Pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) kawasan smelter nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, terutama pada ekosistem laut. Masyarakat adat yang selama berabad-abad bergantung pada sumber daya laut, kini menghadapi ancaman besar terhadap kelangsungan hidup dan budaya mereka.
KARTINI NAINGGOLAN – WARTAWAN MERCUSUAR
Selama 20 tahun, Fanisa (50) yang menjadi bagian dari masyarakat suku Bajo meninggalkan tanah kelahirannya di Pulau Salabangka, Morowali, dan berpindah ke Bahodopi dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik. Keluarga Fanisa adalah satu dari ratusan keluarga suku Bajo yang bermukim di pesisir Dusun Kurisa Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi.
Sebagai orang Bajo yang dikenal sebagai “orang laut,” Fanisa dan keluarganya sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Hasil tangkapan mereka dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Ikan yang ditangkap biasanya dijual hingga ke kabupaten tetangga, seperti Morowali Utara, bahkan sampai ke Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dari hasil melaut, Fanisa dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga, membangun rumah, dan menyekolahkan anak-anaknya.
Setelah kurang lebih 12 tahun, kemapanan hidup Fanisa bersama ratusan KK warga dan suku bajo lain di kecamatan Bahodopi mulai terusik, ketika masuknya perusahaan nikel milik PT IMIP.
Sejak tahun 2016, ketika PT IMIP mulai beroperasi, Fanisa dan warga Bajo di Dusun Kurisa tidak dapat lagi melaut. Air laut tercemar akibat aktivitas perusahaan, berubah warna, dan menjadi panas karena limbah PLTU yang dibuang langsung ke laut. Akibatnya, ikan-ikan pun menjauh dari pesisir.
“Sudah tidak bisa lagi kami melaut. kalau mau melaut harus lebih jauh lagi dari bibir pantai. Harus pakai minyak (BBM -red) puluhan liter supaya kami bisa dapat ikan,” kata Fanisa saat ditemui di kediamannya, Sabtu (25/10/2024).
Setelah ditinggal suaminya, Fanisa kini hidup sendiri bersama anak-anaknya dan harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Saat ini, Fanisa hanya bisa berjualan kue keliling, karena laut tidak lagi dapat memberikan nafkah bagi mereka.
“Kami orang Bajo di Kurisa sudah tidak bisa lagi meneruskan keahlian kami sebagai orang laut. Kami orang Bajo kalau mau makan ikan harus beli. Dulu, kalau mau makan ikan kami tinggal pancing saja dari atas rumah, sekarang sudah tidak ada lagi karena air laut sekitar rumah kami sudah panas dan kotor, makanya ikan sudah hilang,” kata dia.
Fanisa bukanlah satu-satunya warga yang dirugikan akibat limbah. Ndayi, masyarakat suku Bajo yang telah menetap di Dusun Kurisa selama puluhan tahun, juga mengalami hal yang sama. Sebelum kehadiran perusahaan nikel, Ndayi tidak hanya mencari ikan di laut, tetapi juga membudidayakan rumput laut dan membuat keramba di bawah rumahnya.
“Dulu selain melaut untuk tangkap ikan, saya juga menanam rumput laut untuk dijual, dan juga ada keramba. Sekarang sudah tidak bisa karena air laut sudah tercemar, rumput laut tidak bisa tumbuh,” kata Ndayi sembari menunjukkan lokasi nelayan suku Bajo menanam rumput laut.
Ndayi menceritakan bahwa setelah perusahaan membuang limbah PLTU langsung ke laut, air di sekitar desa tercemar. Ikan di keramba mati, laut yang dulunya digunakan sebagai tempat berenang anak-anak kini tidak bisa lagi dipakai karena airnya sudah tercemar dan panas.
“Sudah ada beberapa orang meninggal karena jatuh di laut. Bukan karena tidak bisa berenang, tapi kemungkinan karena air lautnya panas,” ujarnya.
Ndayi dan warga sekitar sangat merasakan dampak dari pembuangan limbah perusahaan ke laut. Terutama di pagi hari, aroma busuk yang menyengat dan kepulan asap hitam memenuhi area pemukiman di Dusun Kurisa.
“Di pagi hari, asap hitam kelihatan jelas saat perusahaan membuang limbah ke laut. Kalau kami menginjak lantai rumah, telapak kaki akan menjadi hitam,” kata Ndayi.
Sudah beberapa kali, Ndayi bersama warga lainnya meminta solusi kepada pemerintah dan pihak perusahaan agar mereka dapat kembali melaut. Warga yang berprofesi sebagai nelayan akhirnya diberikan bantuan perahu oleh perusahaan, namun perahu-perahu tersebut tidak dapat digunakan karena biaya bahan bakar sangat tinggi.
