Pembungkaman Pers Masih Terjadi

PALU, MERCUSUAR – Sepanjang tahun 2022 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu mencatat empat kekerasan dan upaya pembungkaman terhadap jurnalis terjadi di Sulawesi Tengah. 

Dalam catatan Divisi Advokasi AJI Palu, jenis kekerasan terdiri dari dua kasus kekerasan fisik maupun pelecehan, serta dua kasus berupa intimidasi.

Selain itu, tiga kasus upaya pembungkaman terhadap jurnalis dengan mengintervensi kerja media, berupa desakan pencabutan berita.

“Namun, permintaan tersebut tidak diindahkan pihak redaksi oleh tiga media di Palu, salah satunya Harian Mercusuar terkait provider yang merasa terganggu dengan pemberitaan wartawan Mercusuar, Kartini Nainggolan,” terang Divisi Advokasi AJI Palu, Agung Sumandjaya, di Baruga Lapangan Vatulemo, Jumat  (30/12/2022).

Wartawan Mercusuar yang juga merupakan Wakil Pimpinan Redaksi Harian Mercusuar, Kartini Nainggolan 

mengaku, permintaan untuk menghapus pemberitaan oleh para pihak sudah sering dialami oleh wartawannya. Namun, untuk penghapusan berita tidak bisa disetujui, apalagi berita yang tayang merupakan pernyataan resmi dari narasumber terpercaya berdasrkan tupoksinya.

Untuk itu, Agung menyampaikan sikap AJI Palu, bahwa pengusiran dan desakan mencabut berita yang sudah tayang adalah bagian dari kekerasan terhadap kerja-kerja jurnalistik.

“Termasuk mencolek wartawati, hingga 5 kali, adalah bagian dari tindakan pelecehan terhadap martabat jurnalis perempuan. Para pihak di garda terdepan yang mempunyai relasi langsung maupun tak langsung dengan jurnalis, saatnya menghentikan kekerasan yang membungkam pers melakukan tugas publiknya,” ujarnya. 

Terkait permasalahan media siber menghadapi permintaan take down pemberitaan atau penghapusan berita, tidak ada pihak manapun yang boleh memaksa redaksi mencabut berita atau menurunkan berita semena-mena.

“Walau secara praktik, tergantung kebijaksanaan redaksi masing-masing. Namun desakan itu bagi AJI Palu adalah tindakan kekerasan dan pembungkaman terhadap kerja-kerja jurnalistik,” imbuh Agung. 

Secara umum, ungkapnya, pelaku kekerasan terhadap jurnalis berasal dari berbagai kalangan. Namun yang dominan adalah aparat pemerintah.

AJI Palu, tegas Agung, mengecam segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, aktivitas jurnalistik para wartawan guna memenuhi hak publik untuk tahu. Juga menjalankan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

“Hal semacam itu tidak perlu terjadi, dan para pihak bisa melakukannya dengan mengirim hak jawab pada redaksi yang bersangkutan,” terangnya.

Pihak redaksi, lanjutnya, boleh menolak permintaan take down berita dikecualikan untuk pemberitaan yang berbau SARA, pemberitaan yang merendahkan harkat dan martabat perempuan, pemberitaan yang tidak melindungi identitas anak-anak di bawah umur yang menjadi pelaku tindakan melanggar hukum tertentu.

“Proses pencabutan berita jika terkait dengan hal di atas bisa dilakukan. Tapi itupun tidak semena-mena, harus melalui mekanisme penyelesaian sengketa,” terangnya.

Agung juga menyampaikan, sari keseluruhan kasus pada tahun 2022, tak satupun yang dilaporkan secara hukum. Bahkan, perusahaan pers di mana wartawannya menjadi korban kekerasan, sering tak bersikap. Selain itu, dalam banyak kasus, jurnalis yang menjadi korban kekerasan juga sering memilih mundur ketika diadvokasi.

“Banyak faktor penyebab, mulai dari proses yang panjang jika dilaporkan, hingga tak ingin ribut. Maka, tak satu pun kasus kekerasan terhadap jurnalis diusut tuntas,” imbuhnya. 

Maka menyikapi berbagai hal di atas, AJI Palu menyampaikan rekomendasi, bahwa masyarakat, termasuk pemangku kepentingan, perlu menghormati aktivitas jurnalistik. Keberatan terhadap produk jurnalistik perlu mengedepankan mekanisme yang diatur dalam UU nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, seperti hak jawab maupun hak koreksi.

Selain itu, komunitas pers perlu serius menyikapi kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, sulit memutus rantai 

kekerasan tanpa komitmen yang sungguh-sungguh dari komunitas pers. Keseriusan itu, misal, tidak permisif terhadap segala bentuk kekerasan.

Kemudian, Jurnalis dituntut untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik dalam bekerja. Bersikap profesional, independen, dan mengutamakan kepentingan publik. Sebab, ketidakprofesionalan dapat memicu kekerasan terhadap jurnalis. Masyarakat yang mendapati atau menilai perilaku jurnalis tak profesional dapat melapor ke perusahaan media tempat jurnalis bekerja, organisasi wartawan, maupun Dewan Pers. ABS

Pos terkait