BANGGAI, MERCUSUAR – Usai melaksanakan tahap sosialisasi beberapa waktu lalu, Tim Pelaksana bersama Tim Pendamping Program Kosabangsa di Desa Uwedikan Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, langsung bergerak menjalankan program terkait mitigasi bencana pesisir di lokasi tersebut, baru-baru ini.
Program Kosabangsa yang dikembangkan oleh Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, telah memasuki tahun ketiga pada 2024.
Pada tahun 2024, Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu sebagai pelaksana bersama Universitas Negeri Makassar (UNM) sebagai pendamping diberi kepercayaan untuk melaksanakan program tersebut, dengan tema yang diangkat adalah ‘Penanggulangan Mitigasi Bencara Pesisir dan Sanitasi Lingkungan Berbasis Teknologi untuk meningkatkan Kesejahteraan melalui Destinasi Pariwisata di Desa Uwedikan Kabupaten Banggai’.
Program tersebut mengembangkan pembangunan mitigasi terhadap dua jenis kebencanaan, yakni bencana alam dan sosial di wilayah pesisir. Yakni melalui penanaman mangrove dan pembangunan jamban keluarga.
Sebagaimana diketahui, Desa Uwedikan merupakan desa pesisir yang berhadapan dengan 18 pulau. Sebanyak 15 pulau di antaranya adalah pulau kecil.
Dua pulau berhadapan dengan pemukiman di wilayah Pantai Desa Uwedikan, yaitu pulau Togong dan Pulau Balean. Kedua pulau tersebut merupakan hutan mangrove yang berperan sebagai pemecah ombak, sehingga tidak sampai ke pemukiman warga.
Namun, saat ini jumlah tanaman mangrove di lokasi tersebut mulai berkurang. Hal itu yang mendasari Tim Pelaksana program Kosabangsa yang diketuai Drs. Muhammad Jufri, M.Si., M.Kes dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Unismuh Palu, menjalankan program penanaman bibit mangrove.
Menurut Jufri, kedua pulau tersebut perlu mendapat perhatian untuk menjaga keberadaan hutan mangrove. Ia mengungkapkan, hasil survei tim pelaksana program mendapati bahwa pohon mangrove yang ada di Pulau Togong sudah banyak yang mati, sehingga terjadi pengikisan (abrasi) sepanjang sekitar 90 meter di pulau tersebut. Sedangkan di Pulau Balean juga telah terjadi abrasi sekitar 80 meter.
Sementara salah seorang anggota tim pelaksana, Dr. Ir. Rosmaniar Gailea, M.Si. menyebutkan kerusakan tanaman mangrove tidak bisa dibiarkan, sehingga perlu kesadaran melakukan rehabilitasi atau penanaman kembali tanaman mangngove.
Ia menyebutkan, berdasarkan data, Kabupaten Banggai meliliki luas hutan mangrove mencapai 7.387 hektare (Ha). Namun 5.652 Ha di antaranya dalam kondisi rusak berat, termasuk di Desa Uwedikan. Olehnya itu, menurut Rosmaniar, perlu kesadaran semua pihak untuk merehabilitasi.
Melalui Program kosabangsa yang dilaksanakan Unismuh Palu bersama UNM, penanaman bibit mangrive di Pulau Togong turut melibatkan masyarakat bersama Pemerintah Desa setempat, yang dihadiri sekira 40 orang.
Sebelum penanaman, Dr. Ir Rosmaniar Gailea, M.Si memberikan bimbingan teknis penanaman mangrove, yang dapat dibudidayakan dengan dua cara, yaitu penanaman dari bibit yang sudah ditanam dalam plastik polybag, serta penanaman melalui buah mangrove dengan teknologi tepat guna (TTG).
Penanaman mangrove tahap I yang dilakukan melalui program Kosabangsa di Pulau Togong, merupakan jenis budidaya penanaman melalui bibit, dengan jumlah bibit yang ditanam sebanyak 750.000 pohon, berasal dari bantuan BPDAS Palu-Poso.
Penanaman mangrove diawali Ketua Tim Pendamping dari UNM, Prof. Dr. Ir. Bakhrani A Rauf, M.T, IPU dengan membaca doa bersama, dilanjutkan Ketua Tim Pelaksana dan Kepala Desa serta masyarakat setempat.
Setelah penanaman, Prof. Dr. Ir. Bakhrani A Rauf, M.T, IPU Sebagai Ketua Tim Pendamping dari UNM menekankan bahwa mangrove tersebut tidak hanya ditanam saja, tetapi proses pemeliharaan jauh lebih penting, sehingga perlu kesadaran yang tinggi agar program tersebut dapat berkelanjutan (sustainable).