“Waktu belum ada perusahaan, kalau mau melaut kami hanya pakai 1 liter minyak. Sekarang harus pakai 5—10 liter karena tempat tangkap ikan semakin jauh lagi, bahkan sampai ke desa lain supaya bisa dapat ikan,” kata dia.
Ndayi menambahkan bahwa sebagian besar perahu kini digunakan sebagai ojek perahu, untuk mengantarkan Anak Buah Kapal (ABK) ke kapal-kapal besar milik perusahaan yang tidak bisa bersandar di dermaga.
Tarif yang diberikan untuk mengantarkan ABK ke kapal besar biasanya sekitar Rp100 ribu per perjalanan. Layanan ini tidak tersedia setiap hari, melainkan hanya ketika ada kapal besar yang masuk. Menurut Ndayi, penghasilan dari menangkap ikan jauh lebih baik dibandingkan dari hasil ojek perahu.
“Sebagai nelayan, satu kali panen bisa menghasilkan 1 hingga 2 boks ikan dengan menggunakan perahu kecil. Jika dijual, harga ikan bisa mencapai Rp18 ribu hingga Rp20 ribu per kilogram (kg). 1 boks itu isinya bisa sampai 50 kg,” tambahnya.
Ndayi mengungkapkan, sejak masuknya IMIP sekitar tujuh tahun lalu, dia dan warga lainnya tidak bisa melaut lagi.
“Kami hidup terkatung-katung, hanya berharap bisa menjadi buruh kasar dengan pekerjaan yang tidak menentu,” keluhnya.
Selvi, istri Ndayi, menjelaskan bahwa sebelumnya pihak perusahaan memberikan kompensasi berupa uang limbah sebesar Rp1 juta per tahun per KK dan uang debu sebesar Rp3,5 juta. Namun, dalam lima tahun terakhir, kompensasi tersebut tidak lagi diterima oleh warga yang terdampak.
“Kami tidak tahu kenapa kami tidak lagi menerima uang limbah dan uang debu sebagai kompensasi,” ujarnya.
Selvi menambahkan bahwa warga yang tinggal di sekitar perusahaan tidak hanya kehilangan mata pencaharian, tetapi juga banyak yang menderita penyakit akibat udara dan air yang tidak sehat. Bukan hanya anak-anak yang mengalami batuk dan gatal-gatal, tetapi juga banyak orang dewasa yang terkena dampaknya.
Masyarakat Adat Kehilangan Ruang Hidup
Suku Bajo adalah masyarakat adat yang mendiami beberapa kepulauan di Morowali. Mereka memiliki aktivitas di laut, sehingga sering disebut sebagai “orang laut.” Sebagian besar suku Bajo mendiami kepulauan Salabangka, namun banyak dari mereka juga kini bermukim di pesisir pantai di Kecamatan Bahodopi, seperti di Desa Fatufia, Labota, Bete-bete, Bahomakmur, dan Bahodopi, yang berada di sekitar area tambang.
Kearifan lokal masyarakat suku Bajo di Morowali masih sangat kuat, terutama dalam mempertahankan aturan adat yang mereka sebut dengan “pamali.” Konsep ini diterapkan untuk menjaga ekosistem laut, karena pelanggaran terhadap pamali dapat mendatangkan petaka.
Sudirman (60), salah seorang anggota suku Bajo yang tinggal di pesisir Desa Bete-bete, mengatakan bahwa hingga saat ini, pamali masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bajo.
“Kalau pamali dilanggar, akan mendatangkan musibah. Biasanya, ada ombak besar, kami tidak bisa mendapatkan ikan, atau terkena penyakit. Jika laut dirusak, kami pasti akan menghadapi musibah,” kata Sudirman, Sabtu (25/10/2024).
Musibah akibat pelanggaran pamali karena kerusakan laut, menurut Sudirman, sudah dirasakan. Ikan kini sudah tidak ada karena laut tercemar limbah dari PT IMIP, dan masyarakat juga mengalami penyakit seperti gatal-gatal dan batuk.
Masyarakat suku Bajo menyadari bahwa hilangnya mata pencaharian nelayan di Bahodopi, akibat ikan yang menjauh, berkaitan dengan pamali yang selama ini mereka percayai. Jika hal ini dibiarkan, akan mengancam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat adat suku Bajo.
