salah satu kunci untuk membangun hubungan yang sehat antar penganut lintas agama. Saling percaya hanya dapat dibangun jika masing-masing pihak terbuka satu sama lain, serta saling memahami karakteristik ajaran agama masing-masing.
Kemudian, menanamkan moderasi beragama, di mana, kata dia, moderasi beragama adalah cara beragama yang moderat, tidak ekstem. Cara beragama yang damai, toleran dan menghargai perbedaan.
‘Terakhir, sebut dia, menumbuhkan kesadaran global yaitu kesadaran bahwa apa yang dilakukan akan berdampak luas, dan menghindari sikap- sikap atau pernyataan yang sifatnya menilai ajaran agama/ keyakinan orang lain.
“Cintai agama kita dengan tidak mencaci dan menghina agama/keyakinan orang lain,” ujar dia. */JEF