PALU, MERCUSUAR – Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulteng, Dr Hasanuddin Atjo menilai bahwa sejauh ini pemanfaatan Dana Desa (DD) belum maksimal sebagaimana yang diinginkan.
Menurutnya, selama lima tahun berjalan program tersebut belum memberikan dampak secara nyata terhadap perubahan status desa.
Dicontohkannya, di Provinsi Sulteng berdasarkan data Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2019, dari total 1.892 Desa di 12 Kabupaten, yang berstatus desa sangat tertinggal sebanyak 140 Desa (7,60 persen), desa tertinggal 952 desa (51,68 persen), berkembang 696 desa (37,39 persen), maju 53 Desa (2,88 persen), dan desa mandiri hanya satu desa (0,05 persesn).
“Dengan konfigurasi seperti ini tentunya menjadi salah satu sebab mengapa kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan di daerah ini masih menjadi soal. Sejumlah pengamat menilai, banyak program maupun kegiatan yang disusun telah menyimpang dari seharusnya, serta belum tepat sasaran. Akibatnya, sejumlah Kepala Desa dan perangkatnya terpaksa harus berhadapan dengan masalah atau kasus hukum,” ujarnya, Minggu (17/5/2020).
Ia menambahkan, saat ini masih dijumpai beberapa kendala ditataran koordinasi perencanaan dan implementasi pemberdayaan dan pembangunan desa.
Hal itu, katanya, dapat dilihat secara kelembagaan pemerintah desa berada di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri di tingkat nasional dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa di tingkat daerah. Sementara di sisi lain, program maupun kegiatan pemberdayaan dan pembangunan desa berada dalam koordinasi Kementerian Desa dan PDDT, Sosial, serta sejumlah kementerian dan lembaga lainnya.
“Solusi kendala ini tentunya perlu dicari, dirancang dan kemudian dipertimbangkan lahirnya sebuah skenario baru,” ujarnya.
Hasanuddin menguraikan, peran Kementerian Bappenas dan Bappeda di daerah dapat lebih didorong dan diberi porsi sesuai kewenangannya dalam melaksanakan fungsi koordinasi perencanaan dan evaluasi, yang menuju basis transformasi digital dan tata ruang. Kemudian, mekanisme rekrutmen Kepala Desa beserta perangkat desa sudah mulai berorientasi pada kompetensi digitalisasi.
“Hal itu agar bisa lebih adaptif, dan update terhadap proses perencanaan dan pengendalian maupun evaluasi yang juga mulai mengalami perubahan,” imbuhnya.
Selain itu, menurut Hasanuddin, pendekatan satu data tentang desa menjadi sangat penting dan strategis.
Hal itu merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (perpres) nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Olehnya Kementerian Komunikasi dan Informatika di tingkat pusat serta dinas terkait di daerah, berperan sebagai basis data digital untuk seluruh data desa di setiap provinsi.
Data digital tersebut berisi profil desa, dan nantinya akan dapat menginformasikan tentang data terkait tata ruang darat dan pesisir dari wilayah setiap desa. Dengan satu data tentang Desa, kata dia, maka kualitas perencanaan, pengendalian dan evaluasi dalam pemberdayaan, pembangunan desa dapat ditingkatkan. Selain itu satu data juga menjadi penting bagi sebuah investasi.
“Harapan kita agar program dan kegiatan dana Desa dapat melahirkan persentase Desa maju dan mandiri yang lebih besar, dan masyarakat akan sejahtera dan bermuara menjadi negara kuat, untuk menghadapi sejumlah tekanan yang bersumber dari dalam maupun dari luar. Kesemua ini berpulang kepada komitmen dan konsistensi lima pilar yang disebut Penta Heliks, yaitu padunya peran masing-masing dari pemerintah, akademisi, pelaku bisnis dan usaha, masyarakat dan media,” pungkasnya. IEA