“Kami tidak tahu harus kemana lagi, laut adalah hidup kami. Mau minta tolong sama siapa lagi ini kalau pemerintah cuma diam. Dorang (pemerintah -red) tahu kami ini nelayan menderita dan sudah tidak ada lagi ikan yang bisa kami tangkap, tapi dorang cuma ba diam. Kami dikase (berikan -red) bantuan uang tunai cuma habis untuk beberapa hari saja, terus bagaimana selanjutnya?,” tuturnya.
Menurut Sudirman, masyarakat nelayan bergantung sepenuhnya pada laut. Jika mereka dipindahkan atau direlokasi jauh dari laut, mereka tidak akan bisa bertahan. Jika dipekerjakan di perusahaan, mereka hanya akan menjadi buruh tambang, karena pendidikan dan keterampilan yang terbatas.
“Kami hanya tahu ba jala ikan. Mo disuruh (diperintahkan) ba kerja tambang, paling yang kami tahu cuma ba tako-toki (pukul-pukul) batu,” ujarnya.
Sudirman berharap pemerintah dan pihak perusahaan memberikan solusi untuk masyarakat, karena aktivitas pertambangan nikel di Bahodopi telah menghilangkan ruang hidup nelayan, khususnya masyarakat adat suku Bajo yang sejak nenek moyang mengandalkan hidup dari laut.
“Kalau laut ini rusak, kami so tidak bisa hidup. Dikase bantuan juga cuma untuk makan hari ini. Bagaimana anak cucu kami nanti? Dorang so tidak tau lagi itu berenang di laut,” kata Sudirman.
Sungai Sekitar Industri Nikel Terpapar Kandungan Logam
Jika pencemaran di laut membuat nelayan kehilangan mata pencaharian, di sekitar sungai, persoalannya lain lagi. Aktivitas tambang membuat sungai tercemar. Warga kesulitan mendapatkan air bersih. Bahkan untuk mandi fan mencuci, mereka harus menggunakan air gallon.
Selvi, warga Dusun Kurisa, Desa Fatufia mengungkapkan, setelah masuknya PT IMIP, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Warga harus membeli air galon untuk bisa memenuhi kebutuhan untuk memasak maupun mencuci.
Untuk mendapatkan satu galon air bersih, warga harus membeli seharga Rp 7000, setiap bulan hanya untuk membeli air galon harus mengeluarkan uang sebesar Rp300 ribu karena air bersih yang dikelola desa dengan tarif Rp50 ribu per bulan tidak dapat memenuhi kebutuhan ratusan KK.
“Air yang dari desa tidak cukup untuk kami pakai. kami bayar Rp50 ribu per bulan. Tapi air mengalir hanya satu jam setiap hari.Mana cukup untuk ratusan rumah, makanya harus beli air galon,” kata Selvi.
Sumber air bersih warga dari sungai maupun sumur galian saat ini sudah tercemar. Bahkan banyak sumur galian yang kering dan airnya berubah warna menjadi hitam dan kecoklatan sehingga tidak bisa lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih setiap hari.
“Sudah tidak ada lagi air sumur disini yang bisa kami pakai. semua sudah keruh dan kering. Banyak yang kena gatal-gatal kalau pakai air dari sungai atau sumur, makanya kami terpaksa beli air,” ujarnya
Walhi Sulteng, bekerja sama dengan Friends of the Earth (FOE) Japan, telah melakukan pengujian kualitas air di 10 titik sungai di sekitar kawasan industri dan pertambangan nikel. Dua sungai yang terdeteksi terkontaminasi, yaitu Sungai Bahodopi dan Sungai Labota, berada dekat dengan kawasan industri PT IMIP. Pengujian dilakukan menggunakan analisis Kromium Heksavalen (Cr-VI), yang hasilnya menunjukkan kadar kromium heksavalen sebesar 0,075 mg/L di kedua sungai tersebut.
Kromium Heksavalen, atau Kromium-6, merupakan senyawa logam berat yang sering dihasilkan dari proses industri, termasuk pertambangan nikel. Senyawa ini bersifat karsinogenik dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Paparan kromium-6 dapat terjadi melalui penghirupan, konsumsi, dan kontak langsung dengan kulit.
Dampak dari paparan kromium-6 dapat meliputi gangguan pernapasan, iritasi kulit, dan kerusakan organ seperti ginjal dan hati. Dalam kondisi yang lebih parah, paparan kronis dapat menyebabkan kanker, gangguan sistem kekebalan tubuh, serta perubahan materi genetik yang membahayakan generasi mendatang.
Kromium heksavalen memiliki sifat bioakumulatif, artinya ia dapat menumpuk dalam tubuh manusia dan organisme lain yang terpapar secara terus-menerus. Oleh karena itu, keberadaan kromium-6 di sungai yang menjadi sumber air bagi masyarakat sekitar kawasan industri ini menambah keprihatinan terhadap dampak kesehatan jangka panjang.
Sungai Bahodopi dan Labota, yang terletak dekat dengan kawasan IMIP dan juga di hulu terdapat aktivitas pertambangan besar, kini terpapar kromium heksavalen. Sejak 2013, warga Desa Bahodopi mulai menghindari pemanfaatan air dari sungai tersebut setelah PT IMIP memulai aktivitas konstruksi dan produksi nikel.
Meski demikian, beberapa warga, terutama anak-anak, masih terlihat mandi di sungai tersebut. Sumber air sungai yang tercemar ini juga masih digunakan untuk kegiatan pertanian, mencuci kendaraan roda dua, bahkan dikonsumsi dengan cara menggali di bibir sungai.
Di Desa Labota, sungai yang terpapar kromium heksavalen terletak di tengah pemukiman warga dan kos-kosan para pekerja industri. Meskipun kualitas air sudah tercemar, sungai ini masih digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti mencuci pakaian, mandi, dan mencuci kendaraan. Kondisi ini memperburuk kualitas hidup warga yang sangat bergantung pada sungai sebagai sumber air.
Pencemaran air yang terjadi di Sungai Bahodopi dan Labota tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga keberlanjutan pertanian dan kehidupan sosial ekonomi warga. Masyarakat sekitar semakin kesulitan mendapatkan air bersih, terpaksa membeli air dari sumber lain.
Andi, pedagang kaki lima di Dusun Kurisa, mengungkapkan bahwa ia bisa menjual hingga 200 galon air per hari di kiosnya. Kebutuhan air bersih di sekitar Desa Fatufia sangat tinggi, sehingga stok air galon di kiosnya harus selalu ada.
“Di sini, orang membeli galon bukan hanya untuk diminum, tapi juga untuk mandi dan mencuci. Air bersih di desa kami sangat terbatas, sementara jumlah penduduknya banyak,” ujarnya.
Andi juga menjelaskan bahwa harga satu galon air bersih dijual seharga Rp 7.000. Ia mendapatkan pasokan air dari desa tetangga karena di Fatufia sudah tidak ada lagi sumber air bersih yang dapat diambil dan diolah untuk dijual.
“Kami terpaksa ambil air dari desa sebelah untuk memenuhi kebutuhan warga di sini,” tambahnya.
Kematian Mengancam Warga Lingkar Tambang
Tak hanya di laut dan sungai, aktivitas pertambangan dan pengolahan nikel di Morowali juga berdampak pada udara. Warga di sekitar lingkar tambang telah lama menghirup abu dari aktivitas PLTU PT IMIP. Kondisi ini diperoarah oleh asap dan debu kendaraan yang hilir mudik serta suara bising conveyor yang dekat dengan pemukiman dan sekolah.
Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah anak-anak yang bersekolah di SDN Labota. Bangunan sekolah mereka hanya berjarak sekitar 100 meter dari cerobong asap PLTU PT IMIP dan jalan raya. Yang palung menghawatirkan, hanya sedikit siswa yang menggunakan masker di sekolah.
Hamid, salah satu orang tua murid SDN Labota yang menunggu anaknya pulang sekolah, mengungkapkan kekhawatirannya. la mengatakan anakya sering mengalami batuk dan sesak napas akibat menghirup asap dari cerobong PLTU setiap hari.
“Lihat saja, asap itu keluar dari cerobong PLTU setiap hari. Bagaimana anak-anak kami bisa sehat? Tapi mau bagaimana lagi, lokasi sekolah ini sudah ada sebelum perusahaan masuk, jadi tidak mungkin untuk dipindahkan. Saya juga tidak bisa memindahkan anak saya, karena ini satu-satunya sekolah yang dekat dari rumah,” ujar Hamid semabari menujuk cerobong asap PLTU milik PT IMIP.
Menurut Hamid, pihak sekolah sudah menganjurkan agar anak-anak menggunakan masker, namun tidak semua anak nyaman mengenakannya sepanjang waktu. Hal ini menyebabkan hanya satu atau dua anak yang tetap menggunakan masker di sekolah.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng mencatat peningkatan signifikan terhadap beberapa penyakit di Kecamatan Bahodopi. Berdasarkan data dari Puskesmas Bahodopi, terdapat empat jenis penyakit yang mengalami lonjakan sangat mencolok.
Pertama, penyakit ISPA. Pada tahun 2022 tercatat 28.867 kasus, meningkat menjadi 55.527 kasus pada tahun 2023, dan hingga triwulan II tahun 2024 sudah ada 46.739 kasus.
