Perhutanan Sosial Jadi Solusi Atasi Konflik Tenurial

Workshop Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan, di Hotel Santika Palu, Kamis (6/11/2025). FOTO: KARTINI NAINGGOLAN/MS

PALU, MERCUSUAR – Pemerintah Provinsi Sulteng menegaskan komitmen untuk menyelesaikan konflik tenurial kawasan hutan, dengan mengedepankan prinsip mediasi dan kolaborasi antarpemangku kepentingan.

Komitmen tersebut disampaikan Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setdaprov Sulteng, Dr. Rudi Dewanto, yang mewakili Gubernur Sulteng membuka Workshop Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan di Hotel Santika Palu, Kamis (6/11/2025).

Dalam sambutannya, Rudi menegaskan bahwa pemerintah daerah berperan sebagai fasilitator, mediator, dan regulator dalam setiap tahapan penyelesaian sengketa lahan antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Ia menilai, penyelesaian konflik harus dilakukan dengan cara yang berkeadilan dan berkelanjutan, bukan melalui pendekatan koersif.

“Konflik tenurial ini kompleks dan sensitif. Karena itu, kita perlu menyatukan persepsi, membuka data, dan memperkuat sinergi lintas sektor agar benang kusut ini dapat diurai bersama,” ujarnya di hadapan peserta yang berasal dari berbagai instansi.

Workshop tersebut diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng sebagai bagian dari program Results Based Payment (RBP) GCF REDD+ Output 2 bekerja sama dengan Lemtara Kemitraan. Program ini menargetkan terwujudnya tata kelola hutan yang adil dan inklusif, sejalan dengan agenda pembangunan hijau berkelanjutan pemerintah provinsi.

Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hadir Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Julmansyah. Ia menekankan pentingnya optimalisasi peran balai-balai kehutanan di daerah untuk mempercepat penyelesaian sengketa di lapangan.

“Kalau konflik selesai, investasi bisa tumbuh, ekonomi daerah bergerak, dan kemiskinan berkurang. Ini bukan sekadar soal lahan, tapi soal masa depan ekonomi daerah,” ujar Julmansyah.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sulteng, Muhammad Neng menyebut salah satu pendekatan efektif dalam meredam potensi konflik adalah melalui program Perhutanan Sosial. Menurutnya, skema ini memperkuat posisi masyarakat sekitar hutan sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem.

Ia menyampaikan nilai transaksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Sulawesi Tengah mencapai Rp43 miliar sepanjang 2023.

“Sulteng masuk lima besar nasional dari hasil evaluasi pusat. Ini bukti tata kelola hutan berbasis masyarakat mampu memberi manfaat ekonomi,” ujar Neng.

Ia juga mengungkap sejumlah temuan konflik tenurial, antara lain pembangunan akses jalan di kawasan hutan melalui dana pokok pikiran (pokir) anggota DPRD, serta area transmigrasi yang masuk wilayah hutan. Neng menegaskan perlunya koordinasi agar persoalan tersebut tidak mengarah ke ranah pidana.

Kegiatan ini turut dihadiri perwakilan Balai Kementerian Kehutanan, Kanwil BPN, Satgas PKA, LSM, dan mitra-mitra kehutanan lainnya. Forum tersebut menjadi ruang dialog terbuka antara pemerintah, lembaga adat, dan masyarakat sipil untuk mencari model penyelesaian konflik yang realistis dan inklusif. TIN

Pos terkait