DONGGALA, MERCUSUAR – Momentum peringatan Hari Mangrove Sedunia, yang jatuh pada 26 Juli, Yayasan KEHATI merestorasi ekosistem mangrove yang telah rusak, di wilayah Kelurahan Tanjung Batu, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Selasa (26/7/2022). Hal itu dianggap sangat perlu, karena ekosistem mangrove di wilayah tersebut dinilai warga sebagai “benteng alam” ketika terjadi bencana alam tsunami.
Manajer Program Ekosistem Kelautan Yayasan KEHATI Toufik Alansar mengatakan, pihaknya bersama Komunitas Sahabat Mangrove Tanjung Batu, Pejuang Mangrove Kabonga Kecil dan Pemkab Donggala menanam bibit mangrove di lahan seluas 1 hektare di perairan Teluk Palu Donggala.
“Walaupun berangkat dari mitigasi bencana, program konservasi mangrove ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat lain bagi keberlangsungan mahluk hidup terutama masyarakat sekitar,” ujarnya.
Toufik mengatakan, kegiatan tersebut sudah merupakan komitmen dari yayasan tersebut selama kurang lebih empat tahun, yang kini telah berjalan dua tahun. Dia menjelaskan, segala upaya terus dilakukan, agar masyarakat merasakan dampak dari mangrove salah satunya peningkatkan kesejahteraan masyarakat dari sisi ekonomi, dimana telah terbentuk dua kelompok yang didominasi kalangan perempuan, untuk memanfaatkan dan mengelola buah mangrove menjadi olahanan makanan.
“Hal ini yang ingin capai, kami bersama mitra lokal seperti YBB dan YKL, ingin mendorong pemanfaatan dari hasil mangrove, dan kita harapkan ini dapat menjadi salah satu ketahanan pangan masyarakat,” jelasnya.
Dia melanjutkan, KEHATI menyadari terdapat beberapa masalah dan tantangan dari program konservasi yang tengah dihadapi. Saat ini, laju perusakan luasan ekosistem mangrove yang ada jauh lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan dan rehabilitasi yang dilakukan. Hal ini disebabkan oleh degradasi dan alih fungsi lahan. Selain itu, KEHATI melihat kesadaran masyarakat dalam melestarikan dan mengelola pemanfaatan mangrove masih rendah. Kebijakan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan mangrove walaupun sudah ada, pelaksanaanya dianggap masih belum maksimal.
Sampah dan Ternak Ancaman Pertumbuhan Mangrove
Sementara, Direktur Yayasan Bonebula, Andi Anwar mengatakan, gerakan rehabilitasi mangrove dilakukan secara partisipatif, dimana aksi tersebut dimulai dari memetakan faktor gangguan dan menyusun desain rehabilitasi, karena ada beberapa kawasan meskipun sudah ditanam tetapi akhirnya mangrovenya mati. Hal itu bisa disebabkan, karena faktor, terjangan gelombang laut, namun juga faktor hidrologi seperti sumber air tawar atau faktor kesejarahan bahwa di kawasan itu tidak pernah tumbuh mangrove.
“Faktor lain juga, ternak masih menjadi ancaman terbesar, seperti di kawasan Kabonga kecil. Hal-hal seperti ini yang kami petakan, sehingga ketika dilakukan penanaman, maka gangguan-gangguan tersebut bisa diantisipasi,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, ada 10 titik di wilayah tersebut yang akan ditentukan sebagai kawasan rehabilitasi, dan hasil pemetaan gangguan untuk kawasan rehabilitas satu, faktor gangguan pertumbuhan mangrove adalah sampah dan juga gelombang laut.
Diketahui, berdasarkan kajian menyatakan bahwa selain mencegah abrasi, mangrove sangat efektif dalam meredam terjangan tsunami. Hal ini terbukti pada bencana tsunami yang menimpa Teluk Palu di tahun 2018 silam, daerah yang ditanami mangrove terlindungi dari terjangan tsunami, sehingga tidak mengalami kerusakan parah dibandingkan daerah lain. AMR