Kedua, penyakit diare dengan 610 kasus pada tahun 2022, 572 kasus di tahun 2023, dan 406 kasus hingga triwulan III tahun 2024.
Ketiga, penyakit mata, di mana tahun 2022 terdapat 94 kasus, meningkat menjadi 120 kasus pada tahun 2023, dan hingga triwulan II tahun 2024 tercatat 71 kasus.
Terakhir, penyakit kulit yang mencatat 281 kasus pada tahun 2022, 336 kasus pada tahun 2023, dan 178 kasus hingga triwulan II tahun 2024.
Tidak hanya di Bahodopi, data juga mencakup wilayah lain di Morowali dan Morowali Utara, namun jumlahnya lebih variatif. Di Morowali Utara, kasus yang terdata tidak melebihi ribuan, melainkan ratusan.
Pelaksana Program Adaptasi Perubahan Iklim dan Kebencanaan Lingkungan (API-KL) Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olahraga Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng, SUkri, SKM mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus penyakit pernapasan di Kabupaten Morowali, khususnya di daerah Bahodopi, adalah pembakaran batubara dari PLTU.
Meskipun belum ada kepastian apakah semua perusahaan di daerah tersebut menggunakan PLTU, Sukri menekankan bahwa pembakaran batu bara ini jelas memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Beberapa kondisi pernapasan yang semakin banyak ditemui antara lain ISPA, pneumonia, alergi, dan masalah pernapasan lainnya.
Pada triwulan ketiga tahun 2024, diperkirakan sekitar 42 ribu orang di Bahodopi terpengaruh oleh masalah kesehatan yang terkait dengan polusi udara. Data ini menunjukkan adanya tren yang signifikan, meskipun data untuk triwulan keempat masih belum sepenuhnya tersedia.
Sukri juga menambahkan bahwa pemerintah telah mengambil langkah-langkah intervensi untuk menangani masalah ini. Model penanganan yang diterapkan melibatkan kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
“Salah satu langkah konkret yang diambil adalah dengan mengeluarkan petunjuk teknis dari Bupati yang mengimbau semua pihak untuk berperan aktif dalam mitigasi dampak kesehatan. Langkah ini mencakup penggunaan masker untuk melindungi diri dari polusi udara serta pemantauan status gizi masyarakat sebagai bagian dari upaya pencegahan,” ujarnya, Rabu (9/10/2024).
Selain itu, Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng juga bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kualitas udara. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kualitas udara di daerah tersebut sudah berada di atas ambang batas yang ditetapkan (NAB), meskipun rincian lebih lanjut mengenai kriteria NAB belum bisa diungkapkan dalam wawancara ini.
Peningkatan Kasus ISPA dan Kanker di Bahodopi
Terkait tren kesehatan di Morowali, Sukri mengungkapkan bahwa data menunjukkan peningkatan kasus ISPA di wilayah tersebut. ISPA, yang memiliki gejala mirip pneumonia, dapat sembuh dalam waktu satu minggu jika ditangani dengan baik. Namun, tingginya jumlah kasus ISPA menunjukkan bahwa banyak warga yang mengalami infeksi ini secara berulang, yang menyebabkan angka kasus terus meningkat dari waktu ke waktu.
Selain ISPA, Sukri juga mengakui bahwa sudah ditemukan sejumlah kasus kanker di daerah tersebut, dengan jumlah yang bisa mencapai puluhan kasus per bulan. Kasus kanker ini terjadi pada berbagai kelompok usia, baik anak-anak maupun orang dewasa, dengan prevalensi yang cukup tinggi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya angka kasus penyakit ini melibatkan banyak aspek, termasuk pola hidup masyarakat, seperti kebiasaan merokok, serta kebersihan perilaku hidup sehat (PHBS). Meskipun ada banyak faktor penyebab, Sukri menegaskan bahwa keberadaan industri tambang yang beroperasi di sekitar Bahodopi turut memberikan kontribusi signifikan terhadap lonjakan kasus penyakit, terutama ISPA. Peningkatan kasus penyakit ini terlihat semakin drastis sejak industri-industri besar, seperti PLTU dan smelter, beroperasi di kawasan tersebut.
Secara keseluruhan, Sukri menekankan bahwa penanganan masalah kualitas udara dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat memerlukan kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak, termasuk Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup, dan pihak perusahaan. Untuk itu, pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bekerja bersama-sama dalam upaya mengatasi dampak kesehatan yang serius akibat polusi udara, guna melindungi warga dari risiko penyakit yang ditimbulkan.
