Parmout Tertinggi Angka Berisiko Stunting

PALU, MERCUSUAR – Data masyarakat berisiko stunting di Sulteng berjumlah 141.996 orang.
Dari jumlah tersebut, Kabupaten Parigi Moutong (Parmout) menempati angka tertinggi yakni
sebanyak 29.158 orang, sementara angka terendah di Kabupaten Banggai Laut yakni sejumlah
4.477 orang.
Data tersebut dipaparkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Provinsi Sulteng, Dr. Christina Shandra Tobondo pada pembukaan Rapat Koordinasi (Rakor)
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi Sulteng bersama kabupaten dan
kota se-Sulteng, di Gedung Nagana Kantor Bappeda Provinsi Sulteng, Kamis (23/11/2023).
Sementara itu, terkait jumlah masyarakat tidak tamat SD di Sulteng, Shandra mengungkapkan
sebanyak 75.941 orang, dengan angka tertinggi di Kabupaten Parmout sebanyak 23.184 orang,
dan terendah di Kabupaten Morowali sebanyak 1.673 orang.
BLT MEMBUAT MASYARAKAT TERLENA
Sementara itu, Wakil Gubernur (Wagub) Sulteng, H. Ma’mun Amir saat membuka Rakor TKPK
tersebut, menyampaikan diperlukan koordinasi yang baik dalam menanggulangi masalah
kemiskinan ekstrem, dimulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi hingga ke Pemerintah
Kabupaten dan Kota.
Menurut Wagub yang juga Ketua TKPK Sulteng, salah satu permasalahan kemiskinan berkaitan
Program Keluarga Harapan (PKH) melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), karena dapat
menjadikan masyarakat terlena menunggu bantuan, sehingga terkadang menjadi tidak kreatif
dan inovatif.
Sementara program Padat Karya, menurut Wagub, merupakan program yang dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat, pada proses perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan di wilayah masing-masing, serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
“IPM (Indeks Pembangunan Manusia) kita cukup bagus 70,95 persen. Artinya bidang
pendidikan, ekonomi dan kesehatan masyarakat sudah cukup bagus,” ujarnya.
Turut hadir pada Rakor tersebut, Direktur Pemanfaatan Fasilitas Dana Desa Kementerian
Pedesaan, Lutfi, dan Fungsional Perencanaan Madya Direktorat Penanggulangan Kemiskinan
dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas, Dwi Rahayuningsih, PhD. */IEA

Pos terkait