Sementara penanaman tahap II akan dilaksanakan di Pulau Labean sebanyak 1.250 bibit, dengan rincian 750 dari bibit (500 pohon dari program Kosabangsa dan 250 dari Pemerintah Desa), serta 500 bibit adalah yang berasal dari buah (Program Kosangsa). Penanaman mangrove dari buah belum pernah dilakasanakan oleh masyarakat Uwedikan. Hal itu merupakan inovasi baru dalam budidaya mangrove.
Hutan mangrove di Pulau Togong dan Pulau Labean berperan penting dalam penanggulangan bencana. Karena kedua pulau tersebut menjadi pemecah ombak dari lautan lepas, sehingga ombak besar tidak sampai di pemukiman warga desa.
Seiring dengan itu, program Kosabangsa merekomendasikan tidak boleh ada kegiatan apapun yang dapat merusak ekosistem hutan mangrove, di kedua pulau yang letaknya berhadapan dengan Desa Uwedikan dan jaraknya tidak jauh dari pemukiman tersebut. Termasuk salah satunya, adalah kegiatan pariwisata.
PEMBUATAN JAMBAN KELUARGA
Selain penanaman mangrove, Program Kosabangsa turut melaksanakan kegiatan pembuatan jamban keluarga, bagi masyarakat yang rumahnya berada di atas laut, yakni warga Suku Bajo yang berjumlah 20 rumah.
Pembangunan jamban tersebut direncanakan menyasar 15 rumah, dengan menggunakan closet fiber glass yang bisa didudukkan di atas lantai papan, dan dilapisi plastik atau talang karet, sehingga lantai kayu tidak cepat lapuk. Closet dihubungkan dengan pipa ukuran 2,5 inch menuju ke septic tank secara komunal.
Prof. Dr. Ir. Bakhrani A Rauf, M.T, IPU menjelaskan bahwa septic tank akan dibuat sebanyak 4 unit, yang setiap septic tank digunakan untuk 4—5 rumah, sehingga diberi nama sistem komunal.
Dengan adanya kegiatan dari program Kosabangsa tersebut, masyarakat Suku Bajo diharapkan tidak lagi membuang tinja secara langsung ke laut, sehingga terjaga sanitasi lingkungan yang sehat.
Kepala Desa Uwedikan, Asri Lanani, S.H. mengucapkan terima kasih kepada DRTPM Kemendikbud Ristek RI, atas terpilihnya Kabupaten Banggai sebagai sasaran program Kosabangsa.
Ia juga berterima kasih kepada Unismuh Palu dan UNM yang telah memilih Desa Uwedikan sebagai lokasi pelaksanaan program.
“Kami tahu, desa kami ini masih banyak kekurangan. Tapi kami bersedia memberikan partisipasi tenaga atau material untuk program Kosabangsa ini,” kata Asri.
Menurutnya, sejak awal program tersebut sudah banyak memberi manfaat kepada warga desa, di antaranya penanaman mangrove di pulau Togong telah dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat, tujuannya untuk menanggulangi dampak dari gelombang yang mengakibatkan abrasi pantai.
“Juga program pembuatan jamban keluarga, khusus kepada masyarakat nelayan yang ada di Desa Uwedikan, kepada keluarga rumpun suku bajo yang rumahnya berada di atas permukaan laut, dengan septic tank bersama,” tutur Asri.
Program Kosabangsa yang dijalankan di Desa Uwedikan juga akan menjalankan kegiatan pemberdayaan kepada para ibu-ibu mitra, berkaitan dengan pelatihan pengelolaan kuliner berbahan dasar ikan, seperti nugget ikan, bakso ikan, siomay, abon, dan lain-lain.
Kemudian program kelompok nelayan dalam pemanfaatan pengolahan sampah untuk dijadikan pupuk organik, serta sejumlah program lainnya yang berbasis kemasyarakatan.
Menurut Asri, program-program Kosabangsa telah banyak membantu warga desa, dalam mengatasi isu-isu kebencanaan alam dan kebencanan sosial masyarakat, serta meningkatkan pendapatan keluarga.
“Terima kasih kepada pelaksana Kosabangsa, karena melalui program ini kami dibuatkan jamban keluarga, yang sudah lama diimpikan, baru terwujud melalui program Kosabangsa dari DRTPM Kemendikbud Ristek. Terima kasih banyak,” ungkap salah seorang warga.
Sementara Tim Pelaksana, Tim Pendamping dan Pemerintah Desa serta masyarakat setempat, juga menyampaikan terima kasih kepada Kemendikbud Ristek RI melalui DRTPM yang telah memberikan dukungan pendanaan untuk menjalankan program tersebut. */IEA