10 Tahun PT IMIP Melakukan Kejahatan Lingkungan
Pengkampanye Eksekutif Daerah Walhi Sulteng, Wandi, menyampaikan keprihatinannya atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas industri nikel di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Warga di desa-desa sekitar, khususnya Desa Fatufia dan Labota di Kecamatan Bahodopi, Morowali, merasakan dampak buruk setiap hari, seperti polusi udara akibat abu batu bara dan pencemaran laut yang mengancam mata pencaharian nelayan.
Menurut Wandi, ekosistem laut di wilayah tersebut rusak akibat pembuangan limbah industri langsung ke laut, yang menyebabkan penurunan jumlah ikan. Hal ini tentunya berdampak besar pada kehidupan ekonomi masyarakat yang bergantung pada hasil laut. Selain itu, masyarakat juga mengeluhkan kualitas udara yang semakin buruk, yang memperburuk kondisi kesehatan mereka, terutama yang berhubungan dengan masalah pernapasan.
Wandi mengungkapkan bahwa perusahaan belum menunjukkan keseriusan dalam menangani dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh operasional mereka. Kompensasi yang diberikan pun dinilai tidak efektif dalam memberikan solusi konkret bagi masyarakat yang terdampak langsung.
Wandi menjelaskan bahwa PT IMIP, yang merupakan salah satu proyek unggulan dalam program hilirisasi nikel pemerintah Jokowi, telah mencapai produksi yang menempatkan perusahaan ini di posisi teratas dalam pasar global nikel. Namun, Wandi menilai bahwa pencapaian tersebut tidak sebanding dengan tanggung jawab sosial yang diberikan kepada masyarakat di sekitar kawasan industri. Masyarakat di lingkar tambang, serta para pekerja yang setiap hari berisiko untuk memenuhi target produksi nikel, belum merasakan manfaat yang adil dari operasi perusahaan.
Sebagai bentuk respons terhadap tuntutan warga Bahodopi, Walhi mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam menangani masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh PT IMIP. Wandi juga meminta agar Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Tengah, Gubernur Sulteng, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Investasi, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera melakukan evaluasi terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Lebih lanjut, Wandi mendesak agar pemerintah melakukan audit lingkungan menyeluruh di kawasan PT IMIP dan seluruh tenant yang beroperasi di dalamnya. Salah satu tindakan yang diharapkan adalah penghentian penggunaan PLTU Captive Coal Power Plant yang beroperasi untuk mendukung industri nikel, yang menurutnya berkontribusi besar terhadap polusi udara dan emisi karbon yang merugikan lingkungan.
Menurutnya, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, apa yang dirasakan masyarakat sekitar kawasan industri – seperti polusi udara, kebisingan, hilangnya mata pencaharian nelayan, dan pencemaran air – menunjukkan bahwa PT IMIP telah melakukan pelanggaran serius terhadap lingkungan.
“PT IMIP diduga telah melakukan kejahatan lingkungan selama lebih dari 10 tahun terakhir,” tegas Wandi.
PT IMIP saat ini memiliki 20 unit PLTU Captive dengan total kapasitas yang sangat besar, yaitu 5.570 MW, terdiri dari 16 unit yang beroperasi dengan kapasitas 2.970 MW dan 4 unit yang masih dalam tahap konstruksi dengan kapasitas 2.600 MW. Wandi mengingatkan bahwa dengan kapasitas yang besar ini, dampak negatif terhadap lingkungan akan semakin terasa dalam jangka panjang, terutama bagi masyarakat di sekitar kawasan industri.
PSN Industri Nikel di Morowali Luput dari Pengawasan
PT IMIP beroperasi di kawasan seluas 4.000 hektar yang mencakup dua desa, yaitu Desa Fatufia dan Labota, di Kecamatan Bahodopi, dengan lebih dari 40 tenant yang saling terintegrasi dalam produksi berbagai klaster nikel. Klaster-klaster ini meliputi Stainless Steel, Nikel Pig Iron (NPI), Carbon Steel, dan MHP untuk komponen baterai. Sejak mulai beroperasi pada 2013, dampak lingkungan yang ditimbulkan semakin terasa, terutama bagi masyarakat di Desa Fatufia dan Labota.
Selama hampir 10 tahun beroperasi, perusahaan ini dianggap tidak cukup serius dalam menangani dampak yang timbul dari kegiatan industri. Masyarakat setempat mengeluhkan kurangnya perhatian perusahaan terhadap masalah lingkungan dan sosial yang mereka hadapi.
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Tengah, Moh Natsir A. Mangge, S.Hut, menyampaikan keterbatasan pengawasan terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas industri, terutama tambang nikel.
Menurutnya, meskipun diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja bahwa pengawasan lingkungan adalah kewenangan daerah, DLH masih menghadapi banyak kendala, terutama dalam hal penganggaran dan jumlah personel yang terbatas.
Untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang lebih baik, Natsir mengungkapkan bahwa pihaknya melibatkan berbagai elemen dalam setiap proses pengawasan, termasuk Kejaksaan, Kepolisian, dan LSM.
“Kami tidak ingin hanya mengeluarkan rekomendasi izin tanpa pengawasan yang memadai. Oleh karena itu, kami sering mengajak pihak lain untuk memantau bersama, agar tidak terkesan kami hanya mengeluarkan izin begitu saja,” ujar Natsir ditemui, Jumat (01/11/2024).
Natsir juga menyampaikan bahwa selama ini terdapat laporan-laporan terkait pengelolaan limbah di sekitar kawasan industri, khususnya di PT IMIP yang memiliki lebih dari 40 tenant. Meskipun perusahaan melaporkan bahwa mereka mengikuti standar pengelolaan limbah yang ditetapkan, di lapangan, kenyataannya seringkali berbeda. Oleh karena itu, pihak DLH melakukan pemantauan langsung untuk memastikan bahwa limbah dikelola sesuai dengan standar yang ada.
Namun, Natsir mengakui bahwa pengawasan ini masih terkendala oleh regulasi, di mana pengujian laboratorium yang diperlukan untuk memastikan kualitas air dan tanah sampai saat ini belum bisa terlaksana. Pengawasan terhadap kualitas perairan memang menjadi perhatian DLH, namun saat ini masih sebatas pendampingan tim kementerian dan belum ada uji laboratorium yang komprehensif.
“kedapan, kami berencana untuk melakukan uji laboratorium, agar bisa mendapatkan data yang lebih akurat mengenai dampak lingkungan,” kata Natsir.
Menurutnya, hampir semua perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Sulawesi Tengah, termasuk PT IMIP, berpotensi menimbulkan dampak besar terhadap masyarakat sekitar, terutama ketika pengangkutan material tambang dilakukan dalam skala besar.
Meskipun semua perusahaan tambang diundang untuk memberikan laporan terkait dampak lingkungan setiap semester, pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah seringkali hanya sebatas rekomendasi penilaian yang dijadikan barometer untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, meskipun hasilnya tidak selalu terlihat di lapangan.
“Kami hanya bisa memberikan rekomendasi dan sanksi administrasi. Dalam banyak kasus, oknum-oknum yang terlibat dalam industri ini juga mempengaruhi pengambilan keputusan, dan sering kali, upaya pengawasan lebih bersifat administratif daripada tindakan konkret,” katanya.
Melihat situasi ini, Natsir menekankan bahwa solusi terbaik untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas industri adalah dengan menghentikan sementara kegiatan yang merusak, terutama jika dampaknya sudah terlalu besar.
“Jika kerusakan sudah tidak terkontrol, maka solusi yang paling tepat adalah penghentian sementara hingga evaluasi menyeluruh dilakukan,” ujar Natsir.
PT. IMIP Klaim Lakukan Perbaikan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan
PT. IMIP, melalui Media Relations Manager PT IMIP Dedy Kurniawan mengatakan, manajemen kawasan Industri IMIP terus bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Morowali dan warga sekitar dalam rangka turut terlibat dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan bersamaan pada upaya aktif dalam peningkatan kualitas, kapasitas dan kompetensi warga.
“Melalui kerja sama program yang bersifat inklusif, manajemen terus berupaya hadir dalam setiap upaya perbaikan kehidupan di wilayah penyangga di luar Kawasan industri sesuai dengan lingkup tanggung jawab dan kewenangannya,” kata Dedi melalui siaran pers yang di terima, Kamis (14/11/2024).
Keberadaan Kawasan Industri kata Dedy, membawa multiplier effect kepada masyarakat sekitar, khususnya mereka yang berada di sekitar kawasan industri. Diantaranya, dengan masifnya gelombang tenaga kerja yang datang, membuat permintaan rumah kos-kosan meningkat. Hal ini yang kemudian dilihat oleh masyarakat termasuk para warga Dusun Kurisa yang sebelumnya sebagian kecil berprofesi sebagai nelayan sebagai sumber pendapatan baru.
Selain itu, masyarakat juga membangun usaha toko-toko kelontong, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para karyawan. karena pendapatan dari usaha rumah kost dan toko kelontong lebih besar dan menjanjikan, warga kemudian memilih meninggalkan profesi sebelumnya sebagai nelayan.
IMIP juga mengkalim, hilangnya sebagian besar ekosistem wilayah pantai di sepanjang jalan trans-Sulawesi di wilayah Bahodopi, juga disebabkan praktik reklamasi yang dilakukan warga untuk memenuhi kebutuhan lahan sebagai area permukiman dan lokasi usaha (khususnya bisnis kos-kosan), telah menjadikan wilayah perairan sebagai halaman belakang huniannya yang secara langsung menempatkan dapur dan kamar mandi di bagian belakang rumah.
Hal tersebut berdampak pada pencemaran wilayah pesisir dan garis pantai karena dijadikan area pembuangan limbah dan sampah rumah tangga yang pada gilirannya menyebabkan migrasi ikan tangkap menjauhi garis pantai dan wilayah pesisir.
Di Kecamatan Bahodopi sendiri, wilayah yang sebagian besar warganya berprofesi sebagai nelayan adalah di Desa Bete Bete yang berjarak kurang lebih delapan kilometer dari Dusun Kurisa. Ikan tangkapan warga Desa Bete Bete ini lalu dijual di dua pasar yang ada di Kecamatan Bahodopi.
Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara secara alami menghasilkan polutan termasuk partikulat (PM2.5 dan PM10), sulfur dioksida (SO₂), nitrogen oksida (NOx), dan O3 serta merkuri. Untuk itu, IMIP menggunakan teknologi seperti Flued Gas Desulfurisasi, dan Elektrostatik Prespitator, untuk menekan emisi berbahaya SO2 dan Partikulat yang dilepaskan dari pembangkit Listrik.
Selain itu, IMIP juga berinvestasi dalam teknologi yang ramah lingkungan, antara lain dalam jangka panjang, perusahaan sedang transisi ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan atau menerapkan teknologi energi bersih untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan menekan emisi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro.
PT IMIP melakukan pemantauan kualitas udara secara berkala dan real-time menggunakan CEMS (Continous Emision Monitoring System) dan pemantauan manual oleh Laboratorium terakreditasi dan dilaporkan ke instansi yang berwenang.
Sejak Kawasan IMIP berdiri, komitmen perusahaan dalam pembangunan masyarakat secara berkelanjutan terus dilakukan. Mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi. Beberapa program yang dijalankan misalnya pembangunan sarana dan prasarana penunjang pendidikan antara lain membangun gedung baru bagi MTs Alkhairaat, yang memiliki total 9 ruang kelas yang terdiri atas 6 ruang kelas, 1 ruang lab listrik, 1 ruang lab komputer, 1 aula, serta toilet. Pembangunan gedung baru itu, sepenuhnya bersumber dari dana CSR PT IMIP. Tak hanya itu, IMIP juga menyalurkan sejumlah bantuan pendidikan dan beasiswa kepada pelajar di Bahodopi, yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Mereka terbagi di beberapa wilayah, antara lain Kota Palu, Makassar, Jogjakarta, dan Kota Kendari.
Agustus 2024 kemarin juga, sebanyak 66 guru tingkat SD yang berasal dari 12 Desa se-Kecamatan Bahodopi, mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas yang digelar oleh PT IMIP. Sebanyak 22 sekolah tingkat SD yang diikutkan dalam kegiatan itu, masing-masing mengutus 3 perwakilan guru mereka.
IMIP juga mengirimkan 41 guru bantu berkualitas, ke 9 akses pendidikan di Kecamatan Bahodopi, untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar di sejumlah sekolah di Bahodopi. Mulai dari tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK.
Selain itu, IMIP juga fokus pada pengembangan sumber daya manusia dengan mendirikan sebuah training center, guna menyiapkan tenaga kerja yang siap pakai di dunia industri di Morowali secara menyeluruh.
Pada sektor lainnya, IMIP juga telah membangun terminal air bersih di 3 desa di Bahodopi, serta membangun cross drain dan saluran drainase di beberapa desa. Selain bantuan dalam bentuk sarana dan prasana yang diberikan kepada masyarakat, IMIP juga memberikan modal usaha untuk Koperasi yang ada di Desa Labota, Bahodopi.
Sejalan dengan itu, menjadi sebuah bentuk kompensasi yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat dalam bentuk program yang tidak bersifat charity. Sebab, program-program yang dijalankan itu, bersentuhan langsung dengan masyarakat dan dapat dirasakan oleh masyarakat secara menyeluruh.***
Liputan ini merupakan fellowship isu dampak pembangunan Proyek Stategis Nasional (PSN) kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar dan Internews