PALU, MERCUSUAR – Pemerintah Kota (Pemkot) Palu diminta untuk menghentikan sementara pembangunan hunian tetap (Huntap) diatas tanah milik 13 warga di Tondo, Kecamatan Mantikulore, agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Hal itu disampaikan oleh Kuasa Hukum warga, Abdul Rahman pada wartawan, menyusul dikabulkan gugatan Nomor: 24/G/2019/PTUN.PL oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palu.
“Pembangunan huntap dalam rangka membantu masyarakat korban (bencana 28 September 2018), tapi ini membuat persoalan baru,” katanya.
Apabila putusan tersebut nantinya berkekuatan hukum tetap (inkrah), sambungnya, selaku kuasa hukum pasti akan mengajukan eksekusi.
Diketahui, gugatan Nomor: 24/G/2019/PTUN.PL diajukan oleh Mustakim, Iswan H Abd Rahman, Sudirman, Amirullah, Yuliana Suyuti, Purwanto, Rahman Lasemma, Syarif, Masdiana, Mude Muh Said, Hamzah, Majid, Lasse Makkarawa (penggugat), dengan tergugat Kepala Kantor Wilayah (kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sulteng.
Gugatan diajukan terkait Surat Keputusan diterbitkan BPN Sulteng berupa Keputusan Kepala Kanwil BPN Provinsi Sulteng Nomor: 108/SK-72.600/VII/2019 tentang pembatalan sertifikat hak milik (SHM) atas nama I Made Sukarianta dan kawan-kawan yakni 18 bidang tanah terletak di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore.
Majelis Hakim PTUN Palu diketuai, Haryati mengabulkan gugatan 13 warga itu untuk sebagian dan menyatakan batal Surat Keputusan diterbitkan BPN Sulteng berupa keputusan Kepala Kanwil BPN Provinsi Sulteng Nomor: 108/SK-72.600/VII/2019. Selain itu, tergugat diwajibkan mencabut surat keputusan tersebut karena cacat hukum administrasi, sebab diterbitkan diatas sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 615/Tondo, surat ukur nomor 21/1993 dengan luas 880 ribu meter persegi atas nama PT Lembah Palu Nagaya.
OPTIMIS
Lanjut Abdul Rahman, meskipun BPN menyatakan banding atas putusan tersebut, ia optimis putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makasar akan menguatkan putusan PTUN Palu.
Sebab proses pembatalan sertifikat kliennya tidak prosedural, karena mereka tidak pernah dikonfirmasi sesuai Peraturan Menteri Agraria Nomor: 11 Tahun 2016. “‘Peraturan inilah dilanggar BPN,” katanya.
BPN menyerahkan tanah tersebut kepada Pemkot untuk pembangunan huntap bagi korban bencana 28 September silam, padahal tanah tersebut bersertifikat. “Jadi guna memuluskan penyerahan tersebut, dibatalkanlah sertifikat menjadi objek sengketa ini,” katanya.
Ditegaskannya, tidak satupun melandasi objek sengketa, mengingat penerbitannya bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku, khususnya UU Nomor: 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. “Penerbitan objek sengketa secara sepihak dan kolektif, tidak prosedur, prematur dan terkesan dipaksakan,” ujarnya.
KEBERATAN TIDAK DIRESPON
Sementara itu, penggugat Mustakim mengatakan objek sengketa baru mereka ketahui 16 September 2019, setelah menerima surat pemberitahuan objek sengketa dari tergugat sesuai surat pengantar Nomor: 502/SP-13/IX/2019.
Upaya administratif berupa nota keberatan atas penerbitan objek sengketa sudah dilakukan, namun tidak ada respon sampai diajukan gugatan 25 November 2019